webnovel

Tak Bisa Membayangkan

Dunia ternyata tak seindah yang pernah semua orang bayangkan. Mungkin banyak orang yang akan membayangkan bahwa dunia itu menyenangkan dan menciptakan kegembiraan, tapi tidak dengan gadis itu.

Merasakan kesedihan yang tak ada habisnya dari Ia lahir sepertinya semua orang telah membencinya bukan hanya orang tuanya melainkan semua orang yang pernah ia lihat ada di dunia.

Kecuali satu, sahabatnya. 

Pertikaian akan adanya kehadiran dirinya di dunia masih menjadi perdebatan yang abadi sampai sekarang.

Aleena Sea Ovtara, nama seorang gadis yang tengah mengeluhkan semua perasaan sulit yang ia rasakan saat ini bukan hanya saat ini melainkan juga beberapa waktu yang lalu yang usianya bukan hanya hari dan bulan melainkan sudah tahunan.

"Ah, aku mengeluh lagi. Bersalah sekali diriku saat mengeluh seperti ini," keluhnya.

Mengeluh lagi, dasar Aleena!

"Seharusnya aku tak mengeluh seperti tadi, apalagi ini masih dalam lingkup tempat kerjaku."

Baru saja Aleena akan mengeluarkan keluhannya lagi, salah satu rekan kerja Aleena mendekati gadis itu.

"Mau es kopi, Na?" tawarnya.

Aleena mengangguk.

"Ini, minumlah. Agar wajahmu tak sesuntuk itu," kelakar rekan kerja Aleena tersebut.

Gadis itu hanya terkekeh.

Aleena meraih satu cup es kopi yang ditawarkan rekan kerjanya untuk menemani pekerjaan menumpuknya saat ini.

Aleena menyeruput satu cup es kopi itu perlahan dengan matanya yang setiap menikmati pemandangan indah di balik kaca yang ada pada tembok gedung lantai dua tersebut.

"Kenapa pekerjaan ini masih terasa menumpuk saja dari tadi?" monolog Aleena.

"Sepertinya ada yang salah denganku hari ini apakah mungkin aku masih memikirkannya. Ah, bodoh kau Alena," keluhnya sekali lagi.

Padahal baru saja gadis itu menggerutu bahwa ia menyesal telah mengeluh di dalam lingkup kerjanya, tapi barusan gadis itu malah mengeluh lagi.

Dasar, Aleena!

"Setelah 1 tumpukan berkas ini telah selesai, aku akan pulang yang dan rasanya aku malas untuk kembali ke rumah untuk saat ini," gerutu Aleena.

Tiba-tiba saja gadis itu kembali tersenyum dan memudarkan senyumannya sesaat setelah terpikirkan akan sesuatu.

"Apakah aku boleh menginap di tempatnya?" tanya Aleena bergumam dalam hati.

"Pasti adik papa nya itu akan memberikan tatapan dingin itu bila aku menginap ditempat Rena," seru Aleena merasakan sebal.

Baru juga dibayangkan, sudah sebal duluan!

Rena, satu-satunya sahabat yang dimiliki oleh Aleena.

Aleena merasa sangat malas jika dia harus pulang ke rumahnya. Tubuhnya masih sakit.

Apalagi gaji Aleena kali ini diundur. Aaa, Aleena tak bisa membayangkan lagi!

Aleena harus memikirkan itu nanti saja.

"Sudah habis? Cepat sekali," gumam Aleena sembari terkekeh pelan.

Bagaimana bisa satu cup es kopi yang berukuran lebih besar dari lengannya itu ia habiskan dalam waktu kurang dari 10 menit.

"Aku harus cepat-cepat mengerjakan ini. Lalu mengambil jatah makan di kantor dan pulang!" serunya semangat.

Bak mengobar saja api semangat itu. Menyulut bahagia dan sebuah ulasan hangat di pipinya.

Aleena mengambil pena dan kembali bekerja.

Dengan tangan kanan yang memegang berkas kerja dan satu tangannya lagi ia gunakan untuk memegang kendali komputer, alat utama bekerjanya seorang Aleena.

"Hai, Na. Ini ada tambahan berkas dari pak bos. Dia pulang duluan tadi, maklum, istrinya yang hamil sedang manja,"

Vean, rekan kerja Aleena yang juga ramah kepada Aleena itu menyapa Aleena dengan sopan sembari melontarkan gibahan ringan untuk keduanya.

"Lha kamu ini, An? Mau ke mana?" tanya Aleena sedikit sebal.

"Pacarku mengajak bertemu. Maaf ya, Na. Kan kamu baik hati, tolong bantuannya ya, Na."

Aleena masih memandangi Vean dengan datar.

"Terima kasih, Na,"

Vean lalu berlari mendahului Aleena.

Dasar bucin!

"Kenapa pula hanya aku yang jomlo perasaan?" gumam Aleena tak terima.

Aleena mengambil pulpen yang ada di sebelah posisi duduknya. Lalu memainkan walaupun itu dengan ritme yang sudah biasa ia lakukan dan tanpa sadar ia malah menjatuhkan pulpen itu.

Jomlo seperti Aleena hanya diam saja mendengar ucapan Vean.

Memang sih ia jomlo. Tapi kan nggak usah diiriin juga gitu. Ihhh ….

Aleena menghela nafas saat melirik jam yang di tangannya. Sudah pukul empat sore, dan semua temannya sudah pulang duluan?

Semuanya?

Wah, tak adil!

Aleena harus mengajukan keadilan kalau begini caranya.

'Deg'

Aleena mengambil sebuah liontin yang ada di samping kaki meja kerjanya. Ia tersenyum dan terus mengucap syukur saat liontin itu ia temukan.

Kalau memang ada seseorang yang patut dibenci itu bukanlah dirinya maupun sang mama akan tetapi keadaan. Coba bayangkan Bagaimana bisa keadaan membuat Aleena Rapuh jatuh dan hancur dalam satu waktu itu sulit.

Ayolah hanya ada 1001 gadis yang bisa bertahan di dunia bila hidupnya hancur seperti itu salah satunya Aleena.

Keadaan begitu kejam bagi gadis sekecil Aleena pada saat itu.

"Na rindu sama Mama," lirih Aleena.

Depresi?

Rasanya Alena sudah muak dengan kata-kata itu. Mengapa harus ada kata-kata itu di saat dirinya tak ada yang membantu membangun kepercayaan dirinya untuk hidup?

Di saat ia merasa ia tak pantas untuk hidup, tak ada yang maju kecuali sahabatnya apalagi orang tercintanya telah tiada.

Apakah dia harus memberontak pada keadaan?

Mampukah ia? 

Rasanya tak mungkin ….

"Aaah, malah melting kan. Ayo lah, Na. Cepat selesaikan pekerjaanmu dan pulang," ajak Aleena pada dirinya sendiri.

Saat Aleena baru saja akan menyelesaikan satu berkas yang ada, sebuah data yang ia dapat pun membuatnya mengernyit heran.

Sejak kapan ada data yang berbeda antara lembaran kertas dan sebuah memori keuangan.

Sudah lelah, tapi ini masih menjadi sebuah tanggung jawab untuk Aleena. Besok Aleena harus minta gaji dua kali lipat sih kalau seperti ceritanya!

Dasar, matre!

"Wait, ini beda kenapa ya? Perasaan harusnya bukannya sama-sama 20, kenapa ini 20, dan ini 14?" gumam Aleena menghela nafas nya kasar.

"Bagaimana bisa beda? Hellow, aku nggak salah lihat kan? Aaa, lembur lagi," gerutu Aleena kesal.

Baru saja Aleena akan melanjutkan pekerjaannya, tiba-tiba handphone Aleena berdenting. Membunyikan notifikasi chat dari siapapun di balik pemecah kesunyian tersebut.

*Rena

Udah mau pulang, Leen?

Ke rumahku saja. Papa dan mamamu sudah menunggu dirimu di depan rumah aku lihat sekilas tadi.

*Aleena

Bagaimana, Ren?

Oh seperti itu

*Rena

Jangan bilang kamu akan tetap pulang!

*Aleena

Ya iya lah, memang harus ke mana lagi?

*Rena

Leeeeeen

*Aleena

Apa sih bawel. Udah ah, aku kirain apa!

*Rena

Aleena, jangan bandel napa!

*Aleena

Santai aja, Ren. Santai

*Send

"Bener-bener si Rena. Makasih Ren, by the way."

Aleena menyembunyikan wajahnya di balik tumpukan berkas yang membahana tinggi. Dua jam lagi pasti ia selesai.

Ia membunyikan bel kantor, dan beberapa ruangan banyak yang menyahut. Itu artinya, ia tak sendiri lemburnya. Ok lah, banyak teman!