webnovel

Lucelence Academy, 'Elgrimlock Rising.'

Supernatural Infinity Series Elgrimlock Rising . On/off Campus Fantasy Romance . Selamat datang di Lucelence Academy. . Di mana tempat indah ini adalah satu-satunya yang menerima dengan hangat orang-orang buangan berkemampuan‘ istimewa ‘ . Di kota sehebat London, Jean tidak diterima. Bagi Jean Venthallow Argent, dibuang oleh keluarganya bukanlah hal paling mengerikan lagi setelah mengetahui dirinya dikejar-kejar oleh Mannon Blackwood dan para Dark Legionnya. Mannon Blackwood inginkan nyawa juga seluruh kekuatannya. . Sadar bahwa dirinya berbeda dari manusia normal. Orang-orang selalu berkata bahwa dia dikutuk. Bahkan keluarganya kerap menyebutnya seorang monster. Terasing dari dunia manusia, putus asa mencari tempat perlindungan dan bernaung, pertemuan uniknya dengan seorang Shadowcaster - Azael Faulkner Draven membuat Jean punya harapan baru mengenai masa depannya. . Jean tak menyangka petualangan besar dan hebat telah menunggunya di akademi. Satu per satu kebenaran tentang jati diri dan masa lalunya terkuak. Yang akan mengubah seluruh takdirnya… Memperbaiki hidupnya yang hancur berantakan dan kacau-balau. . ------------------------------- #supernatural #fantasyromance #weaktostrong #magical #revenge ------------------- Cerita ini diikutsertakan dalam kompetisi Webnovel Spirity Awards 2022. Mohon dukung karya saya melalui gift, comments, revcoll, power stones, or golden ticket, apabila karya saya menurut kalian worth it. Karakter menggunakan Multiverse / Universal Pov. Supernatural abilities: Physical, Magical, Celestial, Divine, Eerie. Check out my other stories : My Hot Sheriff ( Contemporary Romance, Thriller, Crime, Mystery, English Available. ) -------------------- Join or find me : Ig : NavaKai Fb : Aisha Navarra patreon.com/navakai

NavaKai · Fantasy
Not enough ratings
274 Chs

The Awakening

Menjelang dini hari, di kala akademi gelap karena hampir semuanya terlelap nyaman di atas ranjang. Badai lebat menerpa kembali, suara hembusan angin kencang menyamarkan tiap-tiap langkah kakinya. Sesosok berjubah hitam membelah keheningan lorong-lorong panjang institut.

Laksa hujan menampar-nampar jendela raksasa institut, membentuk garis-garis air memanjang ketika jubahnya tersingkap. Tangannya menggenggam lampu kandelar tangan. Dia sempat terhenti, memeriksa ke lorong panjang di belakangnya memastikan agar tak ada satu pun yang mengikuti.

Dia berjalan bersama bayang-bayang malam, melewati percikan-percikan kilat yang sesekali membuat bayangan semu tubuhnya menjulang ke atas. Memasuki area paling terlarang di mana tak sembarangan orang bisa masuk.

Ada ruangan terpisah di institut, yang luput dari pandangan siapa pun. Yang tak diketahui siapa pun kecuali beberapa orang kepercayaannya. Ruangan besar utama itu berada di puncak menara kastil selatan. Sosok berjubah itu melakukan teleportasi, terhenti tepat di depan pintu raksasa berwarna merah bata yang terbuat dari kayu eboni.

"Aku datang." sapanya.

Pintu bergetar terbuka, sesosok pria berbadan tegap tengah berdiri mematung di jendela raksasa. Menekuri garis-garis air yang menyamarkan pemandangan pelataran pegunungan dan lembah di malam itu.

Aroma wewangian 'cedar black sage' menguar semerbak. Pria itu menghela napas panjang, sorotan mata teduhnya selalu berkabut setiap saat. Seperti memendam beragam gejolak kepedihan yang tak terlukiskan.

"Elvana…" ucap pria itu pelan.

Rambut sunset pria itu bercahaya di bawah temaram cahaya keemasan lampu kandelar, mata 'steel blue'nya seretak kaca. Bahasa tubuhnya arif, bijaksana dan bersahaja. Jubah malamnya menyapu lantai dingin.

"Silas, ada apa kau memanggilku?"

Silas tersenyum tipis, menarik kursi kayu di hadapannya. "Bagaimana situasi akademi?"

"Kondusif, seperti yang kau lihat. Anak-anak senang, perkembangan mereka maju pesat." kata Elvana membingkai senyum manis.

"Baguslah, pertahankan itu, El. Kudengar kau membawa salah satu murid berkekuatan− 'Cursing?' Kau yakin bisa mengendalikannya? Mereka dikenal liar dan sulit diatur, kau tahu benar latar belakang kehidupannya. Dia mengirim pamannya ke rumah sakit jiwa dan membunuhnya di sana secara perlahan-lahan. Kau yakin mau membawanya ke tengah anak-anak lain?"

Elvana mengangguk tegas, "Kau tak perlu risau, serahkan semuanya padaku. Untuk itu aku ditunjuk sebagai wakil principal 'kan? Professor Jessica Lambert, bersedia menanganinya. Akan kupantau perkembangannya nanti, kau tenang saja."

Silas tertunduk dalam, matanya sayu dan tampak letih. Kantung matanya menebal dengan kulit sepucat kertas.

"Apa kau baik-baik saja? Kau terlihat kuyu, sudah berapa hari kau tidak tidur, Silas?"

"Jean, bagaimana kabarnya?" nada suaranya yang biasa terdengar menenangkan itu, kini bergetar kuat. Terdapat duka mentah dalam intonasinya.

Elvana menunduk maklum, seakan ikut merasakan duka Silas. "Jean baik-baik saja, perkembangan belajarnya bagus. Sejauh ini, dia sudah menguasai 2 grade. Hanya saja Professor Petricore bilang kekuatannya masih belum stabil. Dia sama persis denganmu, senang merendah, antusias, murah hati."

Senyum manis terbit di bibir Silas, air mukanya mengandung kelegaan tiada tara sekaligus kehampaan rindu yang belum terobati. "Dia mirip Astraea 'kan?"

"Mewarisi kecantikannya tentu saja, Silas. Mau sampai kapan kau akan terus bersembunyi? Tidakkah kau ingin segera menemuinya?"

Silas menggeleng, matanya menerawang ke langit-langit ruang kerjanya. Hidung mancungnya terlihat sangat presisi. "Aku belum punya nyali, aku memang pengecut, Elvana. Aku sangat takut dia akan membenciku."

"Kau 'kan belum mencobanya. Setidaknya coba jelaskan, walau pada awalnya terasa sulit. Jangan sampai, dia tahu sendiri nantinya." Elvana mengedikkan bahu.

Beranjak dari kursinya, Silas mengambil sesuatu dari dalam laci meja kerjanya. Menyorongkannya ke hadapan Elvana. "Tolong, berikan ini padanya. Diam-diam, El. Jangan sampai kelihatan orang lain."

Elvana mengangguk pelan, mengambil itu dari meja. "Ya. Akan kulakukan. Beristirahatlah. Makan yang cukup. Jangan sampai kau jatuh sakit, Silas."

"Terima kasih banyak, El. Untuk segalanya." Silas melambaikan jemarinya dan tersenyum manis.

.

.

"Selama kedatanganku ke sini kayaknya aku belum pernah ketemu sama Principal, aku baru sadari itu. Memangnya beliau ke mana? Yang kulihat cuma Wakil Principal saja."

Jean membuka pintu lokernya, mengecek jadwal kelasnya hari ini. Kelas Mrs. Petricore tidak akan pernah absen, mengingat kekuatan Jean adalah satu-satunya yang paling tidak stabil di akademi ini. Jean sendiri belum mampu kuasai sepenuhnya, gawat bila kemarahan melandanya.

Sampai mati pun Jean enggan membayangkannya lagi.

Margo bersandar di lokernya. "Oh, ya. Aku belum menceritakannya padamu, ya?"

Jean menggeleng, "Apa? Belum tuh…"

"Principal itu orang misterius, dia pendiri akademi ini dari ratusan tahun lalu. Bisa dibilang pemiliknya, beliau orang yang sangat sibuk. Cuma wakil principal, tangan kanan kepercayaan atau dewan saja yang bisa bertemu dengan beliau. Principal jarang menunjukkan wajahnya di depan kami, padahal semua anak-anak tahu di sini kalau dia merupakan seseorang yang penyayang, bersahaja dan murah hati. Selain membangun perlindungan untuk remaja-remaja berbeda seperti kita, memberi kita naungan, makanan enak, kamar terbaik, pakaian layak, pelajaran-pelajaran akademik bermutu. Ini lebih dari sebuah rumah kedua, Jean." Margo menutup lokernya.

Jean mengangguk-anggukan kepala, "Pantas, shadowcaster terlihat sangat menghormatinya. Berarti mereka pernah bertatap muka dengan Principal?"

Menyejajari langkah Margo, Jean antusias menyimak.

"Ya, satu kali. Setelah itu, aku melihat wajah mereka berseri-seri semua. Entah mengapa, ada desas-desus mengatakan kalau Principal adalah pria yang sangat tampan. Kekuatan beliau membuatnya awet muda dan tak pernah menua. Beliau punya nama baik di Netherworld. Akademi-akademi benua lain begitu menghormatinya. Kalau Lee melihatnya, bisa gawat. Kau tahu sendiri kan, Lee terobsesi pada pria-pria yang punya ketampanan hakiki." Margo memutar bola matanya jengah.

Jean tertawa kecil, temannya itu memang agak aneh dari polah, sifat, hingga pemikirannya yang kelewatan terbuka. Tapi Jean senang berdekatan dengan Rhylee; Go dan Mai memang benar – Lee tidak fake, meskipun tabiatnya unik dan kata-katanya seringkali nyelekit pada siapa pun.

"Andai kita bisa bertemu dengan beliau." Jean berandai-andai, jadi penasaran seperti apa fisik Principal, mengingat hampir semua orang yang ditemuinya begitu mengelukan dan menghormati beliau. Termasuk Professor Petricore, kala membicarakan Principal – pandangan mata dan air mukanya langsung berbeda.

Semringah seperti Azael, Hunter, Carver dan Rhett tunjukkan.

Dalam lamunannya, indera pendengaran Jean menangkap suara-suara yang mendesaukan namanya. Dia hadir bersama semilir angin dingin yang berembus dan menyapu anak rambutnya.

[ Jean… ]

Kontan Jean terhenti, mematung di tempat dengan pandangan memindai ngeri ke seluruh penjuru akademi. Suara itu terdengar sangat jelas menghantui telinganya dan sama persis seperti yang ada di dalam mimpinya.

[ "Tadi…?" ]

"Hei! Malah melamun, ayo?! Bukannya Professor Tatum Reddington sedang menunggumu?"

Tepukan Margo buyarkan segalanya, sekali lagi Jean memindai pandangannya. "Apa kau tadi mendengar sesuatu? Suara-suara, bisikan aneh?"

Dahi Margo mengerut, "Suara? Enggak tuh… dari tadi enggak ada apa-apa. Wah, apa itu artinya kau juga bisa melakukan telepati? Ya ampun, Jean. Aku sangat iri padamu, kau bahkan sudah menguasai 2 grade sekaligus."

"Bukan itu, Go. Aku yakin dengar sesuatu. Masa kau enggak mendengarnya?"

Suara itu bahkan terngiang-ngiang jelas di rongga kepalanya.

Margo menyambar lengan Jean, "Sudahlah. Ayo, ada kelas yang harus kita kejar."

Batin Jean dilanda firasat buruk, namun entah apa.

.

.

"Kau bisa melakukan telepati, Jean Argent? Berarti kau mampu menguasai 3 grade sekaligus?" tanya Professor Tatum dari depan kelas. Suara beliau menggema di penjuru ruangan.

Semua pasang mata tertambat pada Jean. Pandangan-pandangan beraneka ragam menyorotinya. Dari tatapan rubah dengan mata kebencian mengental, kagum, heran, meremehkan juga merendahkan jadi satu.

"Aku−? Belum tahu caranya, Prof."

Satu kelas terkikik geli, menertawakan kalimat polos Jean barusan.

Professor Tatum tersenyum lebar, "Tapi kau sudah menguasai dasarnya. Mendengar suara-suara atau bisikan secara intens, itu salah satu tanda krusial. Tinggal dimatangkan sedikit saja, Jean. Kalian pasti bisa, pertemuan sebelumnya berhasil dengan membaca pikiran orang lain semacam mind-link, lalu bagaimana bila menyerang? Bisakah melalui telepati? Tentu bisa. Mempergunakan orang lain untuk menyerang orang ketiga pun tentu bisa."

Satu tangan Professor Tatum menempel di dahi, matanya fokus terhadap satu murid laki-laki di depan matanya.

Jean memandangi punggung pemuda itu dari belakang – kalau tidak salah namanya Trevor Norton.

Trevor bangkit dari kursinya, dengan gerakan-gerakan di luar nalar juga kendalinya. Dia sempat kebingungan, kakinya bahkan melayang dari lantai kelas.

"Ini salah satu contohnya, memanipulasi pergerakan lawan melalui kendali pikiran. Yang paling utama hubungkan pikiran kalian dengan target, terfokus ke satu tujuan. Bakat alami para pengendali telepati. Ini sangat mudah."

Tangan Trevor yang menggenggam balpoin, bergerak-gerak hendak menyerang murid di sebelahnya.

"Apa bisa digunakan untuk menghancurkan lawan, Professor? Maksudnya, meleburkan tubuh lawan hingga berkeping-keping. Membunuh orang lain dalam jarak dekat." tanya salah satu murid mengangkat tangannya.

Professor Tatum memukul pelan kepala remaja barusan menggunakan buku yang melayang, sontak remaja perempuan bersurai hitam berwajah masam itu meringis, "Hei, bakat kita bukan digunakan untuk menyakiti orang lain. Jangan lupa itu aturan akademi, hukumannya tidak main-main."

[ "Mencabik-cabik tubuh Brody, Nathaniel dan Lula. Aku pernah melakukannya." ] pikir Jean membatin, merenung kesalahannya.

"Hanya pengendali kekuatan ahli yang bisa melakukan hal semacam itu, itu jarang terjadi meski tak menutup kemungkinan. Kecuali dia yang mampu kuasai 10 grade lebih, tidak semua orang bisa melakukannya. Termasuk aku."

Jean menghela napas panjang, ingatan insiden mengerikan di Essex berkelebatan tanpa ampun di dalam pikirannya.

"Berlatihlah sekarang, aku ingin melihat sejauh mana kemampuan kalian. Seperti yang kucontohkan tadi." perintah Professor Tatum mulai mengangkat papan jepit dari mejanya. "Lakukan perlahan-lahan, tak perlu keluarkan semua kekuatan kalian."

Kala seluruh kelas fokus melatih kemampuan telepati mereka, Jean malah ketakutan sendiri. Bayangan wajah teman-temannya yang tercabik-cabik mengerikan waktu itu membuatnya terpatri kebingungan.

[ "Beranikah aku?" ]

Diam-diam Professor Tatum memperhatikan gerak-gerik Jean yang kelihatan kebingungan. Pandangannya memindai gelisah, berulang kali pula Jean menghela napas panjang. Dia panik meski bukan serangan parah.

[ "Jangan panik, aku bisa melakukannya. Ya, aku bisa. Pelan-pelan, Jean. Ini mudah, sama seperti malam itu. Aku melawan dark legion dengan kegilaanku." ]

Jean fokuskan pikirannya, jernihkan syaraf-syaraf otaknya. Pandangan matanya mengawang kosong ke depan. Satu-satunya papan tulis yang ada dipikirannya. Hanya saja, bayangan-bayangan mayat teman-temannya di Essex terus berdatangan dan mengganggunya.

Seperti dikejutkan oleh derasnya aliran listrik, Jean merasakan sesuatu menggeletar di tiap urat nadinya.

Dia menahan amarah… atas semua yang telah terjadi, pembunuhan itu bukan sesuatu yang Jean inginkan, bukan pula unsur kesengajaan. Dia hanya membenci…

Sangat membenci kejahatan mereka, membenci mereka yang menertawakannya, dan manusia sebayanya malah memperlakukannya tidak manusiawi…

[ "Aku hanya korban… mereka pantas mendapatkan itu 'kan?" ]

Cahaya crimson malah menguar dari tubuh Jean.

Dinding-dinding kelas bergetar, lantai-lantai marmernya berdentum kuat. Professor Tatum terkejut ketika baut-baut di mejanya terlontar dari slot-slot besi penahan bagai lesatan peluru-peluru liar. Papan tulis di belakangnya hancur berkeping-keping, jendela raksasa di sudut-sudut kelas pun pecah berderai. Buku-buku beterbangan, berputar-putar kencang di penjuru ruangan.

Angin ribut tiba-tiba berembus, tubuh Jean kian berpijar, surainya tampak memerah. Sepasang matanya yang biasa terlihat cemerlang indah kini menyala dan mulai berubah sewarna merah darah.

[ Jean… kau milikku… ]

Seisi kelas mulai menjerit panik dan ketakutan kala meja – kursi mereka melayang bebas dari lantai, kemudian melebur jadi serpihan debu. Lampu-lampu kandelar di kubah langit-langit ikut meletup, muntahkan pecahan beling yang ikut berputar-putar bersama pusara angin.

Udara di ruangan itu memanas seiring kemarahan Jean yang terus meningkat.

"Jean! Hentikan!" pinta Professor Tatum berupaya menahan amarah Jean, mencoba memasuki pikiran gadis itu dan mengendalikannya. Namun Jean terlampau kuat. Berkali-kali Tatum berupaya tapi berulang kali dia terhempas lagi. "Semuanya keluar!"

Murid-murid berhamburan menyelamatkan diri, jeritan-jeritan mereka menggema di mana-mana. Getarannya terasa sampai keluar kelas, gelombang getaran bagai gempa berkekuatan hebat menempa. Retakan-retakan beton dinding akademi merambat hingga ke dasar lantai.

[ "Dasar monster! Kau keji! Kau pembunuh!" ]

Suara-suara manusia yang menertawakannya, dan kala keluarganya malah mengusir Jean dari rumah.

"Get out of my head." gumam Jean mulai muak dengan semua bayang-bayang itu. Matanya banjir oleh air mata.

"Jean! Jangan lakukan itu!" seru Tatum sekali lagi.

Jean kian menggila, Tatum tercengang di tempatnya. Kali pertama matanya menyaksikan kekuatan sebesar itu. Dia merentangkan tangan demi menahan serangan psikokinesis Jean Venthallow Argent yang teramat sangat kuat. Serpihan beling mengiris kulit professor, salah satunya menembus ke tulang keringnya.

Dia mengerang kesakitan.

Di luar murid-murid lain menjerit, menyeru pilu nama professor Tatum Reddington. Hawa panas kian membakar kulit, seluruh daratan kastil bergetar hebat.

Jean meradang, "Pergi semuanya dari pikiranku!"

[ Bruaaaaaaaaaaaaaakkkk! ]

.

.

Your gift is the motivation for my creation. Give me more motivation!

Terima kasih banyak, untuk readers aktif atau silent readers yang telah luangkan waktunya membaca karya saya.

NavaKaicreators' thoughts