webnovel

Gengsi

Mentari datang, mulai bersiap untuk menyapa setiap umat di muka bumi yang mungkin saja masih terlelap juga terhanyut dalam mimpi indahnya kali ini.

Begitu juga dengan Aleena gadis itu kini masih terlelap di atas jok mobil belakang Rena.

Masih berfokus pada mimpinya yang terkesan nyata, tidak ia tidak lupa dengan janjinya untuk bangun lebih pagi karena akan dijemput oleh Rena, sang sahabat.

"Teman kamu ternyata ekstrim juga ya kalau tidur," ucap Vano, uncle dari Rena.

Lelaki yang selalu saja mengomentari hal apapun tentang teman Rena itu. Tentu saja saat teman dari keponakannya itu dalam keadaan tak sadar atau tidur.

"Bisa tahan merem seperti itu sampai beberapa menit, bahkan ia tak sadar kalau kita baru saja berhenti untuk mengisi bensin tadi," keluh Vano.

"Nah kan, dia sebenarnya tidur atau berhibernasi sih," cibir Vano.

Rena dari balik jok Vano bersiap untuk balas mencibir.

"Daripada yang cinta tapi gengsi ngungkapinnya," cibir Rena menyindir Vano secara telak.

"Kayak kamu nggak aja," balas Vano.

"Emang nggak, wleekk," ejek Rena.

"Turun sini aja nah kamu, Ren," ucapan serta tatapan tajam Vano kali ini mampu membuat Rena mendengus sebal.

Vano sesekali mencuri pandang kepada teman keponakannya tersebut. Cinta iya, dan ya begitulah, semuanya berasal dari rasa nyaman yang terjadi.

Vano membelokkan mobilnya ke dalam sebuah jalan di mana dari deretan rumah yang ada pada jalan tersebut adalah rumah milik kakaknya.

Vano lantas mengklakson mobil agar satpam membukakan pintu gerbang untuknya masuk ke dalam rumah.

Selama ini memang Vano tinggal di rumah sang kakak karena alasan utamanya adalah posisi perusahaan lebih cepat jika ditempuh dari rumah sang kakak.

Padahal itu hanyalah sebuah alasan seorang Vano agar dia bisa melihat wajah teman dari keponakannya yang mungkin saja bisa datang sewaktu-waktu.

Benar-benar definisi jodoh ada di tangan adik sepupu ini tuh namanya!

Van!

Van!

"Itu teman kamu mau kamu seret atau Uncle gendong, Ren?" tanya Vano.

"Ini, Uncle menawari kamu lho ya atau bangunkan saja gitu ya tidak perlu repot kamu menyeretnya," usul Vano dengan ide jahilnya.

"Ih Uncle Vano jahat ih, masak cantik-cantik gini mau diseret kan kasihan, ck," decak Rena sebal.

"Ini Uncle gimana sih kebangetan banget jadi manusia, bantuin ini," pinta Rena.

"Kurang tulus,"

"Ck,  kasihan nih temen kalau enggak cepat-cepat masuk kitanya," desak Rena sebal.

"Iya, iya. Sabar dong," balas Vano ketus.

Mode dinginnya sudah balik euyyy!

"Dasar es batu, kebangetan banget disuruh doang aja nggak mau mau, sebenarnya Uncle Vano itu sayang sama cinta beneran nggak sih sama temen Rena ini," decaknya sebal.

"Kebangetan banget cuma gendong doang lo sampai kamar Rena, kenapa Uncle udah menggerutu seperti itu, ngrepotin tau nggak hati Uncle itu," adu Rena.

"Biarin," balas Vano cuek bebek.

Tak peduli dengan segala sumpah serapahan yang keponakannya tujukan padanya.

Tanpa basa-basi lagi, Vano menggendong Aleena ke dalam kamar sang keponakan.

Ia sedikit kasihan dan juga khawatir saat melihat wajah memar sang kekasih hati.

Mau bagaimanapun sang kekasih hati harus tetap nyaman dalam dekapan gendong nya saat ini ia harus tetap membuat sang kekasih hatinya merasa nyaman.

Tahu kalau begini, ia tak akan mengizinkan sang kekasih untuk pulang minggu lalu.

Aaa, kekasih kalau ia menyebut.

Kenapa ia segengsi ini?!

"Jangan bangun dulu, Leen. Aku keluar saja ya," ucap Vano lalu kabur keluar kamar.

Lumayanlah, ia sudah ada kesempatan untuk mengelus pipi halus dan chubby dari seorang Aleena.

Saat Vano keluar dari kamar tempat di mana Aleena tidur di sana. Vano berpapasan dengan Rena yang baru saja masuk ke dalam kamar Aleena dengan membawa kotak p3k dan air yang ada dalam sebuah baskom kecil.

Serta sebuah kain kecil yang ia ketahui bisa untuk mengompres demam.

"Buat apa, Ren?" tanya Vano kepada sang keponakan.

Rena menoleh, ia sedikit mendongak saat akan menjawab pertanyaan dari sang paman.

"Oh ini mau buat mengopempres luka-luka Aleena sama buat mengobati luka-luka Aleena mumpung dia masih tidur," jawab Rena.

"Pasti badannya masih sakit semua saat ini makannya aku mau memberikan bantuan bantuan kecil untuk temanku ini,"

"Begitu," sambung Rena.

Rena mengambil baskom yang berisi air yang direbut oleh sang paman. Ia menatapnya ulang pada sang paman.

Vano yang melihat tatapan aneh dari keponakannya pun dengan santai tersenyum tipis hampir tak terlihat dan menjawab pertanyaan apa yang ada di pikiran rena sekarang.

"Biar paman saja yang mengobati lukanya," ucap Vano.

Dasar!

"Jangan, modus banget sih, Uncle," ketus Rena melarang.

Bagaimana ceritanya sang Uncle Vano akan melihat luka-luka dipunggung mulus milik Aleena.

Sebuah pencabulan itu namanya!

Jangan!

Jangan sampai Vano nanti malah berbuat yang enggak-enggak?!

"Kamu bicara apaan sih, Rena!"

"Modus, modus dari mananya orang Uncle Vano cuma mau bantuin temen kamu yang lagi kesusahan kok," decak sebal Vano.

"Modus, kalau modus nih ya, Ren. Kalau modus mah tadi sudah Uncle Vano modusin waktu Uncle gendong temen kamu itu," cibir Vano.

Keponakannya ini terlalu curigaan!

Tak enak didengarkan, oh my god!

"Uncle Vano akan bekerja kalau kamu tidak mengizinkan Uncle Vano mengobatinya sekarang, bye,"

Hilih ….

Lihatlah, muka Rena sudah sangat julid sekarang.

"Bilang aja mau modus, pakai alesan sembarangan, dasar Uncle Vano," keluhnya tak percaya.

"Aneh-aneh aja alasannya," seru Rena.

"Sok-sok an bilang cinta. Ngungkapin aja gengsi, Uncle Vano, Uncle Vano."

Rena berdecak lagi dan lagi.

Untuk kesekian kalinya, bukan pertama kalinya juga tentu saja.

"Aleena diembat orang lain, nyaho kamu Uncle," 

Muka sumringah Rena pun terlihat saat melihat sang sahabat ada di ranjangnya saat ini.

"Aaa, calon Aunty ku, kenapa kamu cantik banget sih," Rena mengelakari dirinya sendiri.

Oh ayo lah, Rena patut dicontoh juga memang usahanya.

"Mmmhhh,"

Rena terkejut saat melihat jari jemari Aleena bergerak dan matanya mulai terbuka. Bahkan saat gumaman Aleena terdengar sampai ke dalam lubuk telinganya.

"Leen,"

Rena buru-buru mendekat pada Leen yang sangat membutuhkannya saat ini.

"A …. air," lirih Aleena.

"Ini, Leen. Minum,"

Keponakan dari Vano itu mengambilkan air yang always tersedia ada di kamarnya. 

"Gimana?" 

Pertanyaan ambigu dari Rena pun muncul, dan tentu saja yang paham hanya Rena dan Aleena seorang.

"Lumayan nggak pusing, ini sudah ada di rumahmu ya by the way?" tanya Aleena pada Rena yang mengangguk saat mendengar pertanyaan yang ia ajukan.

Wait, memangnya berapa jam ia tidur.

"Kamu yang papah aku ke kamar?"

Rena terpaksa berbohong dengan anggukan kepala yang ia tunjukkan. Sang uncle tak akan mau ia ngaku kan pada Aleena permasalahannya itu.