webnovel

Love and Secret

Ayy_Deta · Teen
Not enough ratings
1 Chs

My Name Is

Hai, perkenalkan namaku Liora Calista Wijaya. Aku seorang mahasiswi fakultas hukum semester akhir di salah satu kampus terkenal di kota ini. Orang tuaku khususnya ayahku pemilik perusahaan terkenal. Bundaku Liana Wijaya juga punya bisnis restoran yang selalu ramai pengunjung. Kakak laki-lakiku, namanya Leon Gerald wijaya dia juga bekerja di kantor ayahku. Mungkin kalian berpikir hidupku sempurna karena punya segalanya terutama materi. Awalnya iya, aku juga berpikir begitu, tapi semua berubah setelah...

"satu bulan lagi kamu nikah"

kalimat itu terlontar begitu lancar dari bibir ayah. Mutlak. Semua keputusan yang diambilnya mutlak, tak ada seorangpun yang bisa membantah perkataannya.

Aku sempat mengira bahwa itu hanya gurauan karena mungkin dia jengkel melihat tingkahku yang terlalu manja.

"ayah bercanda? Aku masih kuliah."

Sebenarnya aku tidak selalu bertingkah manja, aku hanya melakukannya pada orang-orang tertentu saja yang aku anggap mereka dekat denganku. Jika pada orang yang baru aku kenal atu mereka yang tidak akrab denganku, aku bersikap layaknya seorang gadis berumur 24 tahun.

"apa salahnya memiliki suami ketika kuliah? Itu hal yag lumrah. Keputusan ayah sudah bulat, ini demi kebaikanmu, agar kamu bisa mandiri dan tidak selalu mementingkan diri sendiri."

Dan ya, seperti biasa perkataanya tidak bisa dibantah, dan aku pun tidak sanggup membujuk seorang Hendy Kusuma Wijaya. Soal aku selalu mementingkan diri sendiri itu memang benar. Itu semua aku lakukan karena aku tak mau lagi kehilangan apapun yang aku punya jadi sering kali aku bersikap egois.

Sebenarnya 11 tahun yang lalu aku selalu berkhayal bahwa aku ingin menikah dengan pria kecil itu. Iya temanku sendiri. Kita sering bermain bersama karena rumah kita satu komplek. Namanya Rival, entah apa nama belakangnya, aku tidak terlalu memperhatikan karena saat SMP yang aku tahu hanya tidur di kelas karena malam yang aku habiskan untuk melihat youtube para idolaku. Dan akupun tidak pernah bertanya padanya.

Tapi ketika menginjak kelas 2, anak itu pindah sekolah, katanya karena ayahnya beralih tugas ke kota lain. Aku bahkan tidak mengucapkan salam perpisahan padanya, karena beberapa hari sebelum pindah dia tidak menampakkan dirinya di sekolah maupun di luar sekolah. Tapi sekarang setelah aku ditawarkan, ah bukan, disuruh menikah mengapa aku jadi tidak mau. Entahlah. Mungkin karena bukan pria kecil itu yang akan menikah dengaku.

"Rara!! Kamu sudah siap?"

dalam sekejap lamunanku buyar karena teriakan bunda dari lantai bawah. Yah, sekarang tepat satu minggu setelah kalimat itu dengan mudahnya terlontar dari mulut ayah. Sebenarnya aku kecewa karena tidak membicarakannya dulu padaku. Tapi aku juga tikak bisa menolak karena aku tudak ingin menjadi anak durhaka.

Tanpa berpikir lagi aku segera menghampiri bundaku di lantai bawah. Malam ini adalah malam pertemuan pertama bagiku dengan calon suami yang namanya saja belum aku ketahui. aku memakai dress berwarna soft pink lengkap dangan flatshoes degan warna senada. Aku juga menggerai rambutku karena malam ini lumayan dingin. Namun jika kalian melihat penampilan dan wajahku, keduanya sangat bertolak belakang. Pakaian cantik yang aku kenakan berbanding terbalik dengan ekspresi masam yang tergambar di wajahku.

Sesampainya di bawah, bunda sedang menata makanan di meja makan dengan senyum terukir di bibirnya. Lalu dia melirikku dan mungkin melihat ekspresi masam di wajahku.

"kamu kenapa,sayang?"

kenapa katanya? Anakmu ini sedang marah, kecewa dan takut dan bunda masih bertanya? Ternyata aku salah berpikir jika bunda tau segala yang aku pikirkan. Nyatanya dia masih bertanya, padahal dia sejak awal sudah tahu bahwa aku tidak menginginkan pernikahan ini.

"gapapa, bunda. Hanya sedikit gugup."

Akhirnya dengan terpaksa aku kembangkan senyumku dan mulai membantu bunda menata makanan. Memang, di rumah kami tidak ada ART. Bunda bilang, bunda bisa mengerjakan semuanya dan membagi waktu antara di rumah dan di restoran. Sebenarnya bunda pergi ke restoran hanya sekitar tiga kali dalam satu minggu karena dia sudah memiliki orang yang bisa dipercaya untuk menjalankan restorannya.

Dalam hal ini aku salut. Bunda tidak pernah mengeluh 'lelah', padahal ada tiga nyawa selain dirinya yang harus dia urus. Belum lagi perkerjaan rumah lainnya ditambah beban restorannya. Terkadang aku merasa bersalah karena terus bersikap manja padanya, tapi itu hanya suatu cara agar aku mendapatkan perhatiannya.

Bukan karena aku kurang atau tidak diperhatikan, hanya saja aku takut perhatian itu perlahan pudar karena beberapa alasan. Seperti bunda yang lebih memikirkan restoran atau ayah dan abang yang selalu pergi ke luar negeri hingga mereka lupa bahwa ada anaknya yang lain yang masih harus mereka perhatikan. Tapi aku bersyukur karena seberapa sibukpun mereka pasti selalu aku yang menjadi prioritas.

Tak lama, terdengar bunyi bel rumah.

"Ra, tolong bukakan pintunya, tamunya sudah datang."

Tuturnya.

"iya bun."

Aku berjalan menuju pintu dan membukanya. Disana aku melihat satu keluarga tengah tersenyum kecuali pria berperawakan tinggi di belakang. Tinggi badanku tidak ada apa-apanya dibandingkan dia.

"Silahkan masuk tante, om" aku berjalan mengikuti mereka menuju meja makan.

Aku juga berpikir bagaimana jadinya jika memang pria dingin itu yang menjadi suamiku. Aku tersenyum, bagaimana mungkin aku seorang gadis ekspresif bisa tinggal dengan pria dingin yang bahkan senyumnya pun irit sekali.

"kamu Liora? " belum juga aku menjawab, wanita cantik yang sudah berumur di depanku melanjutkan lagi perkataannya.

"Tidak salah tante memilih kamu sebagai calon istri Aldo, cantik, ramah lagi. Iyakan pah?" om Aldi hanya mengangguk menanggapi pertanyaan tante anggi.

Sementara wajahku rasanya panas sekali mendapat pujian seperti itu.

Kami berjalan ke arah meja makan sambil terus berbicara ringan, tapi tidak dengan pria yang di sebut Aldo itu. Kesan pertamaku padanya sangat dingin.

Waktu berlalu begitu cepat, kami telah menyelesaikan acara makan kami. Dan suasana tiba-tiba berubah menjadi sangat mencekam.

"Ra kamu udah tahu kan kalau kamu akan kami jodohkan?" aku hanya menggangguk menjawab pertanyaan ayah.

"kamu setuju?"

"Aku setuju jika Aldo juga setuju". Aku gemetar menunggu jawabannya. Aku berharap dia akan menolak perjodohan ini.

"Aku akan melakukannya." Ucap Aldo final. Duniaku seakan runtuh saat itu juga. Harapanku untuk tidak menikah seketika pupus.

"Ayah apa aku boleh tahu kenapa kalian menjodohkanku? Abang kan belum menikah? Kenapa aku melangkahinya?"

Om Aldi tiba-tiba menjawab pertanyaanku.

"Sebenarnya ini wasiat dari kakek kamu dan kakeknya Aldo, ra. Mereka ingin kalian menikah jika Aldo sudah memiliki pekerjaan tetap. Dan sekaranglah waktunya. Kamu bersedia kan?"

"eemm, om boleh saya bicara sebentar degan Aldo?"

Kita berdua, maksudku aku dan Aldo berjalan ke halaman belakang. Suasana disana cukup nyaman dengan beberapa gazebo di tepi kolam renang.

"apa yang ingin kau bicarakan? " Aldo membuka percakapan terlebih dahulu, mungkin karena dia bosan menunggu aku berbicara.

"kenapa kau menerimanya? Pernikan ini?"

"karena kedua orang tuaku"

Oh tuhan yang benar saja.  Bisakah dia menjelaskannya padaku secara lebih rinci? Baru 10 menit aku bersamanya, emosiku sudah naik ke ubun-ubun,  dan nanti aku akan menghabiskan seluruh hidupku dengannya? Yang benar saja.

"maksudku kenapa dengan mudah kau bilang akan melakukannya,  tanpa menolak atau sekedar menanyakan alasan kita dijodohkan?"

Dia hanya menaikan kedua bahunya menanggapi pertanyaanku.

"sudah selesaikan? Kita kembali ke dalam"

Dia kembali kedalam tanpa menghiraukan ekspresi penasaran yang tergambar di wajahku. Pria dingin.

acara malam ini telah berlalu.

Aku menjalankan ritualku sebelum tidur, diam melamun di balkon kamarku. Memikirkan semua kemungkinan yang akan terjadi setelah aku menjadi istri orang.

Namanya Rivaldo Nugraha, aku baru mengetahuinya setelah kami berbincang cukup lama dengan keluarganya. Tak ingin memikirkannya terlalu lama, aku segera tidur untuk mempersiapkan hatiku besok, karena mulai besok Aldo yang akan mengantar jemputku ke kampus.

***

Aku sudah siap dengan pakaianku, tinggal mengenakan sepatu dan menunggu Aldo menjemputku. Aku belum tahu dia orang seperti apa, sementara waktuku sebagai seorang single hanya tersisa tiga minggu lagi. Itupun akan aku gunakan untuk mempersiapkan pernikahan kami.

Lamunanku harus terhenti ketika suara klakson yang begitu nyaring berbunyi tepat di depan rumahku. Aku menghampirinya. Dia hanya menurunkan kaca jendela dan...

"masuk" Aku tarik kembali kata-kata yang hendak aku ucapkan, menghentakan kakiku karena kesal dan masuk ke dalam mobil dengan wajah sebalku.

"kau marah? Kenapa begitu dingin?"

Dia hanya bergumam menjawab pertanyaanku. Sepanjang perjalanan hanya dihiasi dengan suara gemuruh mesin kendaraan yang memenuhi jalanan kota ini. Kadang aku bersenandung kecil hanya agar suasana tidak terlalu sepi.

Jika pikiranku kembali ke masa dimana perjodohan itu dilakukan, semuanya nampak miris. Tidak ada lagi hari-hariku yang berwarna yang dihiasi nyanyian dipagi hari, walaupun hal tersebut tidak bisa dikatakan sebagai nyanyian karena suaraku jauh dari kata bagus.

Aku tersenyum miris dan melirik ke arahnya. Seperti biasa, tak ada ekspresi yang ditunjukan oleh orang yang ada di bangku kemudi. Matanya hanya menatap lurus ke arah jalanan.

"kau tak akan keluar?"

Tiba-tiba sebuah suara menyadarkanku dari lamunan.

"aahhh i..iya maaf, aku keluar sekarang. Makasih"

Saat setelah aku menutup kembali pintu mobil, kaca mobil sedikit terbuka cukup untuk melihat wajahnya.

Alisku berkerut sebagai tanda bahwa aku kebingungan dengan keadaan ini. Dan setelah dia berkata barulah aku paham.

"setelah selesai telpon aku, kita akan ke rumah"

Iya yang dia maksud adalah rumahnya. Tentu saja aku tidak melupakan ajakan tante anggi untuk makan siang bersama.

Aku menggangguk sebagai jawaban. Kemudian mobilnya melaju dengan kecepatan sedang. Kemungkinan menuju kantornya.

Selama perjalanan menuju kelas, aku hanya melamun memikirkan nasibku yang seperti ini. Bahkan masih banyak orang diluar sana yang mungkin sudah sangat siap melakukan komitmen yang terbilang penting ini, dan kenapa harus aku yang menerimanya.

"ngelamunin apa lo!!" seperti biasa Dira selalu mengagetkanku dimanapun aku berada dan tanpa peduli apa yang sedang aku lakukan.

Kepribadian gandanya ini yang membuatku salut kepadanya. Maksudku, dia adalah penyebab mengapa aku takut kehilangan perhatian orang tuaku seperti yang dia rasakan. Dira, dia anak tunggal yang kurang perhatian orang tuanya. Tapi sikapnya selalu bahagia jika didepan orang lain dan akan tiba-tiba berubah jika berada di depan keluarganya.

"kebiasaan lo, ngagetin mulu kerjaannya" sebenarya aku tidak terlalu terkejut dengannya.

Mungkin karena dia terlalu sering mengejutkanku sehingga aku terbiasa.

"ya habisnya pagi-pagi udah ngelamun, mana tuh muka ditekuk mulu lagi" kita terus berbincang sepanjang perjalanan dan akhirnya sampai dimana kelas kita akan dimulai.

"Dir, nanti temenin gue ke caffe depan kampus, ada yang mau gue omongin"

"o...oke"

Mungkin dia mengerti dengan suasana wajahku hingga dia hanya menjawab seadanya.

***

Seperti kesepakatan kita tadi, disinilah aku dan Dira berada. Di pojokkan caffe ditemani segelas jus buah yang belum tersentuh sama sekali. Dira berusaha mengalihkan pandangannya dariku. Aku tahu dia sangat canggung sekarang karena ekspresi wajahku yang berbeda dari biasanya. Dia memang sangat mengenal diriku bahkan lebih dariku sendiri.

"ra, jadi ada masalah apa?" akhirnya dia membuka percakapan diantara kami.

"gue dijodohin"

"What!!! Lu dijod...??!!!" seluruh isi caffe memperhatikan kami. Aku hanya tersenyum canggung dan meninta maaf kepada orang-orang yang memperhatikan kami. Hampir saja seluruh isi caffe tahu, untung saja aku segera membekap mulutnya.

"ih gak ada akhlaq lu, kalau semua orang tahuu mau  ditaro dimana otak gue" Diraaaa

Dia menyengir kuda, mengangkat jari tengah dan jari telunjuknya membentuk huruf v padaku.

"ada satu lagi, tapi lo gaboleh teriak" Dira mengangguk.

"tiga minggu lagi gue nikah. Lo jangan lupa datang" sekali lagi matanya melotot mendengar penuturanku.

"lo gila? Kenapa cepet banget?" aku menghela nafas.

Itu juga yang ada dalam pikiranku sekarang.

"kalau boleh milih gue juga gak mau nikah muda apalagi pake jodoh-jodohan. Tapi mauu gimana lagi, orang tua gue yang mau. Lo tahu sendiri gimana bokap gue"

"yaudahlah, jalanin dulu aja. Siapa tahu emang ini yang terbaik buat lo"

Sebenarnya aku sangat muak dengan kalimat penyemangat seperti itu. Tapi apa yang Dira katakan juga tidak sepenuhnya salah. Aku mengangguk mengiyakannya. Ingat dengan janjiku tadi, akhirnya aku mengeluarkan ponselku dan menghubungi Aldo.

"Al, aku sudah selesai. Aku di cafe dekat kampus"

"Oke" Cukup seperti itu dan sambunganpun diputuskan.

Aku memakluminya karena memang sifatnya seperti itu. Aku menunggu cukup lama hingga bunyi lonceng berdenting karena gerakan pintu. Aku menoleh dan mendapati dia dengan balutan jas hitamnya.

"sudah selesai?"

Aku mengangguk dan menghampirinya untuk segera menuju mobilnya. Sepanjang perjalanan kita hanya diam. Aldo yang fokus dengan jalanan dan aku yang fokus dengan ponselku sekedar membuka sosial mediaku.

Tak membutuhkan waktu lama, kita sampai di kediaman Aldo. Aku turun dan menunggu dia keluar dari mobil.

Ayo, mamah udah nunggu

Aku mengikuti langkahnya masuk ke dalam bangunan yang tidak bisa dikatakan kecil ini. ini memang untuk pertama kalinya aku berkunjung kesini. Tapi nampaknya rumah ini sangat familiar.

Aku serasa pernah menginjakkan kaki di rumah ini.

Sesampainya di dalam, aku melihat tante Anggi tengah sibuk dengan peralatan masaknya lengkap dengan apron yang menggantung di lehernya. Sangat mencerminkan seorang ibu rumah tangga. Aku segera menghampirinya mengecup tangannya. Sementara Aldo mungkin pergi ke kamarnya untuk mengganti pakaian.

siang, tante aku memberikan senyum terbaikku.

siang sayang.

"Yu duduk sebentar. Nanti kita makan bareng"

"boleh aku bantu, tan?"

"engga apa-apa sayang. Sebentar lagi juga selesai"

Aku mengalah dan duduk di meja makan. Memperhatikan tante Anggi yang sangat telaten dengan peratan dapur membuatku berpikir aku harus belajar lebih banyak tentang memasak. Tepat setelah tante Anggi meletakkan mangkuk terakhir di meja makan, Aldo datang dengan pakaian yang lebih santai.

"selesai. Yu makan." Aku mengangguk mengiyakan.

"om Aldi kemana, tan?" tanyaku sekedar basa-basi.

"oohh om belum pulang, ra. Katanya dia lembur hari ini"

"hhmmm, ini enak sekali, tan" ucapku dengan mata berbinar.

Aldo hanya diam memperhatikanku dan tante Anggi yang terkekeh dengan kelakuanku.

Setelah selesai makan, aldo kembali ke kamarnya entah untuk apa. Sementara akuu bercerita ria dengan tante Anggi.

"ra, kamu tahu? Aldo itu sebenarnya nggak dingin loh kalau sudah dekat sama orang. Dia Cuma dingin sama orang baru aja" ahh benarkah? Jadi ada kemungkinan dia bisa hangat padaku kan?

"oh iya. Kamu juga harus tahu. Aldo punya kebiasaan di tengah malam"

"kebiasaan seperti apa tan?" tanyaku penasaran.

"nanti kamu akan tau kalau sudah tinggal bersama"

Aku menggangguk. Hari sudah sore dan aku ingin pulang tapi Aldo tidak juga turun.

"tan, udah sore. Rara pulang dulu ya"

"biar Aldo anterin, sayang"

"gak usah tan. Rara bisa pake taxi"

"Aku anter"

Tiba-tiba dari arah belakang suara bariton itu datang. Ya, dia Aldo sudah dengan setelan barunya juga kunci mobil di tangannya. Akhirnya aku mengalah dan membiarkan Aldo mengantarku.

"tante, rara pulang dulu ya. Makasih makanannya" aku berpamitan lagi seraya mengecup tangannya.

Aldo berjalan terlebih dahulu dan aku mengekor di belakangnya. Dia mengantarku dengan selamat dan dengan suasana sepi dalam mobil. Tapi tak apa, itu akan jadi kebiasaan bagiku.