webnovel

3. An Angel Who Love Choir

“Perahu kertasku kan melaju...membawa surat cinta bagimu. Kata-kata yang sedikit khilaf, tapi ini adanya.”

Dentingan piano dan alunan suara alto, sopran, tenor, dan bass memenuhi ruang latihan. Pria tampan bermata bening di balik grand piano melatih mereka dengan sabar. Mengajari mereka nada dan interpretasi. Mengalunkan melodi-melodi indah dengan kesepuluh jarinya.

Sejumlah mahasiswa itu membawakan lagu ‘Perahu Kertas’ yang telah diaransemen sang pelatih dengan presisi mengagumkan. Aransemennya pun bagus. Membuat mereka langsung jatuh hati semakin dalam pada lagu yang dijadikan soundtrack film itu.

“Nice one,” puji pria tampan berpakaian putih itu. Bangkit dari kursi piano, tersenyum pada semua anggota paduan suara.

“Yes! Thanks, Gabriel.”

GABRIEL Andreas Paz, pria 25 tahun yang mendedikasikan sebagian waktunya mengajar di Paduan Suara Mahasiswa (PSM). Pemimpin Bestfriend Management yang masih bersedia meluangkan waktu untuk melatih para mahasiswa berbakat itu. Ia tampan, rendah hati, mempunyai aura positif, berjiwa sosial tinggi, brilian, dan sangat sabar. Ia selalu memiliki cara untuk memotivasi dan menyemangati orang lain. Putra dari Prof. Andreas dan Prof. Harini itu memiliki kecintaan yang besar pada PSM. Ia telah menganggap PSM seperti keluarganya sendiri. Dengan kesuksesan kariernya sekarang ini, bisa saja pria pengoleksi sertifikat ini meninggalkan mereka. Namun Gabriel tetap ada. Tetap melatih mereka dengan tulus dan sabar.

Berkat tangan dinginnya, PSM telah mengukir sejumlah prestasi. Di antaranya Juara 1 dalam 7th National Folklore Festival, Juara 2 Peksiminas ke-10, Second Winner 9th National Folklore Festival, dan Golden Diploma Level 3 kategori Folklore di 4th Vietnam International Choir Competition.

Selain memimpin Bestfriend Management dan melatih paduan suara, Gabriel aktif pula dalam kegiatan sosial. Ia fokus merawat dan mendampingi anak-anak pengidap HIV/AIDS. Tak hanya menjadi relawan, ia pun menjadi ayah angkat bagi sebelas anak pengidap AIDS yatim-piatu.

“Kalian masih semangat latihan kan, buat Sofar Concert Lovely Be Lively?” tanya Gabriel.

“Masih,” jawab anak-anak itu bersamaan.

Gabriel ingin menanggapi, tetapi disela oleh ketukan di pintu. Ketika pintu terbuka, ia langsung bertemu pandang dengan pria berpostur semampai dalam balutan jas Versace hitam.

“Hai Marco,” Gabriel menyapa ramah.

Semua anggota PSM melirik penasaran. Begitu tahu siapa yang datang, wajah mereka berubah antusias. Menyerukan kedatangan lelaki tampan yang dipanggil Marco itu.

Aditya Marco Kartadinata, sepupu terdekat Gabriel. Direktur sebuah maskapai penerbangan namun berlatar belakang pendidikan di bidang Psikologi. Orang-orang mengatakan jika Marco dan Gabriel memiliki banyak kesamaan. Keduanya sama-sama lahir di Bulan Februari, hanya terpaut dua minggu. Senyum, sikap, bakat, dan sifat mereka nyaris serupa. Terlebih keduanya tumbuh, dibesarkan, dan menjalani masa pendidikan dari TK sampai S-2 bersama-sama. Bahkan, percaya atau tidak, mereka ditakdirkan menjalani ujian hidup yang sama.

Tetapi di balik semua persamaan itu, tersimpan perbedaan. Marco tak seberuntung Gabriel. Kedua orang tuanya, Prof. Tina dan Prof. Apollo, telah bercerai enam tahun lalu. Dan kini ia tengah berusaha menyatukan keduanya kembali. Gabriel paham obsesi sepupunya. Maka ia selalu membantu sebisa mungkin.

“Sorry nggak bisa lama-lama,” kata Marco meminta maaf. Mengulurkan bungkusan kecil berisi obat.

“Tadi ketinggalan di kantor. Lain kali kamu harus hati-hati.”

Gabriel menerima bungkusan obat itu. “Danke schon.”

“Bitte.”

Marco mundur pelan-pelan dari ambang pintu. Melempar senyum tipis pada anak-anak PSM yang menyapanya.

“Maaf, saya harus ke kantor lagi. Ada meeting. Lain kali saya pasti temui kalian lagi,” Marco menanggapi bujukan beberapa anak untuk tetap tinggal. Disambuti wajah-wajah kecewa dari mereka.

“Auf wiedersehn.” Dengan kata-kata itu, Marco melambai dan melangkah menuju lift di ujung koridor.

“Auf wiedersehn,” Gabriel balas melambai, melepas kepergian sepupunya.