webnovel

Di abaikan?!

Hiii

Happy Reading!

***

Hari ini, tepat saat Naia melangkah masuk ke dalam area sekolah. Kabar tentang kepala sekolah yang dijemput oleh polisi berembus kencang, satu bagian sekolah pun tidak luput dari ocehan mengenai kekejian kepala sekolah hingga Naia muak sendiri.

"Hueeek!"

Merasa perutnya bergejolak, Naia mengeluarkan suara seperti orang muntah pada umumnya. Alan yang tengah membaca buku pelajaran pun sampai menghentikan kegiatannya itu lantaran khawatir dengan kondisi Naia.

"Nai, are you okay?" Alan bertanya dengan kening berkerut tanda khawatir yang berlebih pada Naia.

Gadis itu menggeleng, tidak menjawab pula. Enggan sekali dia melepas kedua tangan yang kini menutup mulut seolah menahan muntah, meski tidak benar-benar muntah.

Tahu kalau Naia tidak akan menjawab pertanyaannya, Alan menyimpan buku pelajaran ke dalam tas. Tanpa meminta persetujuan sahabatnya, Alan menggendong Naia ala bridal style dan membawanya ke Uks.

Ketimbang memaksakan otak kecilnya untuk belajar, Alan memilih untuk membiarkan Naia bolos di Uks. Toh, belajar atau tidak, nilai Naia tetap sama. Sama-sama anjlok maksudnya.

"Diem di sini ya, gue mau ke kantin bentar." Alan memberikan petuah. Tidak terbayangkan jika dirinya kembali dari kantin dengan membawa bubur, tapi gadis itu telah menghilang, kan?

".."

Bingung karena tidak mendengar balasan dari Naia, Alan menaikkan pandangannya pada wajah gadis itu. Alan kembali terkejut setelah dia mendapati Naia tengah menatapnya pula dengan pipi memerah. "Kenapa?" tanya Alan memasang wajah tanpa ekspresi.

Sungguh, jika saja ada orang yang memberikan rating terhadap perubahan ekspresi, maka Alan akan di beri nilai 100. Bagaimana tidak, meski sudah di tatap intens oleh Naia, dan jantungnya yang berdebar, Alan sama sekali tidak kesulitan saat memasang topeng tak berekspresi di mata Naia.

Tidak ingin di tatap intens lebih lama, Alan meraup wajah Naia sampai gadis itu tersadar dan berteriak. "Kyaaaa! Alaaan! Make up gueeee!"

Sambil merotasikan matanya, Alan bersidekap. "Denger gak sih, omongan gue tadi?" tanya-nya menatap Naia curiga. Menurut firasat Alan, maka Naia sama sekali tidak mendengar semua kalimat Alan sejak di gendong olehnya.

Naia menerjabkan matanya beberapa kali, gadis itu terlihat bingung sendiri dengan pertanyaan yang Alan berikan. "Lu ngomong?"

Tubuh Naia tersentak ketika mendengar suara tamparan, mata hazel-nya menatap Alan tidak percaya. Kenapa sahabatnya itu menampar diri sendiri? "Lu waras kan, Al?" tanya Naia khawatir. Jika saja Alan habis kesabaran, maka sekarang dia akan menjitak jidat mulus Naia.

Dalam diam pria itu menarik serta mengeluarkan napasnya teratur, setelah emosinya kembali normal, baru lah Alan mengulangi petuah kepada Naia. "Jangan kemana-mana, gue mau beliin bubur bentar."

Anggukan dari Naia membuat Alan segera beranjak. Meninggalkan gadis itu terlalu lama sendiri akan membuat para lalat yang selama ini dia tepis mendekat.

Lelah melambaikan tangan untuk mengantarkan kepergian Alan menuju kantin, Naia menurunkan tangannya. Dia menyandarkan punggung dan helaan napas panjang mengisi kesunyian Uks.

"Nunggu Alan balik, gue ngapain yak?" gumam Naia menggaruk pipinya yang tidak gatal seraya meneliti setiap barang di Uks.

Suara jarum jam yang terus terdengar membuat kesan horor tersendiri bagi Naia, tubuhnya bergidik takut. "Hiyy! Alan kenapa lama sih?" Naia yang semakin takut bergumam pelan seraya mencari ponsel pintarnya.

Tidak ada.

Saku seragam batik tidak ada, kantong rok juga tidak ada. Apa mungkin ada di dalam tas? "Engga, jelas-jelas gue megang hp pas duduk bareng Alan di lorong.." gumam Naia menampik asumsi kalau ponselnya tertinggal di tas.

Brak!

Di saat Naia sibuk dengan pertanyaan di mana ponselnya berada, suara pintu terbuka kasar kembali mengejutkan Naia. "Ya Tuhan! ALAN BEG–"

"Lho? Om Richard?"

Kening Naia saling bertaut ketika menyadari kalau bukan Alan lah pelaku yang membuka pintu Uks kasar, melainkan Richard. Benar, Richard Wijaya. Siapa lagi?

Pria yang kini mengenakan pakaian.. Kepala sekolah? Tunggu, kenapa anak Ketua yayasan seperti Richard menggunakan seragam Kepala sekolah? "Om.. Ngapain?" Naia bertanya dengan curiga.

Mendapat pertanyaan seperti itu, Richard justru melebarkan senyumnya. Dia merentangkan tangannya lebar seolah minta di peluk.

"..."

Karena tidak merasakan pelukan dari seseorang, Richard membuka matanya sambil berdehem. "Ekhem! Nai-Nai ndak mau peyuk Daddy?"

Alih-alih bergerak turun dari ranjang Uks dan memeluk Richard, pria itu justru mendapati Naia yang sedang tiduran membelakangi dirinya.

Tap! Tap!

Prak!

Belum genap empat langkah, Richard kembali di kejutkan oleh rasa panas yang menjalar di punggungnya setelah merasa seseorang baru melempar benda panas. Ketika Richard berbalik, matanya langsung bersitatap dengan mata biru yang kini juga menatapnya sedingin samudera.

"Ganjen banget jadi cowo, gapunya muka?" Alan bertanya sinis sambil melangkah masuk, matanya melirik punggung Naia yang tengah membelakangi mereka dan tersenyum puas.

Alan senang karena Naia benar-benar mengabaikan tingkah centil Richard, meski kenal pun Naia enggan bercengkrama dengan Richard. Ah, mungkin reaksi Alan akan 180 derajat berbeda jika Naia merespon Richard dan memeluk pria itu.

Menyadari kalau Richard kini berdiri di hadapannya, Alan mundur beberapa langkah. Najis sekali jika harus berhadapan terlalu dekat dengan sejenis kecoa. "Jangan deket-deket!" sinis Alan memicing.

Bukan Richard namanya jika menurut begitu saja, dia justru bergerak meraih satu tangan Alan dan menepuk-nepukkan tangan itu pada pipi kanannya beberapa kali.

"Menurut lu, ini punya muka, atau engga?" Richard menantang Alan dengan santainya.

Muak dengan tingkah nyelengeh Richard, Alan menarik tangannya kuat hingga terlepas dari genggaman Richard. "Bego-nya terlalu natural! I proud you, dude!"

Bukannya tersinggung, Richard malah terkekeh. Dia memasukkan kedua tangannya pada saku celana, kemudian bersandar di kusen pintu Uks. "Sengaja bro, soalnya lu 'kan gobl*k."

"LU–"

"ALAAAN!"

Ketika Alan hampir meledak, suara teriakan Naia tiba-tiba terdengar. Gadis yang tadinya ingin berpura-pura tidur agar Richard pergi dengan cepat, kini panik ketika menyadari sahabatnya akan kehabisan limit kesabaran.

Tanpa memikirkan apa reaksi yang akan Richard berikan saat melihatnya tiba-tiba bangun, Naia turun dari ranjang Uks, dia berlari ke arah Alan dan menubruk pria itu cepat. "Bubur gue manaa?!" Naia menagih dengan sedikit desakan.

Meski sekilas Naia telah melihat sebungkus bubur yang kini menempel di punggung Richard, dia tetap menagih. Lebih baik membuat Alan panik karena tidak membawa pesanan Naia dari pada harus berkelahi dengan anak Ketua yayasan yang kini menjadi Kepala sekolah, kan?

"Gue, buang Nai.. Sorry," Alan meringis saat mengingat bubur milik Naia yang dia lemparkan ke punggung Richard.

Sambil berkacak pinggang, Naia menggembungkan pipinya lucu. Bertingkah seolah sedang merajuk makanannya tidak dibawa, padahal boro-boro ingin makan bubur. Suka saja tidak pada makanan bertekstur lembek tersebut.

"Gak mau tahu yah, Alan harus beliin eskrim buat ganti bubur milik Naia!" putus Naia menyeret Alan keluar dari Uks, meninggalkan Richard yang kini tertawa lepas.

Lebih tepatnya tawa menahan amarah. Hawa di Uks seketika berubah, "Hahahaha! Bangs*t..."

***

Makasih udah baca, luv yuuu!