27 Twenty-Eight. Ada Udang Dibalik Batu

Dihadapanku, sudah ada semangkuk Mie, bukan mie instan, akan tetapi mie udang, beserta teman temannya. Ditemani satu gelas susu hangat rasa coklat Favoritku.

"Sambil makan, kita lanjutin pembicaraan tadi ya."

Aku hanya mengangguk seraya memasukan satu suap mie kedalam mulutku, dan menatap Ayah yang juga melakukan hal yang sama seperti yang aku lakukan.

"Kamu pegang perusahaan, Leciana pegang Cafe ini."

Aku membalasnya dengan senyuman, setidaknya, kali ini Ayah satu pemikiran denganku. Mengingat penyerahaannya masih 5 tahun kedepan, aku masih punya waktu untuk mendidik Ana agar bisa menjadi CEO yang baik nantinya.

"Tapi berdua sama Ceera."

Jleb.

Sudah kuduga, Ayah tidak akan menjadi baik begitu saja. Nafsu makanku tiba tiba saja hilang, raut wajah kesal dan marah mulai tercetak diwajahku.

"Sandra mau pulang." Ujarku seraya bangun dari dudukku.

"Sandra dengerin Ayah dulu!"

"Enggak Yah, Sandra udah tau tujuan Ayah. Jangan pura pura baik lagi, Sandra gak akan ambil perusahaan, dan gak akan serahin Cafe ini kesiapapun." Dengan nada bicara yang dingin, aku mulai melangkah kakiku keluar dari Cafeku.

Namun bagaimanapun, pembagian warisan itu diatur olehku, karena aku adalah Anak pertama dari Ayah. Lagipula, Perusahaan Ayah tidak hanga satu, namun masih bercabang lagi.

"Ceera juga anak Ayah Sandra!"

"Lepas Yah. Sampai kapanpun, Ceera itu gak akan jadi anak Ayah." Sambil berusaha melepaskan cekalan tangan Ayah, aku masih berusaha bersikap tenang untuk menaggapinya.

Ceera bukan Anak Ayahku, jika Faris, masih bisa aku akui sebagai anak Ayah. Yaah, mengingat Faris lahir lima tahun lalu, setelah Ayahku menikah selama dua tahun dengan Tante Mira.

"Kalau Ayah minta bagian buat Faris, Sandra kasih. Tapi kalau buat Ceera, nunggu sampai Sandra meninggal pun enggak akan pernah Sandra ijinkan." Kini jarakku sudah lima meter didepan Ayah, tidak ada lagi balasan dari Ayah, mungkin dia sudah menyerah, mungkin.

"Mungkin hari ini Ayah belum bisa bujuk kamu, tapi nanti, Ayah pastikan kamu akan mengijinkannya." Ujarnya dengan nada yang tak kalah dingin.

"Coba aja. Kalau Ayah minta bagian buat mereka, Sandra bukan iblis yang dengan tega menelantarkan Anak dan I S T R I Ayah itu."

"Mereka pasti dapet bagian mereka, anggap aja bonus dari tujuan mereka." Lanjutku.

Aku benar benar meninggalkan Cafe dan Ayah sekarang. Rasanya sangat sakit jika Ayah terus menerus mementingkan mereka. Ibu dan Anak itu, memang sama sama tidak tahu diri. Sudah untung Ibunya diijinkan menikah dengan Ayah, jika tidak, dia pasti akan menjadi gelandangan diluar sana.

Ceera Aryana. Dia adalah anak Tante Mira dengan Alm supirku, Pak Arya. Usianya sama dengan Lecia, namun kelicikannya sudah sebanding dengan Iblis.

Katakanlah Ayahku ini bodoh, diberi barang baru, malah memilih barang bekas. Ayah malah memilih orang yang jelas jelas dengan tega sudah meracuni suaminya sendiri, Pak Arya.

Walaupun dia mengatakan tidak sengaja, dan memang tak ada bukti kejahatan, jika memang racunnya dari bahan makanan itu sendiri, seharusnya kami yang ikut memakannya juga meninggal, tapi lucunya, hanya pak Arya yang pergi dari dunia ini, untuk selama selamanya.

Bodohnya lagi, Ayah menghentikan kasusnya, dengan embel embel dia akan menikahi Tante Mira untuk menggantikan posisi ibu yang memang kondisinya sudah tidak baik.

"Kotu ya pak." Ujarku pada pengemudi Grabcar ini.

Aku butuh menangkan diri, jujur saja, aku tidak bisa jika harus terus menerus menanggapi sikap Ayah yang terlalh memihak ini. Aku harus merubah Ayah lagi, yah, aku harus lakukan itu.

******

Kota tua, disini aku berada sekarang. Salah satu tempat bersejarah di Indonesia. Dulu, Kota tua dikenal sebagai Batavia lama, pada abad ke 16 saja Kota tua juluki sebagai permata Asia, dan Ratu dari Timur.

Tidak ada kegiatan lain, aku hanya duduk dipinggiran dengan satu piring kerak telor ditanganku. Melihat orang yang berlalu lalang, sembari menyuapkan satu persatu kerak terlor yang sudah aku potong.

Pandanganku terhenti pada seorang anak kecil, dari kejauhan, kulihat dia seperti kebingungan dan ketakutan ditengah tengah kota tua ini.

"Pak, ini uangnya." Ucapku sembari memberikan selembar uang padanya.

Setelah itu, aku berjalan kearah anak kecil itu, dari jarak yang dekat, ternyata dia adalah seorang anak perempuan.

"Dek? Kamu sama siapa kesini?" Tanyaku yang kini sudah berjongkok untuk menyamakan tinggiku dengannya.

"Kakak tolong aku.."

"Kamu mau minta tolong apa? Biar kakak yang bantu."

"Orang itu jahat kak!"

Aku mengikuti arah tangannya, dari jarak 7 meter, aku melihat seorang pria tinggi tegap disana. Tapi tunggu dulu....sepertinya, aku kenal orang ini.

"Argus?" Ujarku pelan.

"Dia...dia Ayah kamu?"

Anak kecil dihadapanku ini hanya mengangguk kecil sambil menundukkan kepalanya kebawah. Sepertinya, Argus ini bukan Ayah yang baik, lihat saja, buktinya anak ini seperti ketakutan.

"Baby, kenapa kamu lari dari Ayah?"

Aih sial, kenapa suaranya berbeda dengan Argus yang ada ruang CCTV saat itu? Disini dia kelihatan lebih berwibawa dibandingan dengan tempo hari yang seperti orang tidak mandi selama satu minggu.

"Kakak aku tidak mau bertemu dengannya! Dia mengambil cokelatku secara paksa!" Rengeknya yang kini berlindung dibalik badanku.

"Oh ayolah Baby, kamu sudah memakan lima buah cokelat sayang, Ayah tidak mungkin membiarkan gigimu bolong.."

Aku hanya menatap nanar kearah Pria ini, untuk membujuk anak kecil, harus dengan cara yang halus, bukan diambil paksa seperti itu.

"Adik manis...apa yang dibilang Ayah kamu itu benar, kamu tidak boleh makan coklat terlalu banyak, kamu mau gigi kamu berlubang? Giginya nanti sakit tau." Ucapku dengan suara yang lembut.

"Dan tuan...seharusnya kamu tidak boleh mengambil paksa apa yang sedang dipegang atau dimakan oleh anakmu, bujuk saja dengan cara yang baik." Ucapku seraya berbalik kearahnya.

"Hehehe, aku tidak terbiasa mengasuh anak kecil..." Dengan wajah kikuknya, dia membalas ucapanku.

Aku hanya menggeleng kecil, dan sedikit menjauhkan diriku dari hadapannya. Jika aku tahu ini adalah anaknya, aku mungkin tidak akan menghampirinya. Dengan begitu aku tidak akan berurusan dengannya.

"Saya masih ada urusan, saya pergi dulu ya."

Tanpa ba bi bu lagi, aku pergi dari hadapan mereka. Ah, entah mengapa, aku rasa ada tujuan tersembunyi dari keberadaannya disini.

Sekarang aku sudah berada diujung jalan, menunggu satu bus saja untuk lewat, hanya satu. Namun rasanya sangat sulit, mengingat hari sudah menjelang senja, dan para pekerjapun mulai datang untuk pulang.

Tidak ada pilihan lain, aku memesan Grabcar lagi agar lebih cepat, lagipula Maghrib satu jam lagi, aku tidak boleh telat pulang kerumah, jika tidak, aku akan lupa dengan apa yang aku pelajari kemarin, alias tidak bisa mengulas ulang mata pelajaran besok.

'Ting'

Aku merogoh sakuku untuk mengambil ponselku. Untungnya aku sudah berada di dalam mobil Avanza, jadi bebas mau bermain ponsel juga.

"Pak, alamatnya udah saya share ya." Ujarku masih fokus dengan Ponselku.

Tidak ada jawaban dari supirnya, perasaanku—emm—sedikit merinding sekarang. Aku mengintip kearah depan, kulihat tidak ada yang aneh dari supirnya, namun...mobilnya yang aneh.

"Neng, lagi halangan?" Tanyanya yang membuatku menjauhkan ponsel dari depan wajahku.

"Engga Pak, emangnya kenapa?" Jawabku sembari menautkan kedua alisku.

"Neng nyium bau darah?"

Aku diam sejenak, menatap cermin depan yang memantulkan wajah pak supir yang mungkin, umurnya hampir sama dengan Ayah. Aku menggunakan indra penciuamanku, dan mulai menelaah keadaan didalam mobil ini.

Benar juga, ada bau darah disini, pantas saja aku merasa ada yang aneh dengan mobil ini.

"Ini...mobil bapak?" Ujarku bertanya.

"Bukan Neng, saya tukeran mobil sama teman Saya." Sambil menggelengkan kepalanya, dengan raut wajah yang semakin kebingungan pak supir terpaksa menghentikan mobilnya.

"Selain temen Bapak...yang pake mobil ini siapa?"

"Temen saya juga, tapi udah 1 minggu ini dia gak keliatan neng."

Aku hanya mengangguk paham, dan mulai turun dari mobil, mengecek keadaan luar, barangkali bapak ini tidak sengaja menabrak sesuatu.

"Pak, sebelum saya, bapak udah diorder berapa orang?"

"Baru neng aja." Jawabnya yang kini sedang melihat bagian bawah mobil.

Fokusku berhenti pada bagasi mobil, mengingat saat didalam, bau darah itu lebih dominan dibagian belakang mobil, dibanding didepan atau sekitarnya.

Jalanan juga untugnya masih ramai, ada beberapa pedangang yang memang sengaja menghampiri kami untuk sekedar bertanya apa yang terjadi.

"Pak pak sini, tolong bukain bagasinya." Ucapku sambil menggerakkan tanganku keatas dan kebawah.

'Ceklek'

Perlahan aku membuka bagasinya, dan sialnya, bau darah itu kini benar benar menyeruak, semua orang, termasuk aku terpaksa menutup hidung dan menyengritkan dahi juga mata.

1

2

3

"ASTAGFIRULLAH MAYAT!"

"Ih ada mayat!"

"Ya allah kasian banget!"

Aku mundur beberapa langkah, bulukudukku mulai berdiri, sedikit demi sedikit rasa takut mulai menyelimuti tubuhku.

Bagaimana tidak? Coba kalian pikirkan, apa yang akan terjadi ketika kalian melihat mayat dengan kepala yang hampir terputus, dan satu bola mata yang keluar dari matanya, dihadapan kalian, tepat dihadapan kalian.

Belum lagi darah yang masih bercucuran, dan bisa dibilang masih segar.

Aku beralih menatap Bapak supir tadi, kini dia sudah terduduk lemas diatas tanah. Aku menghampirinya untuk sekedar bertanya, apakah dia mengenal mayat ini atau tidak. Jujur saja, tubuhku juga bergemetar hebat sekarang, walau ini bukan yang pertama kali...tetap saja rasanya menakutkan.

"Bapak...Bapak kenal mayat itu?..." Tanyaku pelan.

Ia mengangguk kecil, dan mulai membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu. "Itu...itu temen saya yang tadi saya bilang udah gak kerja selama satu minggu."

Deg.

Orang yang tadi kami bicarakan, jasadnya sudah berada di dalam bagasi sedari tadi, sial. Pertanyaanku, siapa yang menaruhnya disini, dan....siapa orang yang dengan tega melakukan hal ini.

"Tolong panggil polisi ya, suruh mereka datang kesini." Ucapku seraya menatap orang disekitar sini.

"Jangan ada yang deket deket mobil, jaga jarak kalian sejauh tiga meter dari mobil." Ujarku lagi.

Orang orang disini hanya mengangguk paham, dan mulai mundur sedikit demi sedikit. Beberapa orang datang untuk menangkan bapak supir ini. Haishh, untungnya tadi aku dan bapak ini sudah menggunakan sarung tangan, jadi sidik jari kami tidak akan menganggu penyidikan nantinya.

"Mas Agung, datang ke alamat yang Sandra share." Ujarku dibalik telfon, dan kemudian menutupnya.

~~~~~~

avataravatar
Next chapter