webnovel

Ungkapan Rasa

"Om," panggil Aleena lirih.

Air matanya sudah siap jatuh saat menatap Vano.

Vano yang melihat hal tersebut pun buru-buru mendekap Aleena, dan, pecahlah tangis Aleena. Ternyata ini sosok yang mencintai diam dirinya, yang dibilang oleh Rena selama ini?

Om nya Rena sendiri?

"Tak apa-apa. Kalau kamu menolakku, itu wajar. Kamu masih sangat muda untuk pria tua sepertiku ini, memang," ucap Vano.

Melepaskan pelukan mereka.

Aleena buru-buru menggeleng-gelengkan kepalanya.

"B-bukan, Aleena tak berniat menolak Om. Hanya saja, apakah Om yakin bahwa perasaan itu adalah cinta?" tanya Aleena ragu-ragu.

Vano mengangguk.

"Anggap saja, kita sedang dalam masa pendekatan. Ok?"

Aleena mengangguk. Kali ini tanpa ragu, sangat yakin.

Amazing!

"Sekarang tidurlah, biar aku saja yang membereskan beberapa sisa makan ini," ucap Vano.

Aleena mengangguk, Ia akan mencoba menjadi gadis yang penurut. Vano menurunkan ranjang Aleena ke posisi semula sehingga gadis itu mudah untuk tiduran dengan nyaman.

Aleena memejamkan matanya, dalam hati ia banyak berbicara.

~Point of View Alena~

Seriusan?

Om dari Rena itu menembakku?

Kok?!

Kali ini ini serius, bukan mimpi kan?

Tapi kenapa dia tiba-tiba saja menyatakan perasaan itu? Bukankah selama ini dia adalah sosok pendiam yang tak ingin diusik hidupnya?

Kenapa tiba-tiba saja dia mengungkapkan perasaan itu kepadaku?

Aneh sekali kan …

Sekarang rasanya jadi canggung. Aku tak enak kepadanya sekarang apapun yang aku lakukan rasanya sekarang serba bersalah.

Sepertinya aku perlu intropeksi diri agar diriku pantas untuknya.

Apalagi dia itu cowok terkenal lelaki kaya mapan dan dewasa pasti banyak perempuan yang menginginkannya untuk menjadi suaminya tapi kenapa dia malah memilihku. Aneh sekali.

Nah kan sekarang rasanya canggung aku jadi tak enak untuk berbuat apapun itu mau bagaimana lagi aku bener-bener tak enak hati.

Bahkan hanya sekedar untuk menyapanya mendengar ucapannya membuatku semakin merasa tak enak hati aku hanya mengangguk dan tersenyum.

Ya mau bagaimana lagi Aku sangat ingin memanggil Rena dan mengadukan aktivitas barusan ini kepadanya saat ini juga.

Tapi melihat Om Vano belum juga keluar dari ruangan membuatku mengurungkan niatku dan kini memilih untuk berdiam saja.

Aku masih canggung dengan kegiatan kita di saat dia mengungkapkan perasaannya kepada aku dan aku hanya terdiam rasanya begitu aneh.

Baru kali ini ada orang yang berani mengungkapkan perasaannya padaku.

Setelah sekian lama aku mencoba untuk tidak membuka hati pada siapapun.

Banyak cerita yang aku pendam dan aku tidak datang hanya dengan siapapun semoga saja orang-orang mengerti dengan apa yang aku alami.

Tapi jujur saja rasanya ini benar benar benar benar benar benar benar benar benar canggung.

~Point Of View Aleena~

Selesai

Setelah melamun agak panjang Aleena pun tersadar dari lamunannya ia sedikit salah Tingkah saat diperhatikan oleh Paman dari Rena, sahabatnya tersebut.

Rasanya canggung aneh dan ya begitulah semuanya ada di dalam hati Aleena. Perasaan canggung itu ada juga nyata dan Alena terlalu malu untuk menutupi perasaannya.

Mau bagaimana lagi ia sangat sangat malu sekarang bahkan untuk menatap lelaki itu pun rasanya sudah tanda tenaga ia malu dan ia tak mau lagi eyes contact dengan lelaki penuh kharisma itu.

"Sekarang tidurlah, jangan begadang tidak baik jika seorang gadis begadang seperti ini," ucap Vano sedikit lawak.

Aleena mengerucutkan bibirnya sebal, dengan kesal.

Ini kan masih pagi dan ia tentu saja telinga tak pernah salah dalam mendengarkan apapun itu Vano buru-buru membalas eyes contact yang dilakukan oleh Aleena.

Pada wajahnya, ia tahu ia mempunyai banyak kharisma bahkan daya tarik berkatnya pun masih utuh.

Kenapa Ia khawatir?

"Kalian akan meninggalkannya?"

Padahal Ia tahu hal itu tidak akan terjadi dikarenakan Alena sudah pernah merasakan bagaimana rasanya ditinggalkan oleh orang-orang tersayang nya.

Bagaimana rasanya dihancurkan oleh orang-orang tersayang nya.

Sayang sekali ya tak dapat menikahi Alena saat ini juga padahal kalau dibolehkan Vano ingin cepat-cepat menikah yang lainnya agar Alena dapat berbagi beban kepadanya.

Bukankah arti dari pernikahan adalah pembagian beban kepada kedua belah pihak?

Bukan tentang keturunan atau apapun itu?!

Bukankah memang seperti itu?

Karena yang ia ketahui seperti itu. Vano memegang tangan Aleena perlahan dan mengelus tangan itu pelan-pelan. Lelaki itu tiba-tiba saja memberikan hawa kantuk pada Aleena.

Dan benar saja belum sampai 5 menit Vano sibuk memanjakan Aleena.

Aleena sudah memejamkan mata, Aleena langsung tertidur begitu saja. Bahkan belum ada 2 menit setelah Vano mengelus tangannya tersebut lebih tepatnya lengan Aleena.

Vano berucap dalam hati.

"Andai saja kamu tahu perasaanku sejak awal, Al, pasti aku tidak akan tersiksa seperti ini selama bertahun-tahun,"

"Bukan lagi tersiksa selama bertahun-tahun hampir 10 tahun kamu mengenal Rena begitu juga aku mengenalmu dan ya perasaan ini sudah hadir selama itu,"

"Hanya saja kamu belum menyadarinya. Tapi itu tidak masalah bagiku, mendengarmu tidak menolak ku saja aku sudah bahagia," ucapnya.

"Apalagi kalau sampai aku mengenalmu lebih dalam lagi dan lebih mengenalmu lebih akrab lagi agar obrolan kita komunikasi kita tetap bagus,"

"Tapi baiklah dirimu bebas untuk melakukan apapun itu aku tahu akan hal itu dan ya tunggu saja rencanaku," lanjut Vano.

"Kita berjalan bersama lalu aku akan dapat menguasai dirimu seutuhnya, bukankah begitu, Al?"

Vano mengecup kening Alena lama saat sebelum lelaki itu berdiri dan meninggalkan memo kecil di samping brankar Alena.

Lelaki itu menuliskan bahwa dirinya harus kembali ke kantor cepatnya karena meeting akan segera dimulai.

Dan ia tak dapat lagi lari dari tanggung jawab. Ia memang harus merasakan nya juga bagaimana susahnya berapresiasi pendapat.

Sesampainya di luar ruangan, ia menatap Rena dan juga asistennya yang sibuk bergelut dalam pikirannya masing-masing.

Entah apa yang ada di pikiran kedua makhluk hidup itu.

Akan tetapi baru dapat melihat bahwa buih-buih perasaan seperti hidup kembali tumbuh di antara dua makhluk hidup tersebut.

Ia mendekati Rena dan juga sekretarisnya berada di sana. Ia menepuk pundak Rena dan berkata.

"Ren tolong jaga Aleena ya, karena paman harus pergi ke kantor sekarang,"

Rena menerima permintaan itu.

Yang diberikan padanya. ya oke ini bukan lagi sebuah permintaan melainkan paksaan nyata karena.

Rena belum merasakannya sendiri.

Rena mengangguk, ia mendengar ucapan pamannya. Ia tersenyum dan melanjutkan langkahnya untuk masuk ke dalam kamar Aleena.

Lebih tepatnya ke dalam sebuah ruangan di mana Aleena sedang dirawat di situ.

Sebelum masuk, Rena menghela nafasnya sejenak.

Semoga saja pamannya tak berucap aneh-aneh pada Aleena dan membuat Aleena ilfeel kepadanya.

Semoga saja!

Batin Rena mulai resah.

Ini tadi Paman tidak bilang apa-apa kan pada Aleena ia tidak membocorkan perasaannya atau apapun itu tentangnya kan?

Pada Alena?

Tanya Rena dalam hati.

Ia hanya takut kalau seumpama Aleena akan menjauhi dirinya dan pergi hanya itu yang ia takutkan.