webnovel

Little Witch And Her Books

Levina Brezard, penyihir yang menyukai buku. Dia tidak berniat melakukan aktivitas selain dari membaca buku. Waktu berlalu dan tibalah saat pendaftaran Akademi bagi siswa baru. Karena ajakan temannya, Dia mendaftar pada sekolah terkenal tertentu. Dia tidak sabar menjelajahi buku yang tersedia di akademi itu. Bagaimanapun, ada saja hal-hal yang menghalanginya. [Not Oh-so-Romance Story 'key?] --------- 2022 ---------

Dyooner · Fantasy
Not enough ratings
17 Chs

Chapter 11 : Results From The Battle

Ruangan yang tenang, dengan angin melambai berlalu pelan. Duduk di kursi adalah Levina, pupil matanya yang biru gelap bergerak-gerak menyusuri kata demi kata dari buku yang terbuka di tangannya. Dia seperti memiliki momennya tersendiri dalam ruangan itu.

Selembar halaman dibalik dengan tenang.

Tak jauh dari tempatnya, terbaring gadis dengan rambut emas terang. Kelopak matanya tertutup dan tidak menunjukkan tanda-tanda bergerak. Sementara itu, nafas yang keluar darinya berhembus secara teratur dan stabil.

Permukaan wajah Allya memiliki beberapa bekas luka yang kecil, layaknya goresan tipis yang sengaja tidak ditekan. Akan sulit terlihat jika seseorang tidak melihatnya dari dekat. Untungnya, selain dari luka halus itu, dia tidak memiliki luka yang parah. Tetap saja, keadaan tak sadarnya juga tidak membuat keadaan lebih baik.

Levina menyandarkan punggungnya tanpa mengalihkan mata dari buku di hadapannya. Nafasnya berhembus dengan teratur. Kecuali bau ruangan yang cukup bisa diabaikan, dia berada dalam posisi cukup nyaman.

Tempat ini cukup bagus. Di sini tenang.

Gemerisik dedaunan terdengar dari luar. Kemudian --

"Ahh!"

Lengkikan suara tak bermartabat terdengar dari ruangan sebelah.

Tidak, biar kutarik kembali. Disini tidak tenang.

Memang sudah bisa ditebak. Bagaimanapun tempat ini adalah ruangan perawatan. Ada banyak selain dia disini. Suara tak bermartabat tadi contohnya. Dia adalah salah satu yang dibawa ke sana karena luka.

Levina menghela nafas pelan, dia melirik ke samping sekilas. Dia menggelengkan kepalanya ketika dia kembali mengalihkan perhatiannya pada buku.

Lupakanlah, akan lebih bijak untuk mengabaikan suara itu. Tapi, nada suara sebelumnya cukup keras dan menganggu. Seolah membuktikan hal itu, gerakan samar muncul di sampingnya. Terdengar suara erangan, mirip gumaman dengan nada bingung.

"Huh ... Di mana ini?" Allya mengerjap-ngerjap matanya sementara pikirannya masih kabur dan belum terkumpul baik.

Levina meliriknya yang masih linglung. " Kau tak apa-apa? Kau berada di ruang perawatan."

Allya menggoyangkan kepalanya dan bangun. Dia menatap orang di sampingnya dengan terkejut, sepenuhnya terbangun.

"Vi-na? Kau Levina?"

Levina menatapnya dengan datar. Mengembalikan tatapannya ke buku, pura-pura sibuk membaca.

"Tidak, kau salah orang."

Allya tertawa kecil. "Kau memang Vina."

Dia mengatur duduknya. Kepalanya memandang sosok pembaca buku di sampingnya.

Dia terlihat nyaman duduk di sana.

"Ngomong-ngomong apa yang kau lakukan disini?"

Levina mengerutkan kening dari tempat duduknya.

"Itu salah, seharusnya itu aku yang bertanya. Apa yang sudah kau lakukan sampai masuk ke ruangan ini?"

"Itu karena ...," dia menghentikan bicaranya sejenak.

Allya memiringkan kepalanya ketika berusaha mengingat sesuatu. Tiba-tiba tangannya menyentuh bagian samping kepalanya, meraba-raba kepalanya.

Dia berkata dengan bingung, "tidak ada luka?"

"Apanya yang tidak terluka?" tanya Levina sekarang menatapnya.

Allya memegang kepalanya dan meringis ketika menekannya. Sepertinya ada benjolan disana. Dia berkata dengan ringan,  "ak! Ternyata ada luka disini! Kelihatannya gara-gara batu tadi."

"... Batu?" kata Levina dengan heran.

Ada apa gerangan dengan si batu?

Melihat temannya bingung, Allya memulai penjelasannya.

"Oh itu, sebenarnya ketika pertandingan tadi, aku membuat sebuah dinding di depanku hancur. Lalu bomm! pecahan dinding itu mengenaiku. Haha, hari ini aku tidak beruntung ya?" Allya menceritakannya dengan ekspresi yang dilebih-lebihkan. Dia mengangkat tangannya ketika menggambarkan adegan ledakan di pertandingannya.

Levina berkedip-kedip.

"... Begitu ya. Baguslah kepalamu baik-baik saja."

"Haha, makasih ucapannya." Allya menyengir lebar di atas ranjang.

Kelihatannya dia baik-baik saja.

Sejujurnya Levina tidak mengerti apa yang temannya coba gambarkan dengan gerakan tangan itu.

Allya membuat dinding tanah di depannya, sementara batu mengenai kepalanya.

Mari kita lihat, Hempasan tangan itu mungkinkah menggambarkan ledakan? Gerakan lingkaran, itu pasti ukuran batunya? Tanah-Tidak. Apa maksud gerakan menusuk itu? Allya, mengapa kau menggoyang kan kepalamu seperti itu? Bukankah kepalamu sakit karena kena batu ya?

Begitulah Allya dan isyaratnya menggambarkan riwayat dirinya mengalami kejadian itu. Meski, Levina nggak begitu mengerti isyaratnya

Allya bisa mendapat goresan-goresan itu. Jika dilihat-lihat, selain dari goresan plus benjolan di kepalanya, tidak ada masalah padanya.

Apa yang membuatnya cukup kaget adalah orang yang melawan Allya. Dia sadar kemampuan temannya itu setidaknya di atas rata-rata anak-anak lainnya. Dia pasti mendapat lawan yang memiliki kemampuan yang hebat.

Levina bertanya ketika usaha penggambaran Allya telah selesai.

"Pertandingan itu, apa kau menang?"

Allya menggelengkan kepalanya. "Nggak sih. Pertarungan sebelumnya aku lalai dalam pertahanan ku. Padahal elemenku berorientasi pada pertahanan, tapi aku malah begini. Tapi tenang saja, yang berikutnya aku akan menang!"

Sepertinya dia menemui lawan yang kuat dan tidak beruntungnya pecahan batu mengenai kepalanya.

Berikutnya ya?

Dia menatap benjolan pada kepala Allya. Dia benar-benar tidak beruntung.

Allya menyentakkan kepalanya ke Levina dengan cepat. "Kau bagaimana? Apa ada pertandingan di kelasmu?"

"Ya, ada. Kemarin." Levina mulai membalik kertasnya sekali lagi.

Allya tertarik. "Bagaimana jadinya? kau menang atau kalah?"

Mata birunya terhenti sesaat, dia menjawab dengan nada samar keraguan.

"Kurasa ... aku menang?"

Setidaknya itulah, berdasarkan aturan.

"Sudah kuduga." Allya mengangguk-angguk.

Disatu sisi, Levina tidak merasakan adanya kesenangan atau rasa lencapaian. Bagaimanapun, itu hanya sebuah pertandingan. Jika bukan karena hukumannya, dia tidak mempunyai minat ke dalamnya.

Dia menatap Allya dan dirinya.

Mereka mendapatkan beberapa luka. Dia mengingat percakapannya dengan Gargon sebelumnya, sejujurnya pembicaraan itu bukan sesuatu yang bisa dikatakan bagus, juga bukan sesuatu yang buruk. Hasilnya masih tidak jelas.

Penjelasannya pun masih samar, dia mengingat bahwa gurunya tidak memberitahunya secara detail, hanya garis besarnya. Informasi yang dia miliki tidak cukup untuk mengetahui maksud sebenarnya.

Pertarungan ini tentu memiliki sebabnya tersendiri, Gargon mengatakan itu sebelumnya.

Dia mengetahui satu hal. Ada perubahan baru untuk akademi ini.

Levina mengedipkan matanya.

"Allya, kenapa kau mencariku kemarin?"

Allya yang hendak bangkit, memiringkan kepalanya. Senyum ringan datang darinya.

"Ah itu? Tidak ada, aku sudah mendapatkannya." Kemudian Allya melanjutkan, "yah, sebenarnya aku hanya ingin mencarimu. Aku merindukanmu selama ini."

Allya tersenyum lebar.

Kelihatannya dia tidak berminat menjelaskannya lebih lanjut. Jadi Levina hanya bergumam. Atau mungkin memang begitu saja alasannya. Allya adalah orang yang sederhana dalam perkataannya.

"Hmm."

Levina menutup bukunya, langit di luar mulai berubah warna. Melihat itu dia bangkit dari kursinya,

Ini sudah terlambat, mari kembalikan besok saja.

"Saatnya kembali ke asrama. Kau bisa berjalan kan?"

Jawaban Levina dijawab dengan lompatan Allya dari kasur. Dia berdiri dengan lurus, tak nampak seperti orang yang sakit.

Yah, secara keseluruhan dia baik-baik saja, satu-satunya yang mengkhawatirkan adalah benjolan di kepalanya.

Yah bagian itu juga nggak terlalu kelihatan.

"Ayo berangkat!"

"Tunggu!"

Itu bukan Levina.

Allya yang hendak keluar ruangan berbalik.

Duduk di belakang meja, perawat yang bertugas di sana mendorong sebuah botol kepada Allya.

Levina segera mengenali botol itu. Bersamaan dengan itu, dia memikirkan sesuatu, Ngomong-ngomong dimana dia menaruhnya?

Allya menatap botol  di depannya.

"Jangan lupa meminumnya."

Perawat itu menyodorkan botol itu dengan senyuman pada orang yang berkepala benjol.

Allya mengambilnya dengan rasa enggan.

Itu adalah botol obat.

Jelas bahwa kedua orang ini memiliki rasa penolakan pada benda tersebut.