webnovel

Kontrak Perjanjian Dengan Creatif Publisher

Semburat senja menghiasi langit sore ini. Memancarkan sedikit silau dan rasa hangat yang menerobos ke sela-sela jendela dengan gorden yang terbuka.

"Lusi, besok editor dari Creatif Publisher meminta untuk bertemu denganmu."

"Oke. Apa kau sudah mengatur waktunya?"

"Sudah. Jam 8 pagi di Morning Cafe."

Gadis bernama Lusi itu memutar kursi kerjanya yang memiliki sandaran tinggi, persis seperti kursi para CEO yang bekerja di perusahaan besar.

"Kenapa harus pagi sekali, Keke? Apa kau ingin membuat kantung mataku menghitam?" Lusi membuang napas jengah.

Sahabat, sekaligus managernya itu selalu membuat jadwal di luar batas normal. Hampir setiap bertemu dengan orang-orang penerbit, Lusi selalu merasa kelelahan karena kurang tidur.

"Tidak, Lusi. Bertemu di pagi hari sangat baik untuk menjaga kewarasanmu. Lihat, kau sudah duduk di sini sejak pagi. Apa otakmu masih baik-baik saja?"

"Otakku akan selalu baik, selama kau memberi waktu istirahat yang cukup."

"Oke. Kalau begitu, lanjutkan saja. Aku akan mengurus pertemuanmu dengan editor selanjutnya."

Lusi mendelikkan bola matanya jengah. Mengapa Keke selalu berlaku sesuka hatinya?

"Sudahlah, Lusi. Kau tidak pantas untuk memberontak."

***

"Ayo, Lusi! Kita sudah hampir terlambat!"

Lusi menutup wajahnya dengan bantal untuk menghindari suara Keke yang menggema.

"Kenapa kau masih meringkuk di tempat tidur, Lusi? Ayo, kita sudah hampir terlambat!"

"Keke, apa kita tidak bisa mengatur pertemuan di lain hari saja?"

Keke menggelengkan kepalanya tegas. "Creatif Publisher adalah perusahaan penerbit yang sangat terkenal, Lusi! Naskahmu bisa diterima di sana saja sudah sangat beruntung! Ayo bangun! Aku akan menunggumu sepuluh menit lagi."

Lusi menutup wajahnya dengan selimut tebal. Kepalanya terasa sangat sakit karena efek dari kurang tidur dan menatap layar laptop semalaman.

Berprofesi sebagai seorang penulis bukanlah hal yang mudah. Awalnya ia mengira, kalau para penulis hanya seseorang yang tidak pernah mendapat masalah namun dibanjiri bayaran yang fantastis.

Namun setelah Lusi terjun ke dalamnya, kini ia bisa merasakan bagaimana nasib penulis ketika harus mengejar deadline dan berburu agar buku-buku mereka bisa diterbitkan.

Setelah siap dengan setelan kemeja dan celana bahan senada, Lusi mencoba untuk merias wajahnya sendiri.

Ia tidak cukup mahir dalam menggunakan alat rias seperti pensil alis, eyeliner dan alat pencukur rambut alis. Lusi hanya tahu cara membubuhkan bedak dan mengoleskan lipstik.

"Lusi!"

Agh, sial! Teriakan Keke sungguh mengacaukan semuanya. Lihat, kini lipstik yang tengah ia oleskan secara hati-hati justru malah melenceng hingga menerebos batas bibirnya.

"Keke, apa kau gila!"

***

"Kau sudah mengaturnya selama sepuluh kali. Apa masih ada yang kurang?"

"Diam, Keke. ini semua karena kesalahanmu. Aku tidak ingin meninggalkan kesan buruk di depan editor nanti. Siapa tahu, dia adalah seorang laki-laki dan tertarik denganku."

Keke menyunggingkan senyum miring sembari menggeleng. "Kau sudah berusia berapa, Lusi? Apa kau tidak ingin mencari laki-laki lain saja? Daripada harus berharap kepada para editor yang faktanya seorang gadis?"

Lusi menyimpan kembali lipstiknya ke dalam tas. Ia merasa kalau apa yang Keke katakan sangat masuk akal. Selama ini ia hanya berharap kepada para editor yang melayani naskahnya.

Setiap bertemu dengan perusahaan penerbit, Lusi selalu berharap bahwa mereka adalah sosok pria lajang yang kelak akan jatuh cinta padanya.

Namun semua harapan itu tidak ada yang terealisasikan satu pun.

"Keke, apa menurutmu aku sudah pantas untuk menikah?"

"Ya. Apa yang perlu kau tanyakan? Usiamu sudah tidak lagi muda. Lihat teman-temanmu yang lain, apa mereka sudah menikah?"

Lusi mengangguk pelan dengan tatapan lurus ke depan. "Bahkan ada yang sudah memiliki anak" jawabnya sembari meringis di akhir kalimat.

"Sudahlah. Aku selalu mencemaskan ekspresi wajahmu ketika membicarakan tentang pernikahan. Sekarang yang perlu kau lakukan hanyalah menyiapkan mental, siapa tahu naskahmu akan dihina seperti kemarin."

Lusi jadi teringat akan peristiwa dua hari yang lalu. Di mana naskah yang ia buat dengan susah payah dihina oleh para atasan dari perusahaan Eco Publisher.

Gadis itu menghela napas ketika mengingat kejadian mengenaskan itu. Banyak kata-kata tidak pantas yang mereka lontarkan. Apa mereka tidak tahu, kalau Lusi membuat naskah itu semalaman?

"Sudahlah. Kita sudah sampai. Ayo turun, dan jangan pasang wajah masam!"

Hal yang pertama kali Lusi rasakan ketika turun dari mobil adalah udara segar dengan dan suara kicauan burung yang menyejukkan. Ia menutup kedua mata sembari menghirup dalam-dalam udara pagi yang tidak pernah ia sentuh semenjak menjadi seorang penulis.

"Keke, apa ini yang namanya hidup?"

"Ya. Bagaimana?"

"Aku merasa dilahirkan kembali."

Keke menarik lengan Lusi yang tengah bergumam dengan fantasinya. Mereka sudah terlambat. Jika gadis dangkal itu terus-terusan berdiam sembari bergumam, mungkin klien mereka akan pergi dan tak ingin mengurus kembali naskah milik Lusi.

"Selamat pagi. Maaf kami sedikit terlambat."

"Tidak apa-apa. Silakan duduk."

Jantung Lusi berdetak sangat kencang. Ia berkali-kali menekan urat nadi di pergelangan tangannya untuk memastikan denyutnya masih normal.

"Jadi, naskah yang berjudul Para Pencari Cinta ini adalah naskah dari Nona Lusi?"

Lusi mengangguk. "Naskah ini saya siapkan sejak dua bulan yang lalu. Hanya saja saya baru berani memasarkannya sekarang."

"Saya sudah membaca beberapa potongan naskah yang dikirim oleh manager anda. Dan menurut saya, naskah Para Pencari Cinta ini cukup menarik. Hanya saja ada beberapa kata dan penulisan yang harus diubah."

Lusi tersenyum. Tangannya merayap mencari tangan Keke untuk digenggam.

"Apa kamu siap, jika naskah ini dirombak habis-habisan?"

Senyum di wajah Lusi sedikit memudar. "Ma... maksud Bapak?"

"Tim editor kami akan menghilangkan beberapa kisah yang tidak diperlukan. Seperti adegan panas yang ada di dalamnya. Karena bagaimana pun juga, naskah milik anda ini sudah siap untuk dipasarkan. Yang kelak, para pembacanya tidak hanya dari kalangan orang dewasa."

Lusi menoleh pada Keke yang sudah mengangguk tanda setuju. Hatinya sedikit tidak rela, jika harus melihat naskah yang sudah ia siapkan selama berbulan-bulan harus di sunat habis oleh para editor.

"Bagaimana?"

Dengan sangat terpaksa, Lusi akhirnya mengangguk setuju. "Saya setuju. Yang terpenting, kisah asli mereka tidak boleh hilang sedikitpun."

"Baik. Ini berkas kontraknya, silakan kalian baca dulu."

Lusi dan Keke membaca isi dari perjanjian di dalam kontrak. Pembagian hasil adalah hal yang paling penting dalam hidup Lusi.

"Keke, bagaimana menurutmu?"

"Pembagian hasil ini cukup memuaskan."

"Untuk pembagian hasil, kami akan menerima sebanyak 50 persen, dan Lusi 50 persen. Tentu saja dengan potongan pajak 10 persen. Jadi, hasil yang kalian terima adalah 40 persen."

Lusi tersenyum sangat puas. ini adalah pembagian hasil yang cukup besar. Di tempat lain, ia hanya menerima 20 persen dan 30 persen paling tinggi.

"Baik. Saya setuju" ujar Lusi dan langsung menandatangani kontrak perjanjian.