9 Bab 9 Memaafkan Shaka

Jam mata pelajaran usai, dan semua siswa bersiap untuk menunggu bel pulang sekolah berbunyi. Rafka sudah bangun sejak tadi, meski tak ada lagi pembicaraan diantara kami. Karena mungkin, ia masih merasa pusing. Sejauh ini, tak ada tanda-tanda ada kabar dari Shaka. Sepertinya benar dugaanku, bahwa dia marah juga dengan apa yang ku lakukan pagi tadi.

Biarlah, aku tak mau larut dalam pikiranku pada Shaka. Ku putuskan untuk pulang naik angkot saja. Toh, aku juga ingin menemui Jesika dan Anggi.

Aku berjalan beriringan bersama Indah menuju gerbang sekolah, rencananya aku akan naik angkot bersama Indah. Karena ini pertama kalinya bagiku naik angkot, selama ini selalu bersama Shaka saat pulang sekolah. Ku lihat dari kejauhan, sepertinya Shaka masih menjemputku. Biar saja dia menunggu, aku tak akan menghiraukannya. Sebelum dia minta maaf atas sikapnya itu. Shaka turun dari atas motornya, dan berjalan menghampiriku.

"Amaira, aku mau bicara sama kamu!" Mimik wajahnya sedang tidak bersahabat kali ini, apa dia masih mau mempermasalahkan persoalan yang kemarin.

"Bicara apa? Aku tak bisa berlama-lama, karena aku punya janji sama Jesika dan Anggi." Ku jawab saja dengan ketus, lagi pula, dia juga tak bersikap ramah padaku.

"Sebentar saja. Setelah itu, aku akan mengantarmu menemui mereka!" Shaka menarikku menjauh dari Indah, aku sampai tak bisa berpamitan terlebih dahulu pada Indah yang terdiam melihat Shaka membawaku. Indah berlalu, mungkin dia paham bahwa aku dan Shaka sedang tidak baik-baik saja.

Shaka membawaku mendekati motornya, tiba-tiba ada sebuah mobil yang melewatiku. Tanpa membuka kaca jendela mobil itu, aku sudah tau bahwa itu Rafka. Tapi, sepertinya bukan Rafka yang menyetir. Tak ada teguran atau sapaan, mobil itu berlalu begitu saja, aku jadi merasa kasihan pada Rafka. Apa mungkin dia sakit karena jalan-jalan kemarin?

Shaka tak menyadari bahwa mobil yang lewat tadi, adalah mobil Rafka. Ia tetap fokus membawaku mendekati motornya.

"Kamu berubah, Amaira. Pesan chat sama panggilan dariku, sejak kemarin selalu kamu hiraukan. Sebenarnya ada apa? Katakan padaku, apakah kamu benar-benar memiliki pria lain di sekolah ini?"

"Aku gak pernah berubah, Shaka. Harusnya kamu bisa introspeksi diri dong, aku kek gini juga karena sikap kamu yang terlalu over protective, tau gak! Apa-apa mau di prioritasin, aku juga punya hidupku sendiri. Begitupun, juga dengan kamu. Jangan selalu menuntut orang lain untuk menjadi apa yang kamu mau. Lama-lama aku bosen tau gak, menjalin hubungan sama orang yang egois kayak kamu."

Ku perjelas saja apa yang menjadi unek-unek dalam benakku, biar dia tau. Aku tak suka selalu dituntut berbagai hal olehnya, dia fikir sifatnya yang seperti ini menandakan bahwa dia menyayangiku! Tentu tidak, aku malah semakin ilfil dengan sikapnya ini.

Shaka menarik nafas panjang, mencerna semua ucapanku. Dengan begini, ia taua kalau yang harus berkaca tentang sikap yang salah, adalah dia.

"Jadi kamu merasa tertekan, jika memprioritaskan aku dari pada apapun, Begitu?"

"Ya, aku sangat tertekan. Kita masih pacaran, tapi sudah kamu tuntut berbagai hal. Aku capek begini terus, Ayah dan Ibuku saja, tak pernah menuntutku untuk mengakhiri hubungan denganmu. Meski mereka tak pernah memberiku Restu." Kini mimik wajah Shaka berubah menjadi sendu, karena aku mengungkit tentang restu Ayah dan Ibuku.

"Ya sudah, aku mengaku salah. Aku minta maaf ya, Ra. Kalau selama ini, sikapku membuat kamu gak nyaman. Aku janji, gak akan egois lagi sama kamu."

Sepertinya permintaan maafnya tulus, aku jadi tak tega melihatnya. Tapi, jika memang dia berniat untuk memperbaiki hubungan ini. Aku akan mencoba memaafkannya. Karena jujur, aku masih memiliki rasa sayang pada Shaka. Meski tak sebesar dulu.

"Aku mau maafin kamu. Asal kamu tak selalu memaksaku, untuk prioritasin kamu, aku berhak punya hidupku sendiri."

"Iya, aku janji. Sekarang, kamu pulang sama aku ya! Dan jangan menghindari aku lagi. Aku gak nyaman, lama-lama marahan sama kamu."

"Aku punya janji sama Jesika dan Anggi, di cafe tempat biasa kumpul sama mereka, kamu mau nganter aku kesana?"

Jarak dari sekolah ini ke cafe tempat yang kutuju, lumayan jauh. Lebih dekat dari sekolahku di SMA. Tunas Bangsa, apa iya Shaka masih mau balik lagi kesana? Bukankah dia selalu berfikir dua kali jika harus bolak-balik ke tempat yang sama. Karena, uang bensin yang berlipat ganda.

"Kalau gak bisa nganter juga gak papa, aku bisa naik angkot saja kok." Aku tak mau membebani siapapun. Apalagi, aku tau Shaka bukanlah orang yang memiliki banyak materi seperti Rafka.

Lagi-lagi fikirkanku selalu membandingkan Rafka dan Shaka perihal materi, sikap Royal dan selalu berusaha memahamiku.

"Naik, aku antar kamu kesana. Setelah itu, kita pulang ya!" Shaka naik keatas motornya, memakai helm. Dan memberikan helm satu lagi padaku, tak ada romantis-romantisnya pria satu ini.

Beberapa menit kemudian, akhirnya aku sampai di cafe yang menjadi tujuanku dan sahabat-sahabatku. Mereka sudah terlihat menunggu dan memesan minuman, ku lirik Shaka. Dia masih ada diatas motornya, tak ada keinginan untuk masuk kedalam dan bergabung denganku. Pasti, lagi-lagi karena uang. Apa iya, dia tak memiliki uang sepeser pun! Hingga tak mampu memesan minuman yang paling juga harganya sepuluh ribu paling murah.

"Kamu gak ikut masuk?" Aku mencoba mengajaknya bergabung dengaku. Tapi aku yakin dia merasa malu, jika nantinya aku yang akan membayar pesanannya.

"Gak usah, kamu saja. Aku tunggu disini,"

"Tapi, takut lama. Kalau kamu mau pulang, gak papa nanti pulangnya aku nebeg Anggi. Kami kan searah," jika begini, kasian Shaka jika harus menunggu terlalu lama diluar. Apalagi cuaca siang ini, sangat panas. Kecuali, dia mencari tempat berteduh yang tak jauh dari cafe.

"Gak papa, aku tungguin sampek selesai. Masuk gih! Aku cari warung dulu buat duduk."

Ku balas dengan menganggukan kepala, dan berlalu meninggalkan Shaka untuk menemui Jesika dan Anggi yang sejak tadi telah menungguku.

***

Jesika dan Anggi tampak asik membicarakan hal yang aku tak tau apa, hingga mereka tak menyadari kedatanganku.

"Amaira, kita kangen!" Ucap Jesika yang langsung berhambur memelukku. Jesika memang suka lebay, meski setiap minggu kami bertemu dan menghabiskan waktu bersama.

"Kemana aja sih, Ra. Lama banget," tanya Anggi sambil meminum lemon tea pesanannya.

"Biasa, tadi masih ada masalah sama Shaka, dikit."

"Eh gimana-gimana, katanya kemarin kamu ke bioskop. Nonton apa? Terus, sama siapa?"

Jesika begitu girang saat menanyakan aktivitasku kemarin, karena diantara kami bertiga, hanya aku yang pertama kali menonton di bioskop. Bukan karena tak mampu membeli tiket masuk, hanya saja kami merasa gengsi jika tak membawa pasangan. Apalagi yang ku tahu kemarin, semua yang menonton di bioskop berpasang-pasangan. Sedangkan, Jesika dan Anggi sampai saat ini belum memiliki pasangan.

Meskipun sejak lama aku sudah memiliki pasangan. Tapi, Shaka tak pernah sekalipun mengajakku ke bioskop, jangankan ke bioskop, jalan-jalan naik motornya saja tak pernah.

"Itu tuh, film yang baru rilis. KKN di Desa Penari, bareng temen. Kebetulan, dia yang traktir."

"Hah? Temen, aku kira kamu perginya sama si Shaka, Ra. Tumben, kan ya! Shaka ngajak kamu ke bioskop. Eh gak taunya malah bukan. Kamu udah punya gebetan baru ya, Ra. Di Nusa Bangsa?" Tak ada habisnya Jesika menanyakan beberapa hal padaku. Dia ini memang tipe orang yang suka kepo.

"Nggk, cuma temen doang. Tapi, dia baik banget. Aku aja dibelanjain sepuas hati sama dia. Oya, ini aku bawakan juga buat kalian. Gak seberapa sih, tapi okelah kalau mau di pakek buat outfit."

Jesika dan Anggi saling berebut, kelakuan kedua sahabatku memang seperti anak kecil. Tapi, hal ini membuatku senang. Karena mereka menghargai pemberianku. Meskipun aku hanya membelikan cardigan rajut untuk mereka.

"Wah, makasih Amaira, Sayang. Kamu emang sahabat yang the best pokoknya deh, gak pernah lupa sama kita-kita. Eh tapi, siapa sih temenmu itu, kok baik banget. Sampek kamu beliin buat kita saja, dibolehkan."

"Iya bener, kepo banget aku, Ra" Jesika menyetuji pernyataan Anggi, tumben sekali mereka ini sepemikiran. Namun, aku merasa ragu untuk mengatakan yang sesungguhnya. Takutnya nanti malah bocor ke Shaka, bisa gawat urusannya jika dia sampai tau.

"Ada deh, gak usah kepo yang penting kalian juga kebagian kan!"

"Ayolah, Ra. Masak sama kita-kita, kamu gak mau cerita sih. Kita kan sahabatan udah lama, kasih tau lah!"

Mulai lagi sifat keponya Jesika, jika tidak ku beritahu, pasti anak ini akan terus merengek agar ku beri tahu. Tapi, jika ku beritahi nanti bisa bocor lagi. Akan tetapi, dari pada terus-menerus mendengar rengekan Jesika, lebih baik ku katakan saja siapa teman yang dekat denganku di Nusa Bangsa.

"Iya deh, iya. Namanya Rafka, dia satu kelas sama aku. Tapi, jangan bilang-bilang sama Shaka ya! Awas lo,"

"Mmm...tadi bilangnya gak punya gebetan, ini kok ada. Pasti tu cowok tajir, ya kan! Kalau nggk, gak mungkin begitu royalnya sama kamu,"

"Iya bener, udah jadian apa belom, Ra?" ku getok kepala Anggi dengan jariku. Seenaknya saja, dia bilang aku jadian.

"Sakit tau, Ra."

"Makanya, nanya tuh yang bener. Udah dibilang cuma temen juga,"

"Lah, emang salah? Lagi pula gak papa kali, kamu pacaran sama tu cowok. Dari pada sama si Shaka yang gak pernah ngasih kamu apa-apa. Ya kan Jes?"

"Heem, pacaran udah lama banget. Tapi, gak pernah tuh kamu dikasih apa-apa sama Shaka, kadang kita heran sama kamu loh, Ra. Jaman sekarang mah, gak ada cewek yang mau pacaran sama cowok kere. Ini malah bertahan sampek bertahun-tahun, kok bisa sih."

"Ya, mau gimana lagi. Shaka tuh setia, makanya aku suka. Kalau aja dia gak setia, mungkin sudah ku tinggal sejak dulu."

"Alah, setia mah gak jadi jaminan, Ra. Emang selama ini kamu seneng gitu, pacaran sama Shaka hanya karena dia setia. Apa-apa tuh butuh uang, buat bahagia. Uang bukan segalanya, tapi segalanya butuh uang, Amaira.

"Bener tuh, apalagi sekarang udah ada cowok yang baik banget sama kamu. Meskipun belum resmi jadio pacarnya, tapi dia mau beliin barang-barang yang kamu suka, ngajak nonton. Tu cowok pasti tulus suka sama kamu, Ra."

Aku tertegun mendengar ucapan Jesika. Apa iya! Rafka beneran tulus suka sama aku? Apalagi mengingat kejadian tadi pagi, waktu dia membelaku didepan mantannya. Dan ya, alasan dia memutuskan hubungan dengan Laura juga, karena Laura bukanlah wanita baik-baik. Apa aku harus mulai mempertimbangkan untuk menerima cinta Rafka? Dan memutuskan hubunganku dengan Shaka.

avataravatar
Next chapter