webnovel

Lord Perdien

Eden Langford, seorang pria tampan yang sebenarnya tidak tahu dirinya berasal dari ras mana. Namun, Eden tumbuh besar di kampung penyihir golongan hitam, Monquila. Ia adalah satu-satunya warga Monquila yang memiliki warna rambut putih keperakan, sedangkan warga lainnya berambut hitam legam. Itu menunjukkan bahwa mereka memang seorang penyihir dari golongan hitam. Eden dibesarkan oleh seorang nenek penyihir dari golongan hitam, tapi nenek itu sangat baik kepada Eden. Meski Eden memiliki tampilan yang berbeda dengan warga Moquila yang lain. Itu menunjukkan bahwa sebenarnya Eden memang bukanlah berasal dari golongan penyihir golongan hitam. Hari ini, untuk pertama kalinya Eden keluar dari kampungnya. Desa Monquila terletak jauh di dalam Hutan Fotia. Tak ada yang bisa menembusnya selain warganya sendiri. Namun, ketika keluar dari kampungnya, Eden mengalami hal-hal aneh. Itu juga yang mengantar dia ke suatu tempat asing bernama Lembah Kabut. Dan Eden bertemu dengan seorang gadis cantik di sana. Semua berawal dari Lembah Kabut itu. Kisah asmara Eden dan seorang gadis yang berasal dari golongan manusia biasa. Mampunya Eden terus menyembunyikan identitas bahwa dia berasal dari Dunia Penyihir?

Zanaka · Fantasy
Not enough ratings
5 Chs

Menyesal

Eden tercekat. Jantungnya seolah merasakan tikaman yang beberapa saat tadi dihunjamkan pada jantung Ethan.

"Kau baru saja membunuh saudara kandungmu, Pangeran," ucap wanita tadi seraya menunjuk-nunjuk Eden.

Eden menggeleng tak percaya. "Ini mustahil. Kau hanya coba memperdayaiku, kan!!"

Eden mengangkat pedangnya ke udara.

Crat!!

Darah muncrat dari leher sang wanita ahli nujum tadi. Eden menebas leher wanita tua yang sudah membuatnya merasa bingung.

"Itu benar, Putraku!"

Sebuah suara parau tiba-tiba terdengar.

Eden berbalik, terkejut mendapati sesosok wanita dengan rambut putih serupa warna rambutnya saat sebelum botak. Wanita itu cantik, wajahnya nyaris persis dengan Ethan.

Air mata tampak menitik di kedua sudut mata Ratu Aria. Ia mendekat ke tubuh sang putra, Ethan, yang telah terbujur kaku.

Diraihkanya tubuh kaku itu dan mendekapnya, begitu erat.

"Ini semua salahku. Maafkan aku. Jika saja aku tak mempercayai kutukan itu, dan mampu mengurus kalian berdua sejak lahir. Ini semua tidak akan pernah terjadi," isak Ratu Aria penuh penyesalan.

Pandangan Ratu Aria beralih pada Eden yang masih berdiri membatu tak jauh darinya.

"Aku sungguh minta maaf, Putra-Putraku. Maafkan aku yang telah melahirkan kalian untuk mengalami takdir kejam semacam ini. Seharusnya kalian tahu kebenaran ini lebih awal. Aku tidak bisa merawatmu di istana juga seperti kakak tertua dan saudara kandungmu. Tetapi ...."

Eden seolah tak dapat mendengar apa-apa lagi. Mendadak saja pandangannya memburam, lalu sedikit demi sedikit berubah gelap. Kedua mata Eden terpejam.

***

Saat kembali membuka kedua mata, Eden tengah memperhatikan jalan masuk menuju kota Aragon. Tubuhnya berkeringat dingin, napasnya tersengal dan jantungnya berdetak sesak. Penyihir tampan ini terbatuk-batuk. Shock mendapati masa depan yang baru saja disaksikan melalui kemampuan tersembunyinya. Itu artinya, mendatangi kota Aragon adalah pilihan yang salah.

"Lebih baik aku kembali," ucap Eden seraya berbalik.

Di tengah perjalanan menuju kepulangannya kembali ke desa Monquila, Eden berpapasan dengan Ethan dan Ratu Aria yang tampak tengah bergandengan tangan mesra. Membuat dadanya berdesir nyeri. Berharap bahwa ia bisa berada di tengah-tengah mereka. Akan tetapi, takdir tak bisa diubah. Kutukan itu tak boleh sampai terjadi.

Jadi, Eden hanya terus berjalan lurus. Mengabaikan eksistensi Ratu Aria dan sang saudara kembar yang sejak dulu selalu dianggapnya sebagai saingan berat. Tanpa sadar, bahwa Ratu Aria, sang ibu, menatap punggungnya penuh damba.

Jika aku bisa memilih, akan lebih baik bila aku saja yang mendapatkan kutukan itu. Batin Ratu Aria menahan lara. Itulah sebabnya dia tidak bisa terlalu memanjakan Ethan selama ini. Ratu Aria malah terlihat lebih sayang pada anak pertamanya, Pangeran Alpha.

Terkadang, tak semua kebenaran yang berbekal kebahagiaan mampu kita raih. Walaupun kita ingin. Jalanilah takdir yang sudah digariskan. Kau hanya perlu menjalani hidup sebagai dirimu saat ini. Sekalipun itu menyakitkan.

Eden tersenyum miris karena melihat masa depan yang terlihat tadi. Namun, di tengah perjalanan menuju kembali ke desanya, Eden tertarik pada suatu hal.