1 Jean Venthallow Argent

"Ayo… lawan aku! Cewek aneh!"

"Hentikan! Kalian menyakitiku!"

Jean terjerembab kesekian kalinya, geng Brody memang benar-benar kejam. Tas berisi buku-buku tugasnya ditenggelamkan ke dalam danau di depan sekolah. Mereka bahkan sampai hati menyiram tubuhnya dengan air selokan.

"Ayo monster, lawan aku, sialan!" Brody memukulnya menggunakan bola tangan, teman-temannya pun melakukan hal serupa.

"Kumohon, mengapa kau melakukan ini padaku? Apa salahku?!"

"Salahmu? Karena kau terlahir di dunia ini. Kau bahkan tidak pantas berada di sini!"

Sangat menjijikan, dari atas kepala sampai ke ujung kakinya kotor semua. Tidak ada satu orang pun yang mengulurkan tangan untuk membantunya. Jean hanya jadi tontonan dan bahan tertawaan teman-teman sekelasnya. Semakin hari perundungan mereka kian agresif, ketika Jean bisa menahan diri, bukannya membaik malah makin memburuk.

"Aku bilang hentikan!" Jean meradang, kesabarannya mulai terbakar habis.

"Lalu kau mau melakukan apa padaku, monster?! Kau akan menangis? Atau membunuhku? Seperti kau melukai Blaire Harper?" Brody bertanya dengan intonasi dan bahasa tubuh mengejek.

Lula Browning menyeringai jahat, "Siapa yang akan membantumu? Siapa yang mau menolongmu? Kau menakutkan, keluargamu pun bahkan mengutukmu?! Mengapa kau tidak mati saja!"

"Lebih baik kau pergi yang jauh, monster! Kau terkutuk!" timpal Jonah Post melempar telur busuk ke kepala Jean.

Napas Jean memburu, seluruh tubuhnya lengket oleh amis bercampur aroma busuk memuakkan. Mata tajamnya menatap Brody dan seluruh teman-teman yang menertawakannya dengan kebencian mengental.

Dia sangat membenci kata-kata itu.

[ Mengapa tidak ada yang memahamiku? Mengapa tidak ada yang mengerti? Aku bukan monster! Aku memang berbeda, tapi aku tidak jahat! ]

Mata hazel milik Jean telah berubah menjadi cerminan air sepenuhnya, begitu lama ia menderita. Diserang secara fisik dan mental, kesabarannya berada diambang batas. Jean benar-benar dikuasai angkara murka sekarang.

Tangannya terkepal kuat, Sesuatu aktif dari dalam tubuhnya dan itu terjadi di luar kendalinya. Mendadak angin dingin berembus kencang di sekeliling lingkungan sekolah. Pohon-pohon akasia raksasa berusia ratusan tahun ikut terhempas oleh amukan hembusan angin ribut yang terjadi tanpa peringatan.

Jean menyeru murka, "Aku tidak akan meminta maaf pada siapa pun!"

Sekumpulan awan gelap keperakan di atas cakrawala membentuk sebuah lubang raksasa berwarna hitam, di mana aliran halilintar bergumul dan bersahut-sahutan tiada jeda. Seisi sekolah mulai ketakutan ketika gemuruh petir berbentuk garpu membakar tiang lampu tembak di lapangan bola di samping halaman gedung pengajar. Guruh petir itu kian menggila di atas kepala Jean.

Iris matanya berubah warna ke rubin gelap, kemudian sesuatu di dalam tanah bergemuruh hebat seolah bumi diguncang oleh gempa besar. Serangkaian retakan-retakan di atas tanah merambat cepat, bergemeretakan hingga meninggalkan jejak-jejak terbelah ke atap dinding sekolah yang langsung runtuh.

"Brody! Pergi dari sana!" teriak Lula langsung menarik lengan kekasihnya.

Brody tercengang menyaksikan apa yang terjadi pada dunia sekelilingnya, kedua kakinya seakan mati rasa dan tak mampu digerakkan. Bongkahan batu-batu di bawah kakinya, besi-besi balkon gedung sekolah tercerabut dari tiang pancangnya, barisan kendaraan di tempat parkir pun pelan-pelan melayang ke udara.

Kemarahan alam itu terpusat pada Jean Venthallow Argent. Dia seperti orang kerasukan, kebenciannya benar-benar meruap hingga didihkan kepalanya. Tulang pipinya yang tinggi menahan berang. Jean menggigit bibir bawahnya, urat-urat di matanya perlahan-lahan tampak menghitam.

"Pergilah kalian ke neraka! Orang-orang jahat!"

Mereka semua menjerit-jerit ngeri, kelabakan mencari tempat perlindungan, kepanikan di mana-mana, pilar-pilar gedung sekolah hancur melebur jadi debu.

Seperti menyaksikan kehancuran dari sebuah akhir dunia. Mereka sibuk menyelamatkan diri masing-masing, beberapa murid jatuh terinjak-injak.

"Tidak! Brody! Lula! Jonah!"

Atap gedung langsung runtuh dalam sepersekian detik, berdentum kencang mengubur apa pun yang ada di bawahnya.

[ Braaaaakkkk…. Bruaaaaaaakkkkkkk, braaaaaaak! ]

.

.

Gedung sekolah menengah atas ternama di London Barat itu luluh lantak, kepulan asap membubung tinggi di atas langit bagai jelaga. Laksa hujan turun mengguyur seluruh daratan yang porak-poranda. Jean syok dan lingung tidak tahu apa yang terjadi sebelumnya. Dia sama ngerinya menyaksikan segalanya rata dengan tanah.

"As…ta… ga. Memang ada yang salah denganku…" Jean menggeleng-gelengkan kepalanya. Pandangi kedua tangannya yang tremor.

Tubuh Jean merosot di atas rumput, napasnya naik turun dan terguncang. Suasana menghening, hanya tersisa suara hujan lebat yang menderu puing-puing di sekitarnya. Orang-orang menjerit kesakitan, tangis memohon pertolongan mengoyak udara. Sayup-sayup sirine polisi serta ambulans terdengar mendekat dari kejauhan.

"Pembunuh! Pembunuh! Kau monster, Argent!" kutuk Elaine Morier terbangun dari lukanya. Dia terseok-seok, kepalanya mengeluarkan darah. Satu-satunya yang sadar dibanding teman-temannya yang lain.

Jean menelengkan kepala frustrasi, "Bukan aku! Bukan aku! Aku tidak melakukan apa pun!"

"Seseorang panggil polisi! Adili si pembunuh itu!"

Ketakutan dan bingung harus berbuat apa, situasi menjadi kacau ketika Elaine menuntut namanya. Jean lekas bangkit kemudian berlari sejauh-jauhnya. Meninggalkan suara-suara korban yang tiada henti mengutuknya.

Hanya pulang ke rumah tempat pelarian terakhirnya, kala dunia menolak keberadaannya. Jean tak punya tempat bernaung dan perlindungan selain keluarganya.

.

.

Jean baru kembali pulang ke rumah kala kegelapan total telah menyerap habis lembayung petang sepenuhnya. Dia sangat letih, berharap segera dapat beristirahat untuk tenangkan diri. Pikirannya tengah kacau-balau, bayangan serta ingatan kejadian tadi siang sangat mengerikan. Ia masih mendengar suara-suara rintihan pesakitan dari teman-temannya terngiang-ngiang jelas di rongga kepalanya.

Mustahil Brody, Lula dan Jonah selamat dari terjunan reruntuhan gedung sekolah. Cuma keajaiban yang bisa menyelamatkan mereka. Rasa bersalah pun menusuk jantungnya bagai bilah belati.

[ "Aku harap mum, daddy juga Millie tak menonton berita. Bagaimana kalau mereka tahu? Bagaimana jika ada seseorang yang merekam kejadian siang tadi? Apa yang harus kulakukan kalau mereka tahu? Aku telah membunuh mereka. Astaga! Aku membunuh teman-temanku? Dan aku kabur seperti pengecut?!" ]

Membuka pintu rubanah perlahan-lahan, Jean terpaksa pulang dengan cara mengendap-endap layaknya seorang pencuri. Banyak hal ditakutkannya, batin Jean terus mengutuk dirinya sendiri.

[ "Seharusnya aku bisa menahan diri, bodohnya aku! Mengapa aku harus terlahir dengan kemampuan mengerikan seperti ini? Kenapa aku harus menjalani hidup begini? ]

Air mata Jean luruh lagi, di rubanah dia duduk di kursi kayu seraya tertegun sejenak. Pikirkan hidupnya yang serasa hancur.

[ "Apa salahku? Kenapa kalau aku berbeda? Aku bukan monster?" ]

"Oh, di sini kau rupanya?!"

Jean terperanjat kaget dari kursi kayu, punggung tangannya segera mengusap air mata yang membasahi pipi. "Millie? Maafkan aku−"

Millie melipat tangan di dada, dahinya tertekuk tajam. Dia benar-benar murka kali ini. "Jangan dekati aku! Kau orang paling mengerikan, bisa-bisanya kau mencoreng nama baik keluarga ini dengan keanehanmu itu?! Aku tidak tahu harus menyebutmu apa! Kau membuat kami kehilangan kata-kata. Kau membunuh orang-orang tak bersalah!"

"Bukan aku, Millie. Sungguh, aku tidak melakukan apa pun. Itu bukan aku−" Jean melolong dengan segenap permohonannya.

"Diam kau, monster! Masih mau mengelak?! Dunia telah melihatmu, sialan!" Millie merogoh saku sweaternya. Keluarkan ponsel dari sana, ibu jarinya buru-buru membuka sesuatu di dalam gawainya. "Lihat ini! Apa ini?!"

Kecemasannya benar-benar terjadi, banyak rekaman kejadian tadi siang telah tersebar di internet. Cuma dalam hitungan jam semuanya kian tak terkendali. Artikel-artikel ternama bahkan telah membahasnya sedemikian rupa. Media sosial gempar oleh beragam komentar pro dan kontra.

Tubuh Jean merosot di atas dinginnya lantai kayu rubanah rumahnya, syok bukan main. Merasakan atmosfer di sekelilingnya membeku. Seolah oksigen di tempat itu tak cukup atasi sesak napas yang menyerang paru-parunya.

"Kau menghancurkan hati kami. Mum dan dad telah melihat semuanya. Juga tuntutan mereka yang kehilangan putra-putrinya atas insiden yang kau perbuat! Kau mengerikan, Jean!"

"Tapi aku sungguh tidak melakukan apapun−aku tak bermaksud−" Jean terdengar putus asa.

"Hanya kau yang selamat! Semua benda melayang itu! Kau sesat, Jean!! Kau monster mengerikan! Kami sangat takut padamu! Reaksi apa yang kau harapkan?! Semua orang takut padamu! Ini semua salahmu! Kau aneh!!" sembur Millie terus menghakimi Jean tanpa belas kasih.

Jean mulai terisak tanpa daya di sana. Cuma itu yang bisa dia lakukan. "Sungguh, aku tak berniat melukai siapa pun."

"Simpan pembelaanmu, kau bukan bagian keluarga ini. Kau pembawa sial, musibah! Mengapa kau tidak mati saja?! Kau membuat keluarga ini sangat malu!!"

"Millie?!!"

Suara sang ayah menggelegar di pengapnya ruangan bawah tanah di antara dinding-dinding sedingin es, Edgar telah berdiri di depan anak tangga, air mukanya penuh kekecewaan serta luka. Dia bahkan enggan menatap Jean barang sesaat atau sekadar bertanya bagaimana keadaannya.

Jean merinding mendengar langkah kaki Edgar yang terus mendekat.

"Dad?" Millie menghela napas panjang. Mereda amarahnya yang memuncak di kepala. Dia ingin sekali melenyapkan Jean dari muka bumi ini.

"Arrgh! Dad… kau menyakitiku. Sakit, daddy! Ampuni aku. Jangan hukum aku, dad?!!"

Edgar menyeret kasar lengan Jean tanpa ampun, Jean memekik nyeri, tangisnya terpecah histeris di lorong ruang tamu. Tanpa pedulikan lolongan putri bungsunya yang memohon ampun tiada henti. Edgar melempar Jean tepat di bawah kaki ibunya.

Jean banjir air mata, merasakan nyeri menusuk di lengannya. "Kumohon, maafkan aku. Ampuni aku. Jangan hukum aku."

Mata sang ibu tampak sembap, tatapannya datar dan dingin. Mendadak segalanya terasa asing. Tidak ada yang peduli kesulitan Jean bahkan teruntuk keluarganya. Satu-satunya tempat Jean berpulang serta mencari perlindungan.

"Tidak ada yang bisa kami lakukan lagi untukmu. Keberadaanmu membuat kami sangat menderita. Kau sangat keji."

"Jangan katakan itu, mum. Hanya kalian yang kupunya. Apa yang harus kulakukan tanpa kalian? Jika kalian tidak menerimaku, aku harus pergi ke mana lagi?"

Candice langsung mundur saat Jean hendak menyentuhnya.

"Jangan sentuh aku! Kau menakutkan, mengerikan, Millie benar. Kau sesat! Pergilah, jangan pernah kembali lagi!"

"Tidak, aku tidak mau! Ini rumahku, kalian keluargaku. Mum, jangan usir aku. Kumohon, mengapa kalian membuangku?! Apa salahku?! Kenapa kalian tidak membelaku? Jangan usir aku, mum. Kumohon− aku tak tahu harus pergi ke mana lagi." Jean bersujud, tersedu-sedan. Memohon ampun, air matanya berlinang deras, suaranya bergetar seretak kaca.

Dunianya benar-benar serasa runtuh di bawah kakinya, lututnya lemas seketika. Jean sangat takut kehilangan semuanya, takut kehilangan satu-satunya keluarga. Dia tidak akan pernah siap atau membayangkan tinggal sendirian di luaran sana.

"Pergi sekarang juga! Jangan pernah kembali, kau monster! Atau aku akan membunuhmu!" mata Candice berkilat-kilat penuh angkara murka. Dia bersungguh-sungguh dengan kata-katanya.

Jean tak percaya ini terjadi, "Bagaimana bisa kalian tega membuangku begitu saja? Aku putri kalian!"

"Aku tidak punya putri seorang monster!" sembur Candice berbalik pergi.

Habis kesabaran Edgar, sebelum sesuatu yang buruk terjadi. Pertumpahan darah pasti tak terelakkan.

"Ampuni aku, daddy! Ampuni aku! Mum, jangan usir aku! Kumohon, kasihani aku, mum! Aku tak akan bisa hidup tanpa kalian. Tolong, daddy. Jangan usir aku!"

Edgar menjambak rambut Jean dan segera menyeretnya keluar pintu. Beribu-ribu permohonan maaf tetap tak menghentikan kekejaman mereka. Jean menjerit pilu, memohon pertolongan namun tidak ada satu pun yang mendengar.

"Jangan pernah kembali! Bagiku kau sudah mati! Kau monster keji!"

.

.

avataravatar
Next chapter