21 Twenty-Two. (2)

"Udah kak, lo kalo nangis jelek"

Aku hanya menggeleng gelengkan kepalaku, mengambil satu helai tissue dan mengusapkannya kepipi kanan dan kiri Rehan. Ayolah, yang menangis itu Rehan, bukan aku.

"Malu kalo cewe lain liat." Aku menepuk nepuk pundaknya agar berhenti menangis. Pasalnya, dia menangis sesegukan ditengah malam yang hening seperti ini.

Mengingat hari ini sudah memasuki hari Selasa, iya, Selasa. 19 Maret 2019, pukul 00.45 A.m.

Hari memperingati, kepergian Orangtuanya, dan juga, Bunda. Ayah datang kesini memang untuk datang kemakam Bunda dan Adiknya, sudah tiga tahun, dia tidak datang kemari untuk sekedar menyapa mereka yang sudah pergi.

"Coba aja, waktu itu gue ikut sama mereka.."

"Ngomong apasi dek? gak seneng lo dibesarin sama nenek dan gue? hm?" Ucapku menimpali perkataan Rehan.

"Gue seneng bisa tinggal bareng kalian, tapi lo ngerti gak sih kak? Rasanya dikatain gak punya orang tua itu gimana! Lo dihina anak gak berguna! Gak pantes hidup! Dan bahkan sengaja didorong dengan alasan biar gue nyusul mereka! KALO HIDUP SESAKIT INI, GUE LEBIH BAIK PERGI DARI AWAL!"

Tak terasa, satu tetes airmata jatuh kepipiku, yang Rehan katakan benar, aku tahu dia masih sakit hati dan trauma atas bullying yang dia dapat setelah kejadian itu.

Dulu, Rehan hanya seorang bocah laki laki berumur 8 tahun. Dia didorong dan dikunci digudang gelap, yang bisa dikatakan minim oksigen. Jikalau saja aku tidak pergi mencarinya, mungkin Rehan hanya akan tinggal nama sekarang.

Aku meminggirkan mobilku, menarik Rehan untuk ku peluk, mengelus punggungnya seraya berkata. "Kakak ngerti, sangat mengerti. Tapi, lo harus inget kata kata gue, apa yang sudah terjadi, jangan pernah lo ungkit kembali, mereka yang udah nyakitin lo, cukup jadi masalalu lo, jangan jadi rasa dendam lo. Maafkan semua yang terjadi dimasa lalu, ikhlaskan mereka yang udah pergi. Gue tau Dek, itu susah, tapi kalo dilakukan secara perlahan, lambat laun semua itu bakal bisa lepas dari diri lo.."

Tangisan Rehan mulai mereda, nafasnya mulai teratur. Kepalanya mengangguk kecil untuk menanggapi ucapanku, aku hanya bisa tersenyum simpul, karena apa yang telah dia lalui dimasalalu memang tidaklah mudah.

"Ye tidur"

Aku mengembalikan Rehan ketempatnya, memasangkan sabuk pengaman yang ia gunakan, dan mulai melajukan kembali mobilku kejalanan yang besar dan sepi.

Sedikit menyinggung masalalu, mengenai kejadian 7 tahun lalu, yang memang memporak porandakan Negeri Netherland, atau yang kini dikenal sebagai Negara Belanda.

Saat itu Keluarga Halther menjadi salah satu dari 5 marga besar yang menjadi tamu undangan. Halther, Houre, Holter, Natara, dan Tryst. Tuan Jonathan sebagai pemilik acara, yang sekaligus bermarga Tryst, memang mengadakan acara ini untuk pasar bisnis.

Yang bermaksud untuk memberi peluang kepada para pembisnis dan pengusaha baru untuk mempromosikan apa yang mereka produksi kepada kolega kolega kalangan atas, seperti 5 marga besar yang aku sebutkan tadi.

Per marga, kira kira ada 3 tingkatan, atau golongan leluhur yang berbeda, dengan marga yang sama. Margaku, merupakan dari yang golongan pertama, dikarenakan tidak ada embel-embel marga lain, seperti cotohnya nama Yohan, yang ditengahnya ditaruh marga Malikkan. Yang artinya, dia adalah keturunan dari leluhur yang memang 'beragama' islam.

Kembali ke topik, kita. Dari awal memang tidak ada yang namanya penjagaan ketat, karena ini hanyalah acara bisnis biasa, bukan acara acara tertutup yang memang dikhususkan untuk orang orang penting saja.

Tapi ya namanya Orang jahat, sekalinya jahat ya seperti Iblis. Incaran mereka hanya keluarga bermarga Natara, yah marga yang sekarang entah hilang kemana.

Namun, karena terlalu banyak orang disana, mau tidak mau, mereka harus 'merata'kan para saksi yang ada disana. Termasuk, aku.

'Tinnn!'

"Menganggu saja."

"Kalo nyetir jangan sambil mabuk!" Teriakku kesal, entah terdengar atau tidak, mobil sialan itu sudah melesat jauh didepan sana.

Sampai mana tadi? Ah sudahlah, lain kali saja lanjutkan, lagipula, ditengah malam seperti ini tidak baik jika aku melamunkan masa lalu, yang memang sangat kelam itu.

"Sandra! baru nyampe mana si lo?!"

******

"Kamu libur aja hari ini, lagian juga tadi tidur malemkan."

Aku hanya menganggukkan kepalaku, dengan mata yang masih tertutup rapat. Yah, kebetulan aku sedang tidak sholat satu minggu ini, para perempuan pasti tau alasannya.

'Ting'

Team Grow Down.

Jane Aditya Putri.

Hari ini gue kerumah ya, nanti sore ikut ke makam.

Arlina Noviana T.

Gue nyusul sama Rio ya

Faturashid Maulana.

Intinya sediain gorengan buat gue, San.

Rio Andala Natara.

Gue sama Arlin otw abis dzuhur.

Wulandari Assidiq.

Gue masih di Bandung:(

Me.

Makasih ya guys, gapapa lan, doanya aja okey.

\Read\

Aku memutuskan untuk bangun dari posisiku, mengingat ini sudah jam 8 pagi, masa anak perawan mau tidur terus sih hmm.

Setiap satu tahun sekali, Rumahku pasti akan Ramai, yah, pasalnya kan ini hari memperingati kejadian 7 tahun lalu, karena memang yang pergi bukan hanya Bunda dan Paman Bibiku saja, masih banyak kerabat lain yang meninggal dihari itu juga.

Rio juga datang sekaligus untuk 'menjenguk' Alhamrhum Kakeknya, Basyir Andala Natara. Dulu beliau adalah salah tokoh publik yang aktif didunia politik, begitu kata nenekku. Marga Natara memang kebanyakan menjadi public figure, ntah didunia entertaint, politik, ataupun perfilman.

"San"

Aku hanya menoleh, sambil memasukan satu sendok nasi goreng seafood kedalam mulutku. Kak Sinta mengambil tempat untuk duduk disebelahku, dia mengambil piring dan juga nasi goreng yang tersedia.

"Kata Paman, kita jemput tante Mira."

Aku hanya menghela nafas, menoleh untuk kedua kalinya yang hanya dibalas gidikkan bahu kak Sinta.

"Liat nanti aja, soalnya temen temen gue mau datang." Ucapku.

"Lagian, Supir disini nganggur, Kak." Lanjutku dan beranjak menuju wastafel.

Kak Sinta memegang pundakku, seraya berkata. "Lo belom maafin dia, ya?"

Aku hanya memutar bola nafas sambil menarik nafas pendek, aku mulai membuka mulutku untuk menjawab pertanyaannya. "Gue maafin kok. But, kalo liat orangnya, luka lama pasti balik lagi."

Aku mendegar helaan nafas Kak Sinta, bukan aku tidak ikhlas saat Ayah lebih memilih menikah lagi, namun yang membuatku sakit hati adalah ketika, dia mengatakan sebuah kalimat, yang sampai sekarang sangat menyayat hatiku.

Aku memang seorang pemaaf, akan tetapi jika orang itu melukaiku, jika dia melukai orang yang masuk lingkungan hidupku, akan kumaafkan, tetapi, jangan pernah muncul lagi dihadapanku, itu prinsipku.

Oktober nanti, umurku genap 18 tahun. Yah umurku bisa kalian kategorikan yang termuda diantara orang orang yang tergolong anak 'remaja'.

*****

"Hari ini gratiskan San?" Beo Rio saat kami sudah sampai diCafeku.

"Muka doang ganteng, nongkrong mau gratis." Sindiran itu lolos keluar dari mulut Jane, yang memang bisa dipercaya dalam hujat menghujat.

"Astaga Jen! Lo kalo ngomong suka bener!"

'Brug'

'HAHAHAHAH KUALAT LO!'

Kata kata itu sekarang keluar dari mulut kami semua, pasalnya, Fatur yang memang kuat menoyor Jane hingga jatuh terjungkal. Oh ayolah, sekarang dia jadi tontonan orang orang yang berada disini.

Ngomong ngomong, kenapa kami disini?

Karena selepas Ziarah tadi, kami, Aku, Jane, Rio, Fatur, Arlin, Rehan, dan Lecia, Adik kandungku. Kami memutuskan untung datang keCafe, mengingat selama tahun 2019 belum nonkrong bersana lagi.

"Kak Bos, mau pesen apa?" Tanya Ello padaku.

"Menu yang paling sering dipesan, minumnya Milo, kalo mereka terserah." Jawabku seraya menunjuk satu persatu orang yang ada dihadapanku.

Ello hanya membentuk tangannya seolah mengatakan 'oke'. Kami bertujuh duduk di sofa panjang yang memang dipajang untuk mereka mereka yang bergerombok, seperti kami.

"San, ade lo gabakal dikenalin ke kita?"

"Gausah ngarep gue kenalin ke playboy kayak lo" Ucapku menimpali perkataan Fatur.

"Yaelah Cas, yang mau tau nama adeklo kan bukan Fatur doang."

Aku hanya menghela nafasku, dan memelototi Arlin yang malah membela Fatur. Sekarang aku beralih menatap Lecia yang juga sedang menatapku dengan tatapan meminta persetujuan.

Aku mengangguk untuk menjawabnya. Lecia kemudian menarik nafasnya dan mulai membuka mulutnya.

"Nama aku Leciana Halther Putri, umur aku 14 tahun, salam kenal ya Kak." Ucapnya seraya memasang senyuman ramah.

"Panggil aja dia Ciana, ya gak Dek?" Tanyaku yang dibalas anggukan dari Lecia.

Aku selalu memanggilnya dengan sebutan Ana, alasannya, karena itu nama panggilan yang dibuat oleh ibu, sama seperti nama panggilanku, Cassa.

"Owh iya Ciana nama kak-"

"PESANAN DATANG!!"

Rio memajukan bibirnya, Ello memang selalu dapat tepat waktu, dia memotong ucapan Rio, yang akan memperkenalkan dirinya pada Ana.

Aku menunjukkan ibu jariku pada Ello, yang dia balas dengan senyuman dan kedua alis yang dinaik turunkan.

"Ganggu banget lo Ello!" Kesal Rio sembari melemparkan kertas yang entah dia dapat darimana.

"Ana, kamu makan yang itu aja, gaboleh makan pedes." Bisikku yang dibalas anggukan Ana.

"Rehan, muka lo jangan ditekuk terus dong, tuh pesenan lo udah datang." Ucapku seraya menyodorkan makanan yang ia pesan.

Yah, dia memang akan seperti itu selama satu hari ini, setelah itu, pasti akan membeo lagi, apalagi sekarang ada Ana, tidak mungkin dia akan menjadi bisu secara mendadak.

"Oiya San, gue mau cerita masalah minggu lalu ke lo." Ujar Jane yang sekarang sedang menyeruput Moccacinonya.

"Masalah Bagas sama Rafael?" Tebakku yang diangguki semua teman temanku.

Eh tunggu, mereka semua mengangguk? Itu artinya mereka ada disini ketika masalah itu terjadi bukan? Tapi kenapa tidak ada satupun orang yang menelfokun aarrghh!

"Kalian tau?" Tanyaku untuk meyakinkan.

Dan sekali lagi, mereka mengangguk dengan sangat serius. Aku mulai mengubah posisi dudukku, yang membuat Rehan dan Ana tergerak untuk mengetahuinya juga.

"Jadi, waktu hari selasa kami kesini, Jane yang ngundang." Ucap Rio dengan wajah serius.

"Selang 30 menit, Rekan kerja lo datang kesini, mereka ngobrol ngobrol bareng kita, saling kenalan juga sharing gitu." Kini Arlin yang melanjutkan topiknya.

"Sampe pada akhirnya, pembahasaan kita menyinggung sesuatu yang memang gak seharusnya dibahas, Sa." Ujar Fatur seolah menerawang kembali kesuasana satu minggu lalu.

"So, apa yang terjadi?"

Mereka saling melempar tatapan, membuatku semakin penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi pada hari itu, hari dimana aku sedang mempersiapkan dokumen dokumen penting.

Cassandra POV Off.

~~~~~~

avataravatar
Next chapter