6 Bab 6 Pendapat Ayah & Ibu

"Kamu yang berubah, jadi bawel banget tau gak. Ngalahin cewek aja, gak bales pesan chat saja diributin. Udah dibilang, aku ketiduran masih aja ngeyel! Pakek nuduh punya cowok baru segala lagi. Inget, semua perkataan itu do'a. Kalau aku punya cowok lagi, itu karena ucapan kamu sendiri."

Rasanya tak sanggup lagi, jika harus berdebat dengan Shaka. Biar dia tau, kalau aku sangat tidak suka dengan sifatnya yang seperti ini. Sekali-kali introspeksi diri, agar aku sebagai pacarnya tak mudah jenuh.

"Amaira, ini Rafka mau pulang, Nak! Keluar dulu sebentar." Panggil Ibu dari luar bilik kamarku.

"Iya, Bu. Sebentar." Ku matikan panggilan untuk Shaka tanpa meminta persetujuannya.

Ponsel ku letakkan diatas kasur secara sembarang, ku ikat rambut dengan kuncir kuda. Jam segini, Rafka baru pulang. Ku acungi dua jempol untuk usahanya menarik perhatian orang tuaku, ternyata dia memang pantang menyerah. Ponsel kembali berdering, mungkin dari Shaka. Tapi tak ku hiraukan.

Ku temui Rafka yang tampak sudah sangat akrab dengan Ayah dan Ibu, Rafka menatapku seperti takjub. Padahal, aku hanya memakai daster.

"Aku pulang dulu ya, Ra!" Ucap Rafka saat aku sudah berada dekat dengannya.

"Iya, hati-hati. Makasih ya! Hari ini udah traktir aku banyak banget," Ayah dan Ibu tersenyum mendengar perkataanku.

"Iya, sama-sama. Lain kali, aku main kesini lagi. Boleh kan, Om, Tante?" Rafka menoleh pada Ayah dan Ibu, meminta persetujuan mereka.

"Boleh dong, Rafka. Tiap hari juga gak papa," Ibu malah semakin menyuruh Rafka untuk datang tiap hari, padahal saat Shaka berkunjung kesini, jangankan diberi izin untuk main. Malah kedua orang tuaku meminta Shaka untuk tak pernah datang lagi, jika tak membawa apa-apa.

Selepas berpamitan dengan Ayah dan Ibu, ku lihat Rafka melajukan mobilnya dan meninggalkan rumahku. Ayah terlihat senang dengan kedatangan Rafka hari ini. Aku duduk disofa ruang tamu, Rumahku tak mewah. Namun, minimalis. Terdapat ruang tamu dan ruang keluarga yang berdampingan, jadi saat ada tamu, aku akan memilih untuk masuk ke kamar.

"Lebih baik kamu sama Rafka saja, Ra. Dia lebih bisa memberikan segalanya sama kamu, dari pada Shaka. Apalagi Rafka juga tau cara mendapatkan perhatian Ayah dan Ibu, tak seperti si Shaka itu."

Benar saja dugaanku, pasti Ayah akan membandingkan Rafka dan Shaka. Apalagi dengan perlakuan Rafka yang begity baik padaku, meski aku bukan pacarnya. Tapi, aku tak mau percaya begiti saja dengan kebaikan Rafka, meskipun aku memang suka tipe pria seperti Rafka yang sangat royal, namun sifat Rafka yang suka main wanita yang tak ku saka. Aku hanya tak ingin menjadi salah satu korban Rafka selanjutnya.

"Jangan langsung terbuai dengan kebaikan seseorang, Yah. Ayah baru aja kenal Rafka, belum mengenalnya terlalu jauh. Jadi jangan segampang itu menilai seseorang, Ayah kan belum tau, bagaimana sifat Rafka yang sebenarnya." Kali ini aku tak ingin membela Shaka, karena aku masih sangat kesal padanya.

"Tapi, meski begitu. Sudah sangat keliatan kan, Ra. Kalau Rafka itu lebih baik dari Shaka. Belum jadi apa-apa kamu saja, dia sudah membelikanmu berbagai macam hal. Tak hanya itu, Ibu dan Ayah juga dibelikan banyak makanan. Meski baru pertama kali bertemu, beda dengan Shaka. Sudah lama menjalin hubungan, tapi sampai saat ini tak pernah tuh, membelikan kamu atau Ayah dan Ibu barang atau makanan apapun." Ibu membenarkan perkataan Ayah, bahkan Ibu juga mengungkit persoalan Shaka yang selama ini tak pernah memberikan aku apa-apa.

Terkadang aku juga bingung, sebegitu miskinkah Shaka. Atau bukan karena ia tak punya, melainkan karena pelit. Makanya, ia tak pernah memberiku sesuatu apapun.

Aku tak dapat menyanggah apapun lagi. Toh, yang dikatakan Ibu dan Ayah ada benarnya juga. Selama 3 tahun ini, Shaka hanya berusaha memberikan perhatian lebih padaku. Dan aku merasa nyaman dengan semua itu, meski banyak laki-laki kaya yang mendekatiku. Tetap saja, aku lebih memilih Shaka. Namun, saat dengan Rafka, tak tau mengapa, aku tak bisa menolaknya untuk mendekatiku. Mungkin karena, aku berada jauh dari Shaka. Jadi, aku merasa sedikit ada celah untuk dekat Rafka.

"Kamu dibelikan apa saja tadi oleh Rafka, Ra?" Tanya Ayah yang penasaran dengan beberapa barang yang ku bawa kedalam kamar.

"Baju, tas, sama sepatu, Yah. Udah itu aja, tadi juga sempet makan dulu direstoran, sama keliling mall habis itu nonton deh." Aku menceritakan semua hal yang ku lakukan tadi bersama Rafka, karena jujur, aku sangat senang hari ini. Bisa jalan-jalan tanpa memikirkan isi dompet.

"Kata Rafka tadi, kalian masih mampir ke rumah Rafka ya, Ra!" Tanya Ibu sedikit penasaran.

"Mmm...iya Ibu, dia maksa buat kenalin aku sama papanya."

"Wah, bagus itu, Ra. Berarti Rafka niat serius sama kamu."

"Apaan sih, Bu. Aku sama Rafka cuma temen, gak lebih. Jangan berlebihan deh."

Ibu hanya tersenyum ria, karena mendengar pernyataanku yang mengatakan berkenalan dengan papanya Rafka. Pasti Ibu menganggap berlebihan semua itu, begitu pula dengan Ayah, yang sepertinya sepemikiran dengan Ibu.

***

Saking asiknya berbincang dengan Ayah dan Ibu, aku terlupa bahwa panggilan dari Shaka ku matikan secara sepihak tadi. Aku masuk kamar dengan niat ingin beristirahat, tapi suara notif pesan masuk tak ada henti-hentinya ku dengar. Ya ampun, ternyata Shaka tetap tak ada habisnya mengirim spam chat, ku biarkan saja.

Aku tak mau selalu berdebat dengannya. Sebelum itu, ku silent saja ponselku. Dan langsung tidur, besok aku akan minta antar Ayah saja ke sekolah. Karena aku tak mau bertemu dengan Shaka terlebih dahulu.

Teringat dengan Rafka, apa iya aku harus mencoba membuka hati padanya. Tapi, aku tak ingin dicap sebagai play girl oleh teman-teman satu sekolah. Aku paling anti dengan perselingkuhan, baik itu menjadi tersangka yang berselingkuh, maupun korban diselingkui. Karena dari drakor-drakor yang pernah ku tonton, seorang pelakor itu bukanlah wanita berkelas. Mau secantik apapun wanita, jika mengambil punya orang, tetap saja seperti sampah.

Sudahlah, aku tak mau lagi memikirkan Rafka maupun Shaka. Siapapun diantara mereka, aku hanya ingin hidup bahagia tanpa punya beban. Jika memang nantinya Rafka adalah pilihan terbaik, mengapa tidak. Yang terpenting, jika memang aku harus menjalin hubungan dengan dia. Akan ku pastikan dulu, dia benar-benar akan merubah sifatnya atau tidak, dan aku juga tak ingin jika penyebab putusku dengan Shaka, hanya karena aku ingin menjalin hubungan dengan Rafka. Namun, karena memang sudah tak ada kecocokan lagi dengannya, apalagi dengan sifatnya yang terlalu cemburuan dan posesif itu. Terlalu banyak menuntut, dan tak pernah memberiku apa-apa. Seperti bukan pacaran saja.

avataravatar
Next chapter