webnovel

Line

Terlahir cantik dengan deretan mantan di usia yang belum genap 22 tahun, bukan jaminan seseorang merasa bahagia. Sierra Salwa Nabila, justru menghadapi kehidupan yang rumit saat ia akhirnya jatuh cinta pada seorang pria cuek bernama Alfaro yang tanpa sengaja telah merenggut keperawanannya, disaat ia masih menjadi kekasih dari seorang pria tampan bernama Andre. Menyerahkan kesucianmu pada seseorang, bukan jaminan seorang lelaki akan tetap bertahan! Dalam keputus-asaannya, apakah pada akhirnya Nabila akan berhasil mendapatkan cinta Al? Memilih menyerah dan jujur pada Andre bahwa keperawanannya telah direnggut lelaki lain? Atau justru memilih sahabat lamanya yang tiba-tiba muncul menawarkan masa depan?

Kelipbintangkecil · Teen
Not enough ratings
4 Chs

Perjalanan

Tahun 2010 sudah memasuki awal bulan Agustus. Bukannya buru-buru, aku justru masih santai dan belum menyentuh lagi skripsiku yang kandas itu. Bagai bumi langit, Andre justru tengah sibuk menggarap skripsinya.

Mengingat ancaman DO sudah di depan mata, maka mau tidak mau, dia harus mengejar untuk bisa sidang semester ini.

Tentu DO adalah sebuah momok yang menakutkan bagi setiap spesies mahasiswa. Termasuk mahasiswa perantauan macam Andre yang seluruh biaya hidupnya masih di tanggung oleh kedua orang tuanya di Pontianak, termasuk biaya pacaran kami.

Sebagai pacar yang baik, tak jarang aku mau repot-repot menemaninya mencari data dan ikut bolak balik kampusnya hanya untuk memastikan semua keperluan sidangnya berjalan lancar.

Hingga akhirnya, hari yang di tunggu pun tiba. Pada pertengahan bulan Agustus, Andre akhirnya berhasil melaksanakan sidang skripsi. Dimana aku lagi-lagi hadir menjadi saksi betapa bahagianya ia hari itu. Aku ada, pada detik penting saat Andre keluar dari ruang yudisium dan resmi bergelar Sarjana Teknik.

Selamat Andre, akhirnya kamu lulus. Selamat juga untuk Nabila, karena telah berhasil lagi melalui hari-hari aneh entah untuk yang keberapa kalinya. Berpura-pura baik-baik saja, ketika sayatan itu masih terasa begitu perih setiap kali melihat Andre.

3 hari setelahnya, aku berangkat ke Bali untuk melaksanakan praktikum terakhir semester 6. Pukul 5 pagi mobil Andre sudah parkir didepan rumah. Dia tampak begitu gagah, seolah memang mendapat mandat dari Tuhan untuk mengantarkan dan memastikan aku duduk nyaman di bus yang sudah disiapkan kampus.

Nantinya kami akan mengkaji potensi pemasaran pada sektor pariwisata di Bali, walau ku tebak, kami pasti akan lebih sibuk foto selfie dan shopping ketimbang melakukan penelitian. Haram hukumnya melewatkan momen di praktikum terakhir, karena lain kali tidak akan bisa lagi.

Jam yang melingkar di tangan Alesha menunjukan pukul 7:57, artinya tidak lama lagi bus yang kami naiki akan segera berangkat. Sesekali aku memandangi Alesha yang masih sibuk memilah beberapa barang untuk dimasukan ke bagasi di atas kursi, lalu kembali melihat handphone, tanpa banyak membantu.

"Nggak sempit kan ya?" Tanya Ale. Aku menggeleng sambil pura-pura memastikan bahwa tempat duduk kami sudah nyaman. Dibawah kursi hanya tersisa 2 kantong plastik berukuran sedang berisi makanan, sementara sisanya sudah ia rapikan.

Ale emang agak OCD. Dia paling nggak bisa membiarkan sesuatu tidak berada pada tempatnya. Pokoknya, segalanya harus rapih. Anehnya, dia betah loh berteman sama aku yang terbiasa hidup berantakan. Selain mencintai kerapihan dan kebersihan, Ale juga baik hati dan dapat diandalkan. Biasanya, kalau aku sedang malas kuliah, aku sering titip absen ke Ale, dan ia tidak pernah keberatan. Ajaib.

Sayangnya, walau sudah berteman dari semester 1, bukan berarti aku tau segalanya tentang Ale. Aku bahkan tidak tau alasan kenapa sampai saat ini dia masih betah sendiri, setelah putus dari Aldo 2 tahun yang lalu. Padahal dengan muka Arab cantiknya, nggak akan susah buat Ale cari pacar.

Perpaduan hidung mancung dengan rambut ikal agak pirang sebahu, cowok mana sih yang nggak mau sama Ale?

Pukul 8 lewat 5 menit, bus yang kami naiki mulai bergerak meninggalkan parkiran, menuju gerbang keluar Kampus di jalan Setiabudi. Lalu bergerak ke arah tol dan , "Baliiiiii, we are coming!!!" aku dan Ale tersenyum senang.

Bis beberapa kali bergoncang saat berbelok, sementara Aku dan Ale masih mencari posisi nyaman agar pinggang tidak cepat pegal dan jidat tak terbentur kaca saat bersandar.

Tak lama setelah memasuki gerbang Tol Pasteur, Ale menunjukan foto seorang pria di hp nya, "namanya Wahyu, anak management keuangan. Tau ga?" Tanya Ale.

Aku menggeleng, "ganteng Le, mancung!"

Mata Ale seketika membesar dengn mulut mengaga mirip Barongsai sedang atraksi, seolah kaget mendengar aku yang tidak tau siapa anak lelaki yang fotonya ia tunjukan padaku.

"Kita pernah loh beberapa kali sekelas sama jurusan mereka!" Tegasnya.

Ok, baiklah, "ooh yang itu, iya Le, aku inget. Gimana-gimana? Kalian jadian?" Aku terpaksa sok tau, ketika aku bahkan sudah tidak ingat lagi muka mana yang baru saja Ale tunjukan.

Kini giliran Ale yang menggeleng, "engga, tapi aku suka!" Ale tersenyum manis, mukanya sedikit memerah, aku jadi terbawa perasaan, "iya Le, aku juga suka!" Jawabku asal, membuat mimik muka Alesha berubah, keningnya mengernyit.

"Lo suka juga sama Wahyu?" Ale mencari tau, matanya memicing.

"Ga lah, becanda, hehe," Ale mencubit pundakku, seraya berkata, "kirain!"

Perjalanan Bandung-Bali menggunakan Bus memakan waktu lebih dari sehari semalam, jadi sebagian besar aktivitas, kami kerjakan di dalam bis. Dari mulai ghibah dengan Ale, bercanda dengan teman seangkatan di bangku lain, ngemil, nonton tv, membuka lubang AC, menutup lubang AC, buka tirai, tutup lagi, tidur, ngemil, tidur lagi, gitu aja terus sampai nanti tiba di tujuan.

Aku mengintip ke bangku-bangku di belakang kami, dan mataku menangkap kehadiran sosok asing. Dia, lelaki yang duduk 3 bangku di belakang tempat kami duduk. "Le, cowo yang duduk 3 bangku di belakang kita, itu kk tingkat kan ya?" Tanya ku penasaran.

Ale berdiri, mengintip, dan memastikan siapa pria yang aku maksud, lalu kembali duduk, "iya, itu A Erga, angkatan 2006, satu tingkat di atas kita. Dia tahun lalu ngga ikut praktikum angkatannya, jadi harus ikut praktikum taun ini bareng angkatan bawahnya." Pantas saja wajahnya tidak asing, pikirku.

"Oohh gitu, kasian ya nggak bisa gabung sama temen seangkatannya sendiri. Bete nggak ya?"

"Nanti kita ajak main biar nggak bete," jawab Ale asal.

***

Praktikum di Bali berjalan lancar. Dan A Erga, kakak angkatan yang terpaksa harus ikut praktikum bareng angkatanku, beberapa kali mengajak aku untuk foto bareng. Pertama, saat berada di Pura Besakih dan kedua saat sedang menunggu sunset di Pantai Kuta, padahal aku jelas-jelas bukan artis. Atau jangan-jangan, dia melihat aku bak ogoh-ogoh antik sehingga dianggap layak untuk di abadikan? Kurang ajar!

Hingga hari terakhir kunjungan kami di Bali pun tiba. Aku dan Ale kalap saat berbelanja di toko oleh-oleh, rasanya semuanya ingin di beli untuk menyenangkan orang rumah.

Ditengah euforia belanja di Krisna, aku melihat A Erga tengah asik sendiri dengan tumpukan belanjaan yang bahkan lebih banyak dariku atau Ale. Padahal biasanya, laki-laki cenderung lebih cuek dan tidak terlalu tertarik untuk pulang dengan membawa banyak oleh-oleh. Ribet.

Aku yang sudah kepo sejak lahir, gatal jika tidak bertanya, "banyak banget beli oleh-olehnya a?" tanyaku saat kami tengah berada di area gantungan kunci khas bali yang berbentuk kelamin laki-laki. SKSD banget sih Nabila! Asli.

A Erga lalu tersenyum, eh tunggu, ko ganteng? Aku menelan ludah.

"Iya Bil, sengaja beli banyak, buat Ibu dan adik perempuan aa di rumah," seketika aku teringat pepatah yang mengatakan bahwa ketika seorang pria baik kepada Ibunya, maka ia akan memperlakukan wanitanya dengan baik pula.

Dan entah di detik keberapa, aku jadi suka. Aku mau jadi wanita beruntung itu, aku mau diperlakukan dengan baik, tanpa pernah di sakiti lagi. Aku mau!

"Nabila, ko diem? Kamu duduk sama siapa di bis?" Pertanyaan Erga membuyarkan lamunanku, hampir saja aku memasukan gantungan kunci berbentuk titit kedalam tas belanjaku, untungnya aku segera sadar kalau masih punya kemaluan.

"Sama Ale," jawabku cepat. Kening Erga seketika mengernyit, seperti berpikir keras.

"Alesha," aku menambahkan. "Oh Alesha," mimik wajahnya seketika berubah, persis politikus saat sedang adu debat, so tau!

"Perjalanan pulang ke Bandung, duduk sama aa aja ya Bil, mau ngga?" Erga menawarkan. Sebenarnya aku ingin, tapi tidak ah. Berangkat bareng Ale, pulang pun harus tetap bareng Ale! Hidup Ale! Jadi dengan berat hati, permintaan Erga pun ku tolak.

Seusai belanja, aku kembali ke Bus dan duduk lagi di kursi tempat aku dan Ale biasa duduk.

Aku melihat sekitar, rupanya belum banyak teman-temanku yang kembali ke Bus. AC nya jadi terasa lebih dingin, jadi ku tutup saja semua lubang AC di atas kursiku, kursi Ale, kursi di depan dan belakang juga.

Sambil menunggu Ale yang masih tertinggal di belakang, aku mengecek hape dan mendapati beberapa sms Andre sudah mengantri minta di balas.

Tiba-tiba saja, "Nabila, aku duduk sini ya," ucap seseorang sambil menunjuk kursi Ale yang kosong. Aku menoleh ke atas, tenyata itu Erga yang masih saja usaha.

"Maaf a, ini kursi Ale," jawabku cepat, namun segera ditimpali oleh suara teriakan yangvterdengar dari arah belakang.

"Aku duduk di belakang Bil, bareng Gita!"

Aku menoleh ke sumber suara, "ngga Papa Le?" Dari kejauhan aku melihat Ale mengangkat jempol kanannya, tanda setuju. Ah Ale, you know me so well, as always :)

Senang, tapi malu. Aku belum benar-benar siap A Erga duduk di sampingku. Aku takut kalau nanti ketiduran dan ngorok lagi seperti di perpustakaan waktu itu. Malu banget!

Tapi kapan lagi bisa duduk berlama-lama sama kakak tingkat ganteng yang sayang ibu?

Awalnya awkward harus duduk berlama-lama bareng kakak tingkat, apalagi kita memang jarang ngobrol sebelumnya. Namun semakin lama, pikiranku seolah tertarik ke belakang dan merasa seperti tidak asing dengan lelaki ini. Kenapa ya?

Keterangan waktu di handphone ku sudah menunjukan pukul 9 malam. Bis yang kami naiki tengah menyusuri jalanan hutan yang gelap di daerah Banyuwangi. Pohon-pohon tampak hitam, tinggi menjulang, terlihat begitu menyeramkan, apalagi saat membayangkan jika tiba-tiba ada kuntilanak atau pocong yang muncul diantara rimbunnya pepohonan. Aku jadi takut sendiri.

Aku melihat sekeliling. Teman-teman dibangku lain telah tertidur, juga Erga, dia terpejam. Aku mencuri-curi pandang, memperhatikan wajahnya yang tengah tersenyum, apa dia sedang bermimpi indah?

Oh Erga, bahkan lirih suara nafasnya begitu merdu. Wajahnya begitu bercahaya, mungkin karena dia selalu shalat tepat waktu. Bahkan beberapa kali hampir ketinggalan bus karena ia masih shalat di masjid.

Hidungnya mancung dengan ukuran yang tidak terlalu besar. Rahangnya tegas dengan bibir yang juga tidak tebal dengan warna kemerahan, pasti karena dia tidak merokok. Semakin lama melihatnya, ko aku pengen cium ya? Wajahnya begitu polos, mebuat aku berpikir. Kalau dengan dia, aku pasti tidak akan pernah tersakiti. Mungkin.

Sampai akhirnya mata Erga tiba-tiba terbuka. "Astaga," aku kaget.

"Kenapa Bil? Kamu ngga tidur?" Tanya Erga yang sepertinya kaget juga ada aku yang tiba-tiba berada sangat dekat dengan wajahnya, seperti kuyang.

"Engga a," aku lalu memalingkan badan ke arah jendela.

Kepergok tengah memperhatikan dia yang sedang tidur sungguh perbuatan yang sangat memalukan, aku jadi salah tingkah. Ingin rasanya aku tenggelam saja di danau tiberias dan mencegah Dajjal keluar dari perut bumi.

Tapi entah mengapa, dunia sepertinya sedang gemar mengaduk-aduk perasaanku, karena tiba-tiba saja Erga malah memegang tangan kiriku dan berkata, "liat sini donk, temenin aa ngobrol," Hah ngobrol? Aku mau pingsan aja, boleh nggak? Deg-degan, tapi terpaksa berbalik, dan melihat kearahnya. Malu.

"Nabila manis, aa suka!" Ucapnya tiba-tiba. Astaga. Muka ku pasti langsung memerah bagaikan patat ayam di oles balsem. Kesel! Kenapa sih Erga harus bilang gitu? Nggak jelas! Tapi aku juga suka, gimana donk? Dan sekarang aku bisa merasakan punggungku mulai berkeringat dingin, tepat sesaat setelah melihat tatapannya yang, ooh, aku sungguh tidak ingat kalau aku punya Andre.

"Oh gitu," speechles.

"Oh iya, taun kemarin kenapa aa ngga ikut praktikum bareng angkatan aa?" Aku berusaha mengalihkan pembicaraan, sebelum syndrom salah tingkah semakin membunuhku.

"Taun kemarin aa ikut PON," jawab Erga dengan senyum penuh kebanggaan.

"Wooow, aa atlet? Atlet apa?" Tanya ku penasaran. Sumpah, makin kagum. Seingatku, aku belum pernah punya pacar Atlet. Keren banget ya.

"Anggar," jawabnya cepat.

"Anggar?" Aku mengulang.

Seperti menyadari kalau aku tidak tau, Erga lalu mengambil handphone dan mulai sibuk sendiri dengan mengusap-usap layar handphonenya. Apa dia jadi males ngobrol dengan wanita yang tidak berwawasan seperti aku?

Dia masih menunduk, seolah mencari sesuatu. Hingga saat ia menemukan yang ia cari, ia lalu menunjukannya padaku sebentar, dan langsung menarik lagi Hp nya.

"Bentar a, belum liat!" Cegahku.

"Sini donk duduknya, deketan!" Aku pun begeser mendekati hp nya. Hingga aku bisa merasakan, punggung kiriku telah bersandar di dadanya yang hangat. Aku suka. Peluk dong, eh. Gatel!

"Nabila, rambut kamu wangi!" Aku reflek melihat ke wajahnya, tidak sadar gerakanku membuat wajah kami begitu dekat. Erga terus menatapku, mendekatkan wajahnya. Namun aku kembali menunduk, dan berpaling ke HP Erga, melihat kembali apa yang tengah ia tunjukan.

"Ini aa di pertandingan terakhir," Erga menjelaskan. Dan yang tampak di layar hp nya adalah 2 orang yang tengah bertanding, berbaju putih dari atas sampe bawah, dengan kepala yang dilindungi kerangkeng besi. Sementara tangan mereka terlihat memegang pedang berbentuk tongkat tipis panjang.

Oh, ternyata itu toh olahraga anggar. Kalau itu sih aku sering lihat di TV.

"Keren a! Terus menang?" Aku bertanya lagi. Seolah tau bahwa dia senang jika aku antusias.

Diam-diam aku mengamati lengannya yang berotot, dan dadanya yang bidang. Sungguh pelukable. Omaigat, maafkan mataku yang jelalatan ya Tuhan.

"Juara 2!" Jawabnya singkat. Ia lalu memasukkan lagi hp nya ke saku celana, dan aku terpaksa bergeser menjauh, karena tidak punya alasan lagi untuk bersandar di dada bidangnya. Tapi aku tidak sedih, karena tiba-tiba saja tangan kanan Erga memegang tangan kiri ku lagi, sementara tangan kirinya mengarahkan wajahku agar melihat ke arahnya.

"Bil, beberapa hari ini aa merhatiin kamu. Beneran deh, kayanya aa tertarik sama kamu. Aa suka!" Sorot matanya berubah. Aku memandangnya beberapa saat, seolah mencari kunci jawaban.

"Aku juga suka. Aa baik!" Jawabku setengah berbisik, sambil memalingkan wajahku ke arah mana saja, asal tidak kewajahnya, karena saat ini aku seperti berubah menjadi es krim yang hampir mencair karena salah tingkah.

"Sierra Salwanabilla, mau ngga jadi pacar Erga?" Omaigat. Bohong! Beneran? Secepat ini? Masa sih? Ko bisa aku diajak pacaran sama cowok yang baru beberapa jam lalu membuatku jatuh cinta. Seneng sih, tapi ini terlalu indah untuk jadi nyata. Atau ini cuma Prank?

"Kenapa diem? Terlalu cepet ya aa bilangnya? Tapi Bil, kasih kesempatan buat aa. Aa janji akan bikin kamu bahagia," Erga meyakinkan. Bahkan dia tidak bertanya apakah aku punya pacar atau tidak. Aku jadi takut. Takut nanti dia akan kecewa kalau tau.

Aku mengangguk, "aku mau a," lalu kembali menatap matanya. Dia mendekatkan wajahnya ke wajahku, memiringkan kepalanya sedikit, menggiring bibirnya menuju ke bibirku. Apa harus selalu ada adegan ciuman setelah jadian? Aku lalu menunduk, menghindar, dan menyandarkan kepalaku di dadanya. Dada kekasihku, Erga.

"Makasih ya Bil," Erga lalu memelukku.

Sesaat aku merasa seperti cewek gampangan. Tapi jika melewatkan Erga, aku takut tidak punya kesempatan untuk memiliki kekasih baik sepertinya lagi. Aku janji, setelah aku dan Andre putus, Erga akan jadi satu-satunya. Janji.

Aku melihat layar ponselku, sudah pukul 1 dini hari, dan Erga juga sudah tidur, dengan keadaan masih memelukku.

Iseng, aku melihat-lihat foto lama ku di galery hp ku. Aku scroll ke atas hingga ke foto-foto tahun 2008, dan jariku terhenti pada sebuah foto dengan objek seorang pria bertelanjang dada, dan hanya mengenakan celana boxer berwarna merah. Aku masih ingat, foto itu di ambil di Jayagiri saat pelaksanaan Ospek mahasiswa baru, dimana aku turut menjadi panitia pelaksana.

Aku meletakan tanganku si bawah hidung. Aku masih tidak percaya, laki-laki di foto itu adalah Erga! Laki-laki yang diam-diam pernah aku taksir 2 tahun yang lalu, dan malam ini dia adalah milikku. MILIK KU!!! ketika aku bahkan sudah lupa kenapa 2 taun lalu bisa suka padanya.

"Itu foto Erga?" Aku tidak menyadari Erga yang ternyata terbangun dan memperhatikan layar hapeku.

"Hehe, iya. 2 taun lalu aku sempet suka sama kamu a," ku jawab jujur.

"Beneran?" Tanyanya seolah tak percaya.

Aku manatap matanya agar dia tau aku tidak bercanda, lalu aku mengangguk pelan.

Matanya seketika berbinar. Tangan kanannya mengusap lembut pipi kiriku, lalu turun ke dagu, menggiring wajahku mendekat ke arahnya. Hingga bibir kami bertemu, menempel dan membuatku menahan nafas karena perasaan yang campur aduk. Antara senang, malu, dan bingung aku ini perempuan apa. Tapi aku tidak mau menghindar lagi.

Erga adalah mimpi yang telah terkubur namun kemudian berubah menjadi nyata. Aku akhirnya pasrah menikmati ciumannya, melupakan fakta bahwa saat ini kami tengah berada di dalam bus berisi 50 penumpang, dengan kondisi teman sekelasku bisa saja melihat apa yang tengah kami lakukan.