11 Bab 11 Membohongi Shaka

Esok harinya, seperti biasa aku dijemput lagi oleh Shaka. Ayah awalnya menawarkan untuk mengantarku seperti kemarin, hanya saja ku tolak. Karena hari ini, aku akan berangkat sekolah dengan diantar Shaka. Aku berencana untuk mengatakan pada Shaka, siang nanti tak perlu menjemputku ke SMA. Nusa Bangsa. Karena aku akan menjenguk Rafka, jika hari ini dia sampai tak masuk sekolah.

Pesan yang ku kirim kemarin saja, tak dibalas oleh Rafka. Bahkan WhatsAppnya tak aktif sejak kemarin, bisa saja dia hari ini benar-benar tak masuk sekolah.

Beberapa menit aku menunggu Shaka datang menjemputku, tapi ia tak kunjung datang. Tak biasanya dia telat begini, ku putuskan untuk menghubunginya. Siapa tau dia tak mau menjemputku hari ini, atau dia juga tak mau sekolah hari ini. Akan tetapi, baru saja aku akan menekan tombol panggilan. Orangnya sudah muncul dari arah kiri, dari mana dia? Jalan dari rumahnya kan dari kanan bukan kiri.

"Dari mana kamu? Kok berlawanan arah." Tanyaku ketika dia sudah berada dekat dengan posisiku, aku terbiasa menunggu Shaka didepan pagar rumahku. Jadi saat dia datang, kami bisa langsung berangkat. Apalagi selama pertukaran pelajar, ada dua arah yang harus ditempu Shaka untuk sampai ke SMA. Tunas Bangsa. Mengantarku terlebih dahulu, kemudian ia berangkat menuju SMA. Nusa Bangsa.

"Aku mengantar Bapak tadi ke sekolah. Motor Bapak yang biasa dipakai dijual kemarin, jadi mulai hari ini aku akan mengantar Bapak terlebih dahulu sebelum menjemput kamu. Tadi lewat jalan pintas biar cepet, maaf ya! Kalau lama nunggunya."

Aku jadi kasian pada Shaka, setiap hari harus mengantar Bapaknya ke sekolah, karena motornya sudah dijual. Aku jadi tak enak padanya, tiap hari harus mengantar jemputku juga. Apa ku tolak saja ya, agar dia tak mengantar jemput aku lagi. Sebenarnya Ayah sudah mau membelikan aku sepeda motor, hanya saja Shaka selalu melarangku untuk mengiyakan kemauan Ayah. Karena dia selalu beralasan ingin mengantar jemput aku sebagai pacarnya.

Tapi kali ini, lebih baik ku abaikan saja larangan itu. Dari pada menjadi beban untuknya, buat makan saja susah. Apalagi membeli bensin tiap hari. Apalagi motor yang dikendarai Shaka sangat boros bensin, setauku sehari harus menghabiskan tiga liter bensin. Dari mana dia akan mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhan motornya itu, kalau hanya mengandalkan gaji bapaknya yang hanya sebagai guru honorer. Harga bensin saat ini juga naik drastis. Meski dia tak pernah mengeluhkan semua itu, tetap saja aku merasa tak enak padanya.

"Mulai besok kamu gak usah jemput aku lagi ya, Ka!"

"Loh, memang kenapa, Ra?"

"Bapak beliin aku sepeda motor, cuma belum dianter sama dealer. Jadi Bapak mutusin, selama motornya belum dateng, Bapak yang antar aku ke Sekolah. Lagi pula jarak Nusa Bangsa sama Tunas Bangsa lumayan jauh loh, Ka. Kasian kamu kalau tiap hari harus antar jemput aku."

Terpaksa aku berbohong pada Shaka dengan mengatakan Ayah sudah membelikan aku motor, meski nayatanya aku belum bilang sama Ayah. Buat beliin aku motor. Tapi, demi tak merepotkan dia, tak apalah aku pakai alasan itu dulu. Semoga saja dia percaya dan mau menyetujui permintaanku.

"Kamu kok mau si, Ra. Aku kan sudah bilang, biar aku saja yang mengantar jemput kamu. Jadi ayahmu tak perlu membelikanmu motor, aku gak keberatan sama sekali kok."

"Aku gak mungkin terus-terusan ngerepotin kamu, Shaka. Lagi pula sebentar lagi kita akan lulus, aku juga butuh motor buat kuliah nanti. Tak mungkin seterusnya aku akan bergantung terus sama kamu."

"Terus, apa gunanya aku jadi pacar kamu, Ra. Aku hanya ingin berusaha jadi pacar yang bisa diandalkan, meski hanya dengan cara antar jemput kamu sekolah."

"Pacaran gak harus begitu kok, cukup jalani saja selama masih ada kecocokan."

Shaka diam, tanpa merespon apapun lagi. Ku harap dia bisa mengerti dan tak memaksakan kehendaknya, semoga saja setelah ini dia bisa lebih memikirkan dirinya terlebih dahulu dari pada aku.

Sesampainya di sekolah, Shaka menatapku lekat. Seakan ada keraguan untuk mengiyakan pintaku. Aku masih tetap menunggu responnya, yang sedari tadi hanya diam saat diperjalanan.

"Tapi benerkan, kamu gak mau aku antar jemput karena mau pakek motor sendiri? Bukan karena, kamu udah punya pria lain selain aku, yang bisa antar jemput kamu dengan memakai kendaraan yang lebih bagus?"

Astaga, ada-ada saja sih Shaka ini. Ternyata sejak tadi diam, karena berfikir aku melarangnya mengantar jemputku karena aku memiliki pria idaman lain. Apa dia sama sekali tak berfikir, kalau aku hanya merasa tidak enak saja pada dirinya. Lagi pula, siapa pria yang mau mengantar jemput aku selain dia. Toh, aku juga tidak menjalin hubungan spesial dengan pria manapun, kecuali dia.

"Ya, nggk lah, Ka. Kamu ada-ada aja deh pertanyaannya. Ngawur tau gak."

"Aku hanya takut saja, Ra. Aku bener-bener takut kalau kamu berpaling dari aku, karena aku bukanlah pria yang terlahir dari keluarga berada. Aku takut, kamu menemukan pria yang bisa memenuhi kebutuhan dan memanjakan kamu. Tak seperti aku, yang hanya pria miskin."

Hei, mengapa dia berkata seperti itu. Apa jangan-jangan dia mengetahui sesuatu tentang aku yang sering dibelikan sesuatu oleh Rafka. Apakah David menceritakan sesuatu pada Shaka? Awas saja anak itu, jika berani mengadu pada Shaka. Akan ku cincang habis nanti.

"Kenapa kamu ngomong begitu? Memang ada yang mempengaruhi pikiranmu, hingga kamu bisa berfikir demikian sama aku?"

"Nggak, aku hanya takut saja. Apalagi disini, ada cowok yang sering godain kamu. Dan juga sepertinya, dia berasal dari keluarga berada. Aku takut, kamu malah termakan rayuannya."

Siapa cowok yang dimaksud Shaka, aku jadi bingung dibuatnya. Apa jangan-jangan dia merasa minder dengan Rafka beberapa hari lalu?

"Sudahlah, jangan fikirkan itu. Aku masuk dulu ya! Kamu cepatlah pergi, nanti bisa telat."

"Ya sudah, aku berangkat dulu ya!"

Aku mengangguk dan segera masuk ke dalam sekolah. Karena ku lihat jam, sebentar lagi bell masuk masuk berbunyi. Ku percepat jalanku. Sesampainya didalam kelas, tak ku temui Rafka ditempat duduknya. Sepertinya dia benar-benar sakit.

Astaga, aku lupa mengatakan pada Shaka, untuk tidak menjemputku siang nanti. Gara-gara membahas soal tidak mengantar jemput aku lagi, aku jadi lupa untuk mengatakannya pada Shaka. Ah, sudahlah. Nanti ku kirim pesan saja padanya. Semoga saja dia akan percaya padaku, meski nantinya aku harus berbohong lagi. Oh Tuhan... Maafkan aku yang selalu berbohong ini.

Pulang nanti, siapa ya! Yang akan ku ajak menjenguk Rafka. Kalau aku hanya sendiri, aku merasa malu pada papanya. Nanti dia berfikir kalau aku memang menjalin hubungan yang serius lagi dengan putranya, aku menjenguk Rafka hanya sebatas teman yang peduli. Apa ku ajak Adit saja ya! Tapi, apakah dia akan mau tidak. Duh, aku jadi bingung sendiri memikirkannya. Belum lagi, alasan apa yang harus ku berikan pada Shaka nanti ya.

avataravatar
Next chapter