webnovel

menuju asteria, negeri para peri

Ini adalah lima belas tahun terburuk dalam hidupnya. Setidaknya itulah yang Varrel renungkan sejak beberapa jam yang lalu.

Diusir dari rumah karena masalah yang ditimbulkannya. Harus pindah sekolah dan bahkan juga tinggal bersama neneknya di desa.

Bukan kesalahannya kalau Varrel memukul wajah anak sombong itu dan bagaimana dia tahu kalau masalah akan membesar ketika pihak orangtua bersekongkol untuk menendangnya dari sekolah karena sifatnya yang berani (barbar).

Lalu ibunya yang seorang single parent super sibuk akhirnya juga ikut menendangnya untuk tinggal bersama sang Nenek. ' Varrel harus belajar sopan santun dari nenek.' begitulah kira-kira kutbah yang dikatakan ibunya pada suatu hari sebelum hari kepindahannya. Terkadang Varrel berpikir ibunya sebenarnya benar-benar ingin menyingkirkannya dari hidupnya. Yah... siapa yang menginginkan seorang remaja pembangkang sepertinya.

Seperti itulah... Varrel akhirnya tinggal di desa yang menurutnya super pedalaman (karena sinyal disini cuma satu bar), yang rupanya masih termasuk dalam wilayah Indonesia yaitu di pinggiran kota Purwokerto. Pernah dengar? Atau tidak? Ya, pokoknya masih dalam wilayah Indonesia, kan?

Butuh waktu setengah jam dari kota Purwokerto dengan mobil sedan ibunya, yang pertama terkesan oleh Varrel tentang desanya adalah pegunungan dan bukit-bukit (Varrel bahkan mendengar bahwa dia akan di pindahkan di sekolah yang terletak di salah satu bukit itu). Benar-benar seperti tipikal desa di Indonesia yaitu persawahan dan pemandangan yang super asri. Rumah neneknya berdiri di paling ujung desa sendirian, masih terlihat seperti rumah tradisional jawa dan berbatasan dengan sebuah hutan dan sebuah bukit.

Varrel pernah mencarinya di internet kalau kota Purwokerto itu super panas layaknya Jakarta. Akan tetapi, desa tempatnya tinggal ini lumayan sejuk. Mungkin desa ini seperti Bogornya Purwokerto.

Ibunya hanya mengantarnya sekilas, seperti yang Varrel jelaskan di atas, ibunya bahkan sudah mengurus kepindahannya di sekolah bukit itu (dia merasa menjadi Nobita). Neneknya yang masih terlihat muda dan seseorang wanita parubaya menyambutnya dengan senang. Ya, terlihat terlalu senang, karena ini adalah kali pertamanya sejak dia masih bayi mengunjungi tempat itu dan akan tinggal lama.

Kemudian... belum genap satu hari penuh dia tinggal di tempat itu, tiba-tiba tubuhnya mengecil layaknya manusia mini. Entah ini kutukan sebagai anak yang kurang ajar atau apa, yang jelas sekarang Varrel merasa dia menjadi salah satu tokoh dalam cerita dongeng yang sering dia tonton dan baca.

Gulliver's Travels. Varrel seperti akan mengalami kisahnya, perbedaannya dia adalah manusia mini tak berdaya yang mempertaruhkan hidupnya untuk sebuah perjalanan yang terpaksa dia lakukan ke negeri Asteria, negeri yang katanya tempat para peri tinggal. Mau dipikir ribuan kalipun ini terdengar sama sekali tidak masuk akal.

Tuhan... jika aku mimpi tolong segera bangunkan aku.

"Hei, kau baik-baik saja? Kau tidak menjadi gila, kan, gara-gara terlalu lama menjadi mini. Jangan katakan otakmu menjadi benar-benar mini secara fungsional."

Varrel benar-benar ingin mengunyah peri yang sedang dengan santainya terbang di hadapannya itu. Dia gila karena sudah terlalu lama jalan kaki.

Varrel menghela nafasnya. Kini mereka sudah berada di luar rumah neneknya, lebih tepatnya di rerumputan depan rumah itu. Suasananya sangat sangat sangat berbeda kala Varrel masih menjadi manusia normal dan pada waktu siang hari. Rumput-rumput itu bahkan kini terlihat sangat suram dan menakutkan.

"Peri, berapa jarak dari rumah nenekku ini dengan negerimu?" Varrel mengatur nafasnya. Dia duduk di sebuah batu. Demi janggut neptunus, Varrel benar-benar kehabisan tenaga. "Jangan bilang letaknya setelah di bintang kedua dari kanan, lalu lurus sampai pagi."

"Kau ngomong apasih?"

"Aduh, jawab sajalah..." Peri itu pasti bukan dari Neverland.

"Tiga puluh menit lagi perjalanan dengan sayap ini. Kalau ditambah dengan cara berjalanmu yang seperti siput itu, mungkin kita akan sampai di sana saat matahari terbit."

"Astaga!" Varrel mengacak rambutnya frustasi. "Kurasa aku benar-benar akan gila."

"Ckckck. Berapa, sih, umurmu? Ini adalah pertama kalinya aku bertemu dengan manusia yang suka sekali merengek begitu." Karhu menatap Varrel dengan miris. Sebenarnya semua manusia terlihat menyedihkan di matanya. Namun, Varrel benar-benar terlihat berkali-kali lipat sangat menyedihkan di hadapannya saat ini. Lihat saja tampilannya, seperti peri buangan.

"Woy peri bodoh, kau tahu apa, heh? Aku tidak sedang merengek tahu, aku sedang berusaha menjernihkan pikiranku tentang semua keabsurdan ini. Dan soal umur aku yakin aku lebih tua darimu jadi sebaiknya kau lebih sopan padaku."

"Yah... aku yakin itu. Wajahmu juga terlihat tua begitu." Karhu mengangguk tak peduli.

"Apa? Tua! Tarik kembali ucapanmu, umurku baru lima belas tahun, bodoh."

Karhu melotot, pura-pura terkejut. "Kalau di Asteria seharunya kau sudah punya selusin cicit."

Varrel langsung mengambil beberapa batu kecil dan melempari peri di depannya itu.

"Jangan lakukan itu, manusia. Nanti terkena sayap berhargaku." Karhu segera terbang menghindar.

"Bodo."

"Oke, oke, cukup, aku hanya bercanda. Jangan lempari lagi." Karhu menutupi wajahnya. Hampir saja salah satu kerikil mengenai wajahnya, akan sangat gawat kalau hal itu terjadi. Kaum peri sangat memuja visual. "Baiklah, akan kubantu kau agar tidak terlalu lama sampai ke Asteria."

Varrel menghentikan aksinya. Dia menatap Karhu dengan alis terangkat.  "Ah, kenapa nggak dari tadi?! Buang-buang tenagaku saja."

Karhu menghela nafasnya. Sial! Dia benar-benar bisa mati muda. Belum saja sehari dia bersama manusia ini, dia sudah lelah begini.

*

Karhu mengambil sesuatu dari tas daunnya.

Jangan bilang itu gulungan sulur lagi, apa dia berniat menyeretku sambil terbang. Begitulah kira-kira yang dipikirkan Varrel. Akan tetapi, Karhu ternyata mengeluarkan sebuah potongan batang tanaman? Entah itu tanaman padi atau apa? Yang jelas setelah itu Karhu meniupnya layaknya peluit.

Suaranya cukup nyaring. Varrel bahkan secara refleks menutup telinganya.

Lalu hening. Hanya terdengar suara serangga malam di sekitarnya. Ngomong-ngomong soal serangga, kini tubuh Varrel mini tentu saja serangga itu mungkin lebih besar darinya. Bagaimana kalau serangga-serangga itu menghampiri mereka dan menganggap mereka makanan? Memikirkannya saja membuat Varrel ngeri.

"Hei, apa yang kau lakukan?" tanya Varrel akhirnya.

Karhu terdiam sambil memandangi atas.

"Memanggil bintang jatuh, eh?" Varrel ikut mendongak ke atas. Namun, bukannya bintang jatuh, sepasang cahaya bulat nan terang menukik cepat kearahnya.

"Gakhhhh!" Varrel menjerit hingga jatuh terjengkang.

Seekor burung hantu mendarat dengan sadis di hadapannya. Sambil menutup matanya, kedua tangan Varrel bergerak mengusir burung yang bahkan bingung melihat tingkahnya.

"Jangan makan aku! Aku terkena virus mematikan, tidak sehat untuk dimakan!" Apakah ini rasanya akan diterkam burung pemangsa?

Jantung Varrel serasa ingin copot.

Karhu tertawa terbahak.

Karena tak terjadi apapun dan malah mendengar tawa Karhu, Varrel akhirnya membuka matanya.

Burung hantu jawa besar itu berdiri di hadapannya dengan matanya yang lebar. Hanya berdiri tak melakukan apapun, bahkan sama sekali tak tertarik padanya. Karhu mendekati hewan itu, lalu mengelus bulu di lehernya dengan akrab layaknya majikan dan peliharaannya.

"Ah, sialan!" Varrel kena prank.

Setelah menetralkan detak jantungnya, Varrel segera berdiri dan mengusap bokongnya yang kotor. Tadi, dia terjengkang dengan posisi yang sangat konyol banget pasti. Untung saat ini gelap, kalau tidak, Varrel yakin wajahnya pasti sudah semerah tomat.

Menahan malu, gadis itu menyilangkan kedua tangannya di depan dada. "Jangan bilang kau menyuruhku untuk menaiki makhluk ini?"

"Kenapa? Kau takut dimakan?" Karhu tersenyum miring. Dia menatap Varrel dengan mengejek. "Jangan khawatir, kau terkena virus dan tidak sehat, Inatra tak mungkin memakanmu."

Grrrr. Kalau Varrel tak mempunyai dada yang lapang, Varrel benar-benar akan mencincang peri itu. Sabar Varrel, sabar...