28 Lawan kuat

Bayangan itu bergerak tak menentu. Regina berhati-hati dalam bertindak, sebab ia tak boleh gegabah. Indera pendengarnya digunakan untuk mengetahui pergerakan lawan. Dia menutup mata, cara itu sering ia lakukan sewaktu kecil dahulu.

Regina menyeringai saat mengetahui keberadaan musuh, ia langsung menyerang menggunakan kakinya, lagi-lagi ia kehilangan sosok itu.

Tempat yang tertutup serta sedikit cahaya yang masuk ke sana, menjadi tantangan sendiri untuk melihat pergerakan saingannya.

Regina masih menggunakan indera pendengaran. Akan tetapi, lawannya tampak tenang. Senyuman licik menandakan akan terjadi bahaya yang mengancam keselamatan wanita itu. Ia sengaja menimbulkan suara agar Regina bergerak ke arah sana.

Padahal, itu hanya jebakan semata. Ketika Regina menuju sumber suara tersebut, ia dicekik dari arah belakang. Regina berusaha melepaskan diri dari jeratan yang menyiksanya. Saat pelatuk ditekan, ternyata pelurunya habis. Dia berdecak sebal.

Karena dia terpojok, ia menggunakan cara lain. Dia memegang kedua tangan lawannya dari arah depan, kemudian membantingnya tanpa keraguan. Regina bisa mendengar suara retakan.

Dia merintih kesakitan, namun tak mengurangi semangatnya dalam mengalahkan Regina. Lagi-lagi sosok itu tersenyum. Ia tak kenal takut seakan nyawanya tak berharga. Regina merasa ada sesuatu yang tidak beres.

"Tuan muda, apa kamu masih ada di sini?" tanya Regina. Ia takut kalau Keenan diculik oleh seseorang dan ada lebih dari satu orang yang beraksi, selain orang yang ia hadapi saat ini. "Tuan muda!" Regina mengeram karena tak ada jawaban dari pria itu.

"Hahahaha…" Suara tawa yang menggelegar seakan-akan mencekik gendang telinganya sekelebat.

"Dimana dia?" Regina tampak marah. Dia mulai serius dalam menghadapi musuh-musuhnya.

"Mungkin dia sudah mati," jawab seorang pria yang tiba-tiba datang. Pria itu berpakaian serba hitam tanpa menunjukkan wajahnya. Dia tersenyum licik.

"Apa mau kamu? Kenapa kamu menargetkannya?" berang Regina. Dia menggertakkan gigi, memperlihatkan kekesalannya.

"Kalian semua akan mati satu-persatu."

"Itu tidak akan terjadi!" sahut seorang pria sambil mengarahkan pistol pada sosok itu. Dor… Dor… Dor… Tiga kali tembakan, tetapi meleset. "Sial!" serunya.

"Pak David! Kenapa kamu ada disini?" tanya Regina. Meskipun ia tak dapat melihat dengan jelas wajah David, ia masih mengenali suara pria itu.

"Aku berusaha menghubungi nomor ponsel tuan muda menggunakan telepon umum, tetapi tak ada jawaban. Kemudian, aku mencoba kemari. Tak kusangka aku malah mendengar suara perkelahian."

"Lalu, apa pak David tahu dimana tuan muda?"

"Tuan muda tidak ada disini?" tanyanya balik.

"Jadi, pak David juga tidak tahu ke mana perginya tuan muda?" ulangnya sekali lagi.

David menggelengkan kepala. Regina berdecak sebal. Urat-urat pada punggung tangannya terlihat jelas saat ia mengepalkan tangan.

Sosok yang melawan Regina menekan pelatuk tiba-tiba. Regina berhasil menghindar, peluru itu terkena tembok hingga berlubang. David mengarahkan senjatanya. Dia membantu Regina.

"Dua lawan satu ya, menurut kalian, aku akan takut?" katanya. Ia dapat mendengar gerakan David.

"Pak David, kita bagi tugas. Biar aku di sini yang menghadapinya. Sedangkan pak David mencari tuan muda."

"Kamu bawa pistol?" tanya David.

"Bawa sih tadi. Hanya saja pelurunya tiba-tiba habis. Mungkin, aku tidak mengeceknya saat membawa pistol tadi."

"Dasar ceroboh! Nih ambil pistolku," ucap David seraya melempar pistolnya pada Regina.

"Lalu, pak David pakai apa?"

"Tenang, aku masih punya satu pistol lagi."

"Ya udah, Pak David berhati-hatilah!"

"Kamu juga." Tak lama, David meninggalkan Regina. Wanita itu menatap tajam musuhnya.

"Kalian pikir bisa menyelamatkannya? Itu tidak akan mungkin terjadi."

"Banyak bicara, aku akan merobek mulutmu itu!" seru Regina. Ia menekan pelatuk tanpa ragu-ragu.

"Sial!" kata sosok itu.

Peluru menembus pada lengan kanannya. Darah berceceran di lantai. Regina menyeringai. Ia tak pernah gagal dalam menembak. Bukan berarti David tak kompeten. Ia juga mahir menembak. Hanya saja ia tak bisa menembak dengan ruangan yang gelap.

Kemahiran David hanya digunakan untuk menembak jarak jauh dalam udara yang terbuka. Sedangkan Regina lebih mahir dalam ruangan yang tertutup tanpa adanya cahaya. Setiap orang memiliki ciri khas masing-masing.

Namun, Regina tak dapat menganggap remeh lawannya, ia juga menguasai medan ruangan gelap dan tertutup. Dia mendapatkan lawan yang seimbang. "Kali ini kamu akan mati!" seru Regina.

"Kamu tidak akan bisa melawanku hanya karena satu tembakan."

"Begitu, ya. Selama ini, bidikanku tidak pernah gagal," ujar Regina sembari mengarahkan pistol ke asal suara itu.

"Bolehkah aku tahu siapa namamu?" tanya sosok itu.

"Apa nama sebuah penting?"

"Tentu saja. Mungkin kita ditakdirkan."

"Namaku Regina," jawabnya tanpa kehilangan konsentrasi.

"Aku Jay."

"Aku enggak peduli siapa namamu." Ketika pelatuk ditekan, Jay tiba-tiba melesat ke arah belakang Regina.

"Kemana kamu mau menembakku?" ujar Jay. Regina membalikkan badan. Ia menggunakan kakinya untuk menendang, tetapi sia-sia. Jay berhasil mengacaukannya.

"Kamu mencoba mempermainkanku!"

"Kamu mungkin hebat, tetapi tidak bisa hanya mengandalkan kemampuan menembakmu saja."

"Kamu tidak akan lolos kali ini." Regina menekan pelatuk. Ia menduga telah berhasil. Sayang, Jay terlalu lincah untuk ia lawan.

"Sudah kubilang, kamu tidak akan menang melawanku."

"Kamu terlalu meremehkanku." Regina melepaskan bajunya hingga memperlihatkan tanktop berwarna abu-abu. Karet yang berada di pergelangan tangan mengikat rambutnya dengan gerakan cepat. Semangatnya berapi-api.

Jay begitu tenang, tak menimbulkan suara. "Di mana dia? Tidak mungkin ia kabur. Dia pasti berusaha untuk mengecoh. Aku harus tenang," batin Regina. Dia menarik nafas dalam-dalam, lalu membuangnya. Sepuluh menit telah berlalu, tak ada pergerakan dari Jay.

"Sebenarnya dia mau apa sih?"

Regina dibuat bingung. Jay hanya ingin mengacaukan konsentrasi Regina. Biasanya, manusia tak bisa menunggu lebih lama, jika lebih dari sepuluh menit. Namun, lima belas menit telah berlalu, Jay mengapresiasi kegigihan Regina.

"Jika dilihat dari gerakannya tadi dan taktik yang ia miliki, tak mungkin ia menyerah, kecuali ia menggunakan kesempatan ini untuk membuatku lengah. Saat aku berpikir pertarungan berakhir, saat itu juga aku mengira bahwa dia menyerangku tiba-tiba, yang membuatku bingung, kenapa dia menggunakan teknik ini? Atau mungkin peluru yang ada di pistolnya tersisa satu saja?" pikir Regina.

"Aku tahu kamu masih disini dan pelurumu tinggal satu. Kalau tidak tinggal satu, kamu tidak mungkin menggunakan cara yang bodoh. Aku tahu, kamu lebih suka menyerang terang-terangan dibandingkan bersembunyi seperti tikus. Keluarlah dan bersuaralah!"

"Lumayan juga nih cewek. Sayang, kita harus berhadapan sebagai musuh dan dia akan berakhir disini," batin Jay. Tepukan tangan Jay membuat Regina menoleh.

"Ternyata kamu di sana." Ketika pistol telah siap ditembakkan, Jay menyalakan korek api yang berada di saku celananya. Regina membelalakkan mata, tak percaya apa yang dilihatnya. Dia melihat bom waktu yang melekat pada tubuh Jay.

"Kenapa? Tembak saja, jika kamu mau, maka kita akan mati bersama-sama disini," kata Jay.

"Tak kusangka kamu hanyalah pria bertopeng yang licik, menggunakan bom sebagai pelindungmu. Aku tidak akan takut dengan bom itu," kata Regina. Sorotan kedua matanya tajam.

"Oh ya? Bagaimana kalau bom ini juga akan menghancurkan tuan mudamu itu?"

"Apa kau bilang?"

"Hahahaha…. Kalian semua akan mati," ujar Jay. Regina ingin menghajarnya habis-habisan.

Akankah hidup Regina berada dalam bahaya, jika waktu dari bom itu terus berjalan? Mungkinkah ia tak bisa menyelamatkan Keenan?

avataravatar
Next chapter