webnovel

Dalam Diam (2)

Dua jam kemudian mereka tiba di depan kampus. Satu per satu mahasiswa turun dari bus dan mengambil barang-barang mereka di bagasi.

Putra dan senior lainnya turun dari bus untuk mengecek apakah ada barang yang tertinggal, sementara Ditya dan teman-temannya turun paling terakhir. Begitu Ditya ingin mengambil tasnya di bagasi, dia terkejut karena bagasinya telah kosong.

"Nis, kok, tas aku nggak ada ya?" tanya Ditya bingung.

"Loh, tadi kamu letakkan dimana?" tanya Anisa.

"Tadi kan yang bawa tas aku itu Kak Randy sama Kak Putra." kata Ditya. "Kalian duluan aja pulangnya. Nanti aku menyusul."

"Tapi, Dit . . ." kata Yuni.

"Udah nggak apa-apa kok. Sekalian masak nasi, biar kita bisa cepat-cepat makan." bujuk Ditya. "Aku baik-baik aja kok."

Setelah Ditya meyakinkan mereka, akhirnya mereka pulang terlebih dahulu. Sementara itu Ditya mencari Putra di sekeliling tapi tidak kelihatan batang hidungnya. Lalu dia menghampiri Kak Ade. "Kak, lihat kak Putra?" tanya Ditya buru-buru.

"Tadi aku lihat." kata Ade sambil melihat ke kanan dan kiri. "Itu dia." tunjuk Ade ke arah kerumunan para mahasiswi.

Ditya bergegas menghampiri Putra. "Kak Putra." panggil Ditya begitu dia ada tepat dibelakangnya. Namun Putra berpura-pura tidak mendengarnya dan tetap mengobrol dengan para mahasiswi itu. Sementara mahasiswi-mahasiswi itu melihat ke arah Ditya dengan tatapan sinis.

"Kak Putra!" panggil Ditya lagi dengan nada lebih keras. Putra masih tidak bergeming dan mengacuhkan Ditya.

Ditya benar-benar merasa pusing kali ini karena terlalu lama berdiri. Awalnya dia tidak mau mencari ribut dengan Putra karena kondisinya yang kurang fit. Tapi setiap ada kesempatan, Putra selalu saja membuat Ditya kesal.

"Kak Putra!" teriak Ditya sambil memukul punggung Putra.

"Kamu siapa, sih? Kok, kasar sama kak Putra?" tanya seorang mahasiswi yang memakai lipstik merah, rambut digulung dan memiliki tinggi kira-kira 157cm dengan nada marah.

Namun Ditya mengacuhkan wanita itu seolah dia tidak ada dan berbicara pada Putra, "Kak, tadi tas aku kakak simpan dimana?" tanya Ditya dengan tidak sabar.

"Tas mana ya?" tanya Putra pura-pura tidak ingat.

"Tas aku yang tadi kakak bawa." katanya kesal.

"Sebentar aku coba ingat-ingat dulu. Karena kebetulan bukan hanya tas kamu aja yang saya bawa." Putra mencoba mengingat-ingat. "Hmm. . . yang mana, ya?"

"Kak . . ." keluh Ditya dengan nada lemah.

Putra melihat wajahnya mulai pucat lagi. "Aku ingat. Yang itu bukan?" tanya Putra sambil menunjuk ke arah halte di dekat mereka.

Ditya melihat ke arah yang ditunjuk oleh Putra dan mengenali tas itu sebagai miliknya. Dia berjalan ke arah halte dan tanpa dia sadari Putra mendahuluinya mengambil tas tersebut.

"Kakak mau apa lagi?" tanya Ditya lelah. "Kenapa tas aku dibawa lagi?"

"Apa kamu nggak sadar betapa pucatnya wajah kamu?" tanya Putra.

"Aku baik-baik aja. Cepat kembalikan tas aku." kata Ditya.

"Biar aku yang bawa. Ayo aku antar kamu pulang. Tempat tinggal kamu dekat sini?" tanya Putra.

"Tempat tinggal aku jauh. Di ujung dunia. Jadi tolong cepat kembalikan tas aku karena aku ingin cepat pulang dan beristirahat."

"Kalau begitu biar aku antar. Siapa yang bisa memastikan kalau kamu akan sampai di rumah dan bukannya pingsan di tengah jalan?" paksa Putra.

Ditya terdiam mendengar kata-kata Putra. Putra memperhatikan reaksi Ditya dan tahu kalau kali ini Ditya tidak bisa menolak lagi.

Ketika Ditya tidak memberikan jawaban, Putra buru-buru bertanya, "Jadi kamu mau diantar naik motor atau . . ."

"Jalan kaki aja. Tempat tinggal aku dekat dari sini." jawab Ditya memotong pembicaraan Putra. Ditya tidak bisa membayangkan kalau dia harus berboncengan dengan Putra.

"Kalau begitu ayo." kata Putra. "Kamu masih kuat jalan? Kalau kamu pusing atau lemas kamu boleh memegang tanganku." ledek Putra.

"May I?" tanya Ditya tersenyum. Putra mengangguk senang.

"But, no, thanks." kata Ditya dan ekspresinya langsung berubah datar.

Putra tertawa melihat ekspresi Ditya. Namun, Ditya tidak peduli. Dia hanya ingin cepat pulang dan beristirahat. "Ayo, Kak, cepat!"

"Ok." jawab Putra. "Kamu tinggal di rumah sendiri atau kos?" tanyanya sambil berjalan.

"Aku menyewa rumah bersama Niar dan yang lainnya. Jadi lebih nyaman dan lebih murah."

"Oh begitu. Aku dengar kamu bukan asli orang sini." kata Putra.

"Jadi Kakak cari informasi tentang aku? Apa kakak diam-diam ngefans sama aku?" tanya Ditya dengan nada meledek.

"Hahahaha . . . Darimana kamu dapatkan keberanian untuk berkata seperti itu?"

"Kalau begitu darimana kakak tahu informasi itu?"

"Aku hanya pernah mendengar Desta menyebutkan hal itu. Dia bilang kalau kamu juga berasal dari Bekasi." jelas Putra. "Kata Desta kamu juga alumni SMA 1."

Ditya mengangguk.

"Aku juga dulu sekolah disana. Aku setahun di atas kamu." jelas Putra.

"Apakah aku menanyakan hal itu?" tanya Ditya sambil tersenyum kesal.

"Aku hanya memberikan informasi. Barangkali kamu ingin tahu banyak hal tentang aku." kata Putra tidak mau mengalah.

"Aku nggak butuh." jawabnya singkat. Tanpa terasa mereka sudah sampai di depan kontrakan Ditya.

"Kita udah sampai. Terimakasih atas bantuannya." kata Ditya sambil merebut tas dari tangan Putra. "Kalau begitu silahkan kakak pulang. Aku yakin kakak juga pasti lelah. Sampai ketemu lagi." kata Ditya jelas menyuruh Putra pergi. Dia langsung masuk ke dalam dan meninggalkan Putra di luar.

"Kamu benar-benar orang yang luar biasa menyebalkan." kata Putra menatap punggung Ditya sebelum dia masuk ke dalam rumah. Lalu dia kembali ke kampus untuk mengambil motor dan pulang ke kosannya.