webnovel

Aku Bukan Anak Kecil

"Bang... Ah, hah... Ta-tangannya haaa! Ah, hahahhh!"

"Lo alasan utama gua buat milih keluar dari rumah. Gua selalu nggak bisa buat nahan diri setiap kali ngeliat Lo mondar mandir di sana."

Aku jatuh bersimpuh. Cairan hangat terasa membasahi celana dalamku. Nafasku tersengal, terengah-engah. Aku jadi tidak bisa fokus melihat wajah Bang Nico dengan jelas.

Laki-laki itu juga ikut menyetara tingginya denganku, berlutut di depanku. Sesaat kemudian, laki-laki itu merangkul tubuhku untuk mendekap dalam pelukannya, dan membawaku ke atas tempat tidur.

"Kemarin, waktu akhirnya gua bisa dapet ngerasain bibir manis Lo ini, gua udah nggak bisa buat mikir jernih lagi. Rasanya bibir Lo ini selalu buat ketagihan. Cara Lo buat nanggepin dengan polosnya, buat gua ingin segala hal tentang Lo sepenuhnya."

"Bang... Ahhhhkk!" Aku mendorong laki-laki itu karena dia tiba-tiba menjilat-jilat area tonjolan buah dadaku. "Gu-gua belum siap!"

"Nikmati aja. Gua bakal ajari Lo pelan-pelan." Bang Nico tetap terus melanjutkan membuka sepenuhnya bra hitam yang melekat pada tubuhku. Lanjut memainkan buah dadaku dengan sabar. Laki-laki itu juga memilin tonjolan buah dadaku secara bergantian.

Aku tidak bisa untuk tidak menikmati sentuhan memabukkannya ini. Permainan Bang Nico sangat lembut, membuatku nyaman. Kenyataan bahwa laki-laki itu bukanlah abang kandungku entah kenapa membuatku menjadi sangat lega.

Bang Nico terus merayap turun, mencium permukaan perutku beberapa detik, lalu lanjut menyingkap rokku. Laki-laki itu menjilat area intim kewanitaanku yang telah ia singkat celana dalamnya itu.

"Aahh! Ah, hah! Bang! Ah, aaahhhh, hah.... Jangan... Aahh!"

"Suara Lo... Gua suka banget."

Jilatan Bang Nico pada inti vaginaku, membuat kepalaku sangat pening saking mantapnya jilatannya itu. Lidahnya terus menekan-nekan dan lanjut mengemut dengan nikmatnya.

Slruupp!! Slruupp!!

***

Aku kini tengah duduk termenung di dalam bus. Hampir tidak ada orang di dalamnya. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Sudah sangat terlambat sebenarnya dari jadwal jam malam yang Mama terapkan padaku selama ini. Tapi karena dari tempat Bang Nico, mungkin aku tidak akan kena marah.

Tanganku memeluk erat ransel yang ada di pangkuanku, seakan-akan aku kini tengah sedang membawa emas satu tas penuh dan takut jika akan ada orang lain yang ingin merampoknya. Tidak, tentu saja aku tidak punya emas sebanyak itu. Kalau pun aku harus takut, aku lebih takut pada manusia penjahat kelamin yang suka berkeliaran malam-malam begini.

Aku memandang ke arah belahan buah dadaku sendiri. Braku terasa agak menciut saat aku mengenakannya tadi.

Bang Nico memainkan buah dadaku lebih dari dua jam. Mungkin karena itu rasanya agak bengkak.

Setelah aku merasakan 'pencapaian kenikmatan' berkali-kali, Bang Nico tampak menahan diri. Laki-laki itu memintaku untuk pulang saja tanpa kami melakukan hubungan badan lebih jauh. Jika sampai ada seks penyatuan dua tubuh, aku rasa aku belum siap untuk sampai ke tahap itu.

Ahh... Ternyata rasanya nikmat sekali... Sedikitnya, aku jadi tahu apa yang dirasakan Citra waktu itu.

 ***

"Makan apa?" Zeus duduk di depanku saat jam makan siang di kantin yang ada dekat kampus. Saat itu, kantin tampak agak sepi, karena aku datang lebih awal berhubung jam mata kuliah dengan dosen itu di tiadakan.

"Soto, Kak," jawabku seadanya. "Kak Zeus tumben ada di sini? Mata kuliahnya bukannya lagi padet hari ini?"

"Udah beres kok. Terus ngeliat kamu jalan sendirian, kayak butuh pemimpin buat dampingi jalannya." Ucapan dari Kak Zeus seketika membuat semburat merah di pipi langsung muncul. Laki-laki itu benar-benar suka sekali berkata sok puitis. Tapi aku suka, gimana nih?

"Bukan itu, Kak!" aku mencoba protes dan pura-pura marah, eh, malah laki-laki itu bales dengan tertawa kecil. "Kan biasanya hari ini jadwal matkul (mata kuliah) Kak Zeus padet banget."

"Bolos. Gua lagi males masuk kelas dosen killer itu, mending cabut dulu untuk hari ini." Kak Zeus kemudian berpaling ke arah pedagang. "Bu, tolong mie ayamnya satu porsi, ya! Sekalian es teh!"

"Oke, Dik!" Si pedagang mengacungkan jempolnya ke arah Kak Zeus.

Laki-laki itu kini kembali lagi memfokuskan arah memandangku. Tidak peduli dengan kedua temanku yang juga baru datang dan berubah jadi sosok pendiam semenjak kedatangan laki-laki itu di meja kami.

"Kenapa, Kak?" tanyaku memecahkan keheningan.

"Mau jalan sama gua?" tanya laki-laki itu tiba-tiba.

"Uhuk! Uhuk!" aku dan teman-temanku langsung tersedak seketika.

Kak Zeus tertawa lagi. Tawa yang selalu bisa membuatku terus terpesona. Senyuman milik laki-laki itu amat sangat mengagumkan. "Pulang sekolah nanti, kita makan bareng, ya? Atau Lo lebih suka ke mall untuk beli baju?"

"Sa-saya nggak suka pergi ke mall!" sahutku cepat. Jadi ini sungguhan?? Kak Zeus ngajak aku ke Mall?! Mimpi apa laki-laki itu semalam sampe mau ngajak aku ke mall?!?!

Kami baru aja beberapa hari kenal, tapi laki-laki itu sudah berani sekali mengutarakan keinginannya. Apa laki-laki itu benar-benar tertarik padaku? Atau hanya cuma sekedar.... 

"Jadi, Kakak suka sama Ameera?" Stevani menanyakan pertanyaan yang tidak bisa keluar dari mulutku.

Laki-laki itu hanya menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. Mata laki-laki itu kini luruh menatap mataku. Tidak berkedip. Laki-laki itu seakan tengah mabuk kepayang padaku.

"Kenapa?" Nabila ikut bertanya.

"Harus ada alasannya kalau suka sama orang?" laki-laki itu kini balik bertanya. "Nggak tahu. Gua suka aja sama Ameera sejak pertama kali lihat dia baris di barisan paling belakang grupnya. Awalnya, sih, gua nggak yakin anak sekecil dia bisa bertahan lama di bawah teriknya matahari. Tapi lama kelamaan ngawasin dia jadi semacam kebutuhan tersendiri buat gua. Gua juga nggak bakal maksa Ameera buat jadi pacar gua sekarang juga. Gua mau Ameera kenal diri gua lebih jauh lagi."

Aku mematung seketika. Pernyataan dari laki-laki itu juga sama dengan mengejutkannya saat pernyataan Bang Nico kemarin. Kenapa sih, semua orang suka ngasih serangan jantung sama aku belakangan ini?!

"Mau aja, Ra," usul Stevani, di sambut dengan anggukan semangat dari Nabila.

"Tapi saya nggak boleh pulang lebih dari jam sembilan malam sama Mama."

"Nggak sampai malam, kok! Jam enam aja Lo gua pastikan udah sampai di rumah."

Yah... Tidak ada salahnya mencoba dekat dengan Kak Zeus. Kalau laki-laki itu orang baik, aku bisa saja meneruskannya hubungan ini ke jenjang berikutnya.

Lagi pula, sudah waktunya aku memiliki kekasih. Mengingat teman-temanku saja waktu SMA sudah merasakan punya pacar, dan ku rasa Mama juga akan setuju. Kan, aku juga sudah bukan anak ingusan SMA lagi, aku sudah kuliah. 

Hahhh... Setiap memikirkan Mama, aku jadi gundah. Aku tidak menanyakan atau pun memberi tahu apa yang Bang Nico katakan padaku malam itu. Aku tidak mau hal itu malah akan membuat beban untuk keluargaku lagi.