webnovel

Putus!

Aku dan Kak Zeus saling menatap pandang. Bingung dengan maksud arah pembicaraan keadaan barusan. Jelas bahwa papanya Kak Zeus tidak tahu kalau hubungan kami sudah berstatus pacaran. Apa karena mantan-mantan Kak Zeus yang berasal dari kalangan high class or level, jadi saat Oom Malik melihatku tidak ada rasa kecurigaan yang berati saat melihat kami telah menjalin asmara?

"Makin tidak menyangka lagi, ternyata kamu mau akhirnya main ke sini, Ameera. Sepertinya Mamamu sudah menceritakan tentang kami."

Aku jadi semakin bingung. "Oom kenal mama aku?"

Oom Malik terdiam menatapku. "Oh, Mama kamu belum cerita, ya?" Laki-laki dewasa itu kemudian menggaruk dagunya yang tidak gatal. "Nah, kalau gitu. Ayo kita bicarakan sambil makan!" Oom Malik menggiring kami ke ruang meja makannya.

Aku tambah bingung saat melihat Mama yang sudah duduk di salah satu sisi meja makan. Mama tersenyum padaku. Ada apa ini sebenarnya?

"Duduklah!" Oom Malik mempersilahkan. Kami menurut saja dan duduk bersebelahan.

"Sebenarnya Mama sudah mau memberi tahu kamu perlahan-lahan, Ara," Mama membuka percakapan sementara Oom Malik duduk di sebelahnya. "Tapi kebetulan kamu mau kemari dan Nak Zeus yang ada waktu."

"Ada apa ini, Ma?"

Mama dan Oom Malik saling pandang, lalu Oom Malik mengangguk kecil. "Kami kenal sejak sebulan lalu dan rasanya tidak baik jika hubungan kami tidak diketahui oleh anak-anak kami."

"Hubungan?" tanyaku dan Kak Zeus bersamaan.

"Kami berpacaran," jawab Mama dengan pipi bersemu merah.

Ada luka yang tergores di hatiku waktu tahu saat Kak Zeus tidak bisa memberi tahukan masalah perihal hubunganku dengannya. Laki-laki itu hanya diam saja di depan orang tua kami waktu itu.

***

Otakku tidak bekerja secara maksimal dan rasanya semuanya menjadi kosong seketika. Sudah seharian penuh laki-laki itu tidak ada kabar untuk menghubungiku. Aku jadi harus menunggu senin depan untuk bisa bertemu dengannya di kampus, berhubung sekarang laki-laki itu juga tidak ada jadwal kegiatan pada hari Minggu di kampus.

"Ngapain, Lo?" Bang Nico mengernyitkan keningnya begitu melihat tubuhku berdiri di ambang pintu kamar apartemennya.

"Gua lagi bingung, Bang."

"Nggak ada urusannya sama gua." Laki-laki itu menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur. Wajah tampannya terbenam di dalam tumpukan bantal.

"Bang... Bantuin gua, dong?!"

"Ogah!"

Aku tersenyum. Sikap Bang Nico jadi jelek lagi semenjak adanya kehadiran Kak Zeus. Tapi aku urung juga mengganggunya. Aku sekarang sudah punya pacar, aku juga tidak mau ada yang menyentuh tubuhku selain Kak Zeus.

Aku turun untuk mengambil minuman dingin di dapur mini dalam apartemen abangku ini. Aku saat ini perlu sesuatu untuk mendinginkan masalah yang membaut pusing kepalaku.

Saat aku meneguk es teh yang sudah aku ambil dari dalam kulkas, tiba-tiba ponselku berbunyi melantun bunyi denting lonceng. Ada pesan baru masuk. Kakiku langsung lemas begitu membaca isi pesan tersebut.

Pesan itu dari Kak Zeus. Laki-laki itu minta putus dengan alasan mau mendukung setuju hubungan papanya.

Air mata tanpa izin langsung menyeruak keluar dari pelupuk mataku. Aku membekap mulutku, takut isak tangisku terdengar oleh Bang Nico. Aku langsung berlari hendak pergi dari apartemen Bang Nico.

"Woi!" Bang Nico menangkapku ketika aku hampir menabrak tubuh tegapnya. "Lo nangis?"

"Le-lepas, Bang!" pintaku di sela-sela isak tangisku.

Tak mengindahkan, laki-laki itu justru malah langsung mempererat cengkraman tangannya di lenganku. "Sini Lo!" laki laki itu menyeretku untuk masuk ke kamarnya.

"Bang, gua mau sendiri dulu untuk saat ini," cicitku kesal.

Laki-laki itu tetap memaksaku untuk masuk ke dalam kamarnya. Begitu pintu kamar tertutup, laki laki itu langsung saja memeluk tubuhku. Dia sama sekali tidak membuka percakapan, hanya membiarkan aku menangis dalam diam.

Tangannya yang besar membelai pelan kepalaku. Laki laki itu membiarkan tangisanku meredam dalam pelukan hangatnya.

Begitu aku puas menangis, aku duduk sambil memeluk bantal di atas tempat tidur Bang Nico. Laki laki itu juga tampak lebih memilih untuk duduk di kursi meja belajarnya sambil membaca komik.

"Bang..." panggilku

"Hemm."

"Gua putus sama Kak Zeus."

Bang Nico seketika berhenti membaca. Pandangan laki laki itu kini mengarah padaku. "Putus?"

Aku mengangguk kepala lemah. "Papanya Kak Zeus ternyata adalah pacarnya Mama."

"HAH?!?!?"

Aku diam. Ternyata Bang Nico juga sama tidak tahu mengenai hubungan Mama. Laki laki itu pun kini mengubah posisinya yang semula tengkurap menjadi duduk di atas tempat tidur. Wajahnya tiba-tiba berubah menjadi ekspresi serius, sehingga aku dapat melihat seperti ada sorot penuh tanya dari matanya. "Kemarin waktu gua lagi pergi main ke rumah Kak Zeus, ternyata ada Mama di sana."

Bang Nico hanya diam saja. Laki laki itu memasang pendengaran telinganya baik-baik, seperti akan takut ketinggalan informasi penting dariku.

"Mama bilang dengan gamblang kalau mereka ternyata sudah berpacaran dari sebulan yang lalu."

"Lha? Tapi Mama, kan, sudah tahu kalau Lo sama Zeus pacaran?"

Aku lagi-lagi hanya bisa menggelengkan kepalaku dengan lemah. "Gua belum cerita sama Mama, dan kayaknya Kak Zeus juga belum bilang apa-apa."

"Kok gua jadi kagak ngerti."

"Kemungkinan Mama mengira kalau Kak Zeus ke sini karena Kak Zeus sudah tahu Mama dan Papanya sudah pacaran. Mama kira Kak Zeus mau deket sama aku sebagai tanda setujunya dia dengan hubungan Mama dan Oom Malik."

"Oom Malik siapa lagi, dah?"

"Papanya Kak Zeus."

Bang Nico mengacak-acak rambutnya. "Kok jadi ribet?" tanya laki-laki itu tak mengerti. "Sekarang Lo nangis karena Zeus?"

Aku mengangguk. " Kak Zeus bilang minta putus dan mengakhiri hubungan kami. Dia mau dukung hubungan Papanya sama Mama."

"Ara!" Bang Nico menyebut namaku dengan tegas, membuatku seketika kaget. "Ayo kita jalan-jalannya!"

Seketika mataku terbelalak mendengar cara Bang Nico mengajakku dengan wajah serius dan nada memerintah.

***

"Gua anter!" Laki laki itu menyerahkan helm padaku yang masih duduk di meja makan dan menikmatinya sarapanku.

"Abang nggak sarapan?"

"Nggak laper."

"Nico, baiknya sarapan dulu," Mama muncul dari belakang.

Bang Nico tidak menjawab dan kentara sekali mengacuhkan kedatangan Mama, laki laki itu langsung saja pergi menuju garasi. "Aku juga mau berangkat sekarang," pamitku dingin. Aku sedang tidak mau berbasa basi lebih lama lagi dengan Mama untuk untuk saat ini. Melihat Mama, membuatku jadi teringat Kak Zeus yang memilih memutuskan untuk pergi dan mengakhiri hubungan kami.

Entah kenapa, timbul emosi egois dalam diriku. Sejak kemarin, aku jadi selalu bertanya-tanya, kenapa harus kami berdua yang mengalah? Kenapa Kak Zeus tidak mau mempertahankan hubungan kami? Apa selama ini Kak Zeus hanya main-main saja denganku?

"Pulang sekolah nanti, gua jemput," tambah Bang Nico saat aku tiba di depannya.

Kami berangkat ke kampusku bersama. Bang Nico tidak banyak bicara seperti biasanya. Tiga puluh menit menempuh perjalanan, akhirnya kami sampai di depan gerbang yang mulai terlihat.

Sialnya, mataku malah menangkap sosok laki-laki yang ingin rasanya aku hindari tengah berdiri di dekat gerbang kampus. Aku memeluk erat pinggang Bang Nico, ingin bersembunyi di balik punggung lebarnya.