1 Prolog

Lahirnya aku ke dunia ini adalah sebuah berkah yang tidak terkira harganya untuk keluargaku, terutama ayahku. Sejak aku lahir, menurut penuturan ibu pengasuhku, orang-orang di sekitar menyebutku si anak cantik. Ayahku sangat senang mendengarku dipanggil seperti itu, tetapi tidak denganku.

Wajah cantik dengan sepasang mata besar sejernih kristal, hidung mancung, tulang pipi yang menonjol, serta seulas bibir tipis berwarna merah muda. Wajah ini merupakan cetakan persis dari wajah ibuku yang konon kabarnya berasal dari Inggris. Semua fitur di wajahku sama dengannya kecuali warna iris mataku yang warnanya coklat hazel sementara ibuku berwarna biru gelap. Ibu asuhku pernah mengatakan bahwa ia bisa melihat gelapnya lautan malam dari sekadar menatap kedua mata ibuku.

Namaku Samantha Lee, ayahku seorang pengusaha percetakan. Beliau merupakan seorang Korea asli yang banyak melakukan perjalanan ke luar negeri untuk memperluas bisnisnya. Ya... tidak sepenuhnya salah, beliau berbisnis sembari mencari wanita juga. Hingga pada saat aku baru saja memasuki SMP, aku tiba-tiba memiliki seorang adik laki-laki yang tidak jelas asalnya dari mana.

Bayi alien itu bernama Jake dan matanya berwarna hitam pekat. Aku seperti menatap iblis saja, begitu aku menatap kedua matanya yang berbentuk seperti mata kucing. Aku benar-benar tidak menyukai adikku.

Ayahku menjadi lebih sering marah setelah beliau membawa pulang bayi alien tersebut. Seperti biasa, tiap kali beliau marah, beliau akan mulai memukuliku. Bagian yang peling sering dipukul adalah betis serta lengan hingga ke pergelangan tangan. Beliau selalu memukuliku hingga berdarah-darah dengan beberapa tongkat rotan tipis yang rasanya sakit bagaikan dicambuk saja. Pada mulanya aku menangis dan berteriak-teriak minta tolong kepada ibu asuhku tiap kali ayahku memukuliku, tetapi semenjak kelas 4 SD, aku lebih memilih untuk tidak bersuara sama sekali.

Lebih baik menggigit bibir bawahku hingga robek, ketimbang berteriak karena beliau seakan menikmati tiap teriakanku. Jika aku tidak bersuara, paling hanya empat tongkat yang terpakai. Namun, berikutnya beliau akan kembali emosi setelah melihat bibirku yang berdarah. Beliau akan mengataiku jelek dan mulai menjelek-jelekan sosok ibu yang sebenarnya tidak pernah kukenal sama sekali. Itu kekerasan verbal yang biasa kudapat... lumayan menyakitkan juga.

Suatu malam di tengah hujan salju, aku melarikan diri dari rumah. Berbekal gaun tidurku yang tipis dan sehelai mantel berbahan wool yang ditinggalkan ibu asuhku, aku nekad pergi keluar dari kamar tidurku di lantai dua dengan bantuan pohon merambat di dinding. Aku berhasil turun meski kedua telapak tanganku lumayan kesakitan.

Dengan hanya menggunakan sepasang sandal rumah, aku menyusuri jalan setapak demi setapak menuju sungai Han. Tubuhku benar-benar menggigil kedinginan waktu itu dan hampir saja tidak akan sampai ke sungai Han. Namun entah bagaimana, dengan diselimuti derasnya hujan salju serta angin kencang dan langit malam yang memperkeruh suasana, aku sampai juga di sungai tersebut.

Hanya tinggal menaiki pagar pembatas ini dan melompat ke bawah... lalu semuanya akan selesai. Mungkin selama kurang lebih tiga hari, aku tidak akan ditemukan oleh siapapun... lalu aku baru akan ditemukan ketika sekujur tubuhku sudah membengkak dan membiru. Pada saat itu, aku sudah menjadi jelek dan itu bagus.

Namun, belum sempat aku mengeksekusi rencanaku, ketika aku menoleh ke samping kiriku, ada sesosok manusia di sana yang aku yakini adalah seorang anak laki-laki. Ia sudah menaikan kaki kanannya ke pagar, berarti sudah membulatkan tekad untuk melompat bebas ke sungai.

Perlahan aku menghampirinya. Kulihat, ia benar seorang anak laki-laki. Berbalut setelan jas hitam dengan sehelai kain putih yang terikat di lengan kirinya. Ia baru saja kehilangan seseorang yang sangat penting sepertinya, hingga nekad untuk mengakhiri hidupnya.

Tanpa pikir panjang, segera aku berusaha untuk menarik anak itu. Bagaimana bisa kami bunuh diri di waktu yang bersamaan seperti ini. Dia tidak boleh mengambil momentumku.

Meski sulit, aku berhasil menariknya. Ia terjatuh ke arah jalan dengan posisi punggungnya di bawah. Beruntung, ini hanya jalan untuk para pejalan kaki.

Terlihat sepasang matanya yang sembab karena habis menangis yang entah sudah berapa lama, menatap ke arahku dengan tatapan membunuh. Namun, tidak berakhir di situ. Lagi-lagi ia mencoba untuk terjun entah berapa kali hingga akhirnya kami berdua sama-sama kelelahan.

Sama-sama bersandar di pagar pembatas, dengan napas tersengal-sengal tiba-tiba anak itu mulai tertawa terbahak-bahak. Ia sudah gila. Hal ini benar-benar membuang waktu berhagaku untuk bunuh diri.

Nama anak itu Mark Lee. Ia baru saja kehilangan seekor anjing Siberian Husky yang konon kabarnya telah menemaninya tumbuh dewasa. Hanya seekor anjing dan ia ingin bunuh diri. Benar-benar anak laki-laki yang cengeng.

Usia kami sepantaran. Kebodohan yang kami alami berdua, rupanya kami sama-sama kedinginan juga.

"Siapa namamu?" Tanyanya dengan suara gemeretak gigi yang sangat jelas. Ia benar-benar kedinginan, menunggu untuk dijemput setelah gagal bunuh diri. Tidak ada sedikitpun terdengar ada kata penyesalan dari mulutnya setelah menggagalkan rencanaku.

"Samantha Lee." Jawabku, ketus.

Pada akhirnya, aku pun dipaksa untuk ikut diantar pulang oleh supir dari keluarga anak bermarga Lee itu dan lebih parahnya lagi, ternyata rumah kami berada di perumahan yang sama. Kami adalah tetangga yang berseberangan. Rumahnya adalah rumah yang baru saja diisi tiga hari yang lalu.

"Terima kasih untuk tumpangannya." Ucapku dengan nada yang sama ketusnya, begitu turun dari mobil sedan hitam milik keluarga anak sialan itu.

Tanpa menoleh ke belakang, aku berjalan dengan langkah lunglai ke arah ibu asuhku yang sudah menunggu di depan pagar dengan beberapa helai jaket tebal di tangannya. Begitu aku sampai, ia langsung memelukku dengan erat, menghangatkan tubuhku.

"Hei!" Sambil masih menggigil, aku menoleh sekilas ke arah mobil yang baru saja mengantarku.

"Sampai bertemu lagi, tetangga!"

avataravatar