webnovel

Pria Misterius

Joy masih terhanyut dalam pikiran kelamnya saat seseorang mendorongnya dengan keras. Joy terlalu lemah untuk bertahan dan sudah tidak ada waktu lagi untuk bereaksi.

Dia memejamkan matanya mengantisipasi rasa sakit yang akan menimpanya. Dia bisa membayangkan kepalanya pasti akan terbentur lantai dengan keras.

Apakah dengan dia terjatuh dia akan mati? Bukankah itu lebih baik? Dengan begini dia bisa menyusul ibunya yang sudah tiada setahun lalu.

Joy sudah mulai menerima nasibnya dan menunggu dirinya menerima rasa sakit yang luar biasa. Akhirnya kepalanya terbentur sesuatu tapi bukan rasa sakit yang diterimanya melainkan sesuatu yang lembut namun tegap.

Tercium bau parfum khas seorang pria dan saat dia mendengar suara berat diatas kepalanya, dia langsung terlonjak kaget menjauhkan diri dari pria itu.

Sayangnya, karena terlalu terburu buru dan belum makan apa apa sejak kemarin malam dia menjadi terhuyung-huyung dan terjatuh kebelakang. Kali ini kedua pantatnya yang menabrak lantai dengan keras.

"Kau baik baik saja?" ucap pria itu dengan nada kasihan.

Joy tidak membalas uluran tangan pria itu. Dia berdiri sendiri sambil mengusap pantatnya yang kesakitan. Meskipun dunia seperti berputar dimatanya, dia memaksakan diri untuk tidak terjatuh pingsan.

"Tuan, apa yang anda lakukan sangatlah tidak sopan. Tidak seharusnya anda mendorong seorang gadis dengan kasar."

Joy membelalak terkejut mendengar pria yang ditabraknya membelanya dihadapan pemilik toko. Seketika itu juga, dia tidak lagi merasa pusing.

Joy mengamati penampilan pria yang baru saja ditabraknya.

Pria ini memakai kaos berkerah dengan celana jeans. Jika dilihat sekilas pria ini hanya memakai pakaian casual untuk bersantai. Tapi dia yakin, tidak akan ada orang yang memandang rendah pria ini.

"Oh, tentu saja aku tidak ingin melakukannya. Tapi pengemis ini selalu mengganggu jalan keluar masuk tokoku. Sudah banyak pelanggan yang mengeluh." ucap pemilik toko membela diri.

"Nona, apakah roti disini enak?" tanya pria baik itu padanya.

"Kenapa tanya padanya?" pemilik toko mulai mengomel dan menjelaskan betapa enaknya roti buatannya.

Anehnya pria itu sama sekali tidak menggubris pemilik toko dan hanya menunggu jawaban darinya.

Joy tidak menjawab, dia sadar suaranya tidak dalam kondisi yang baik. Jadi dia menjawabnya dengan menganggukkan kepalanya.

"Baiklah. Ayo masuk ke dalam." ajak pria itu membuat baik Joy maupun pemilik toko terkejut.

"Tidak. Dia tidak boleh masuk. Baunya yang busuk akan merusak suasana tokoku."

Pria itu mengambil sebuah kartu dari dompetnya dan memberikannya pada pemilik toko roti.

Meskipun Joy dalam keadaan lemas dan tak bertenaga, namun dia bisa melihat raut muka pemilik toko roti dengan jelas.

Siapa pria ini sebenarnya? Mengapa hanya dengan melihat kartu namanya saja, pemilik toko tersebut sampai memberi hormat bahkan 'menjilat' pria ini.

Sikap yang sama persis seperti yang diingatnya lebih dari dua puluh tahun yang lalu.

Benar. Waktu itu dia masih berusia lima tahun saat pertama kali menyukai roti buatan orang ini. Dan saat tahu siapa identitas ibunya, pemilik toko tersebut 'menjilat' dan memanfaatkan kebaikan ibunya.

Sudah berjalan lebih dari dua puluh tahun sejak saat itu, wajah pemilik toko roti tampak lebih tua dan kini sudah berkeluarga.

"Nona, apakah kau keberatan jika aku mengajakmu bergabung denganku didalam?"

Seharusnya dia menolak ajakan orang asing, terlebih lagi ajakan dari seorang pria yang tidak dikenalnya. Tapi dia sudah tidak peduli lagi.

Perutnya terus berbunyi dan sakit terus menyerang kepalanya membuatnya tidak bisa berpikir jernih. Karena itu dia menerima tawaran pria itu.

Kemudian pria itu mendampinginya duduk di sebuah tempat yang tidak terlalu ramai. Setelah itu pria tersebut pergi mengambil nampan dan memilih beberapa roti.

Pikiran Joy saat ini kosong dan dia merasa dirinya seperti mayat hidup.

Akibat kerja dua puluh empat jam setiap hari, ibunya meninggalkannya seorang diri dari dunia ini tahun lalu. Bahkan disaat pemakamannyapun, tidak ada satupun pihak keluarga yang datang. Bahkan 'pria itu' juga tidak datang.

Rumah yang dikontraknyapun sudah habis masa kontraknya dan uang dari hasil kerja paruhnya tidak cukup untuk melanjutkan sewa kontrak.

Semenjak itu dia pergi tanpa tujuan dan terkadang duduk di tepi jalan untuk mengemis. Dia berusaha menghindar dari lingkungan mafia dan tidur di tempat penaungan tuna wisma.

Rata rata seorang wanita berusia dua puluh tujuh tahun pastilah sudah menikah dan memiliki beberapa anak. Berbeda dengan dirinya yang kini hidupnya harus mengemis untuk bertahan hidup.

Ditengah-tengah pikiran akan masa lalunya, tercium aroma harum dari susu dan roti.

Dalam sekejap dihadapannya muncul segelas susu hangat beserta dua roti trufle besar dilapisi coklat sesuai kesukaannya.

Darimana pria itu tahu jenis roti kesukaannya? Namun dia tidak memperdulikan rasa curiganya dan segera melahap hidangannya dengan cepat.

Orang yang normal pada umumnya akan merasa jijik jika melihat seorang gadis seperti dirinya makan dengan liar. Ditambah lagi tangannya yang kotor penuh dengan debu bewarna hitam langsung memegang roti tanpa mencuci tangan terlebih dulu.

Lain dengan pria ini yang hanya menunggunya dengan sabar. Pria yang duduk diseberangnya sama sekali tidak menunjukkan rasa jijik atau berkomentar mengenai cara makannya yang tidak elegan.

Hanya dalam waktu lima menit, Joy telah menghabiskan dua roti besar tersebut beserta susunya.

Tidak lama setelah dia meneguk tetesan terakhir, pria tersebut menyodorkan tisu kearahnya.

"Ada yang membekas didaerah sini." ucapnya dengan lembut sambil menunjuk atas bibirnya sendiri.

Joy mengambil tisu dan segera mengelap mulutnya. Meskipun dia telah makan dua roti besar, tetap tidak bisa memuaskan rasa laparnya. Tapi setidaknya dia tidak akan kelaparan untuk beberapa jam berikutnya.

Kepalanya juga tidak terasa sakit ataupun pusing dan dia merasa suaranya sudah kembali normal. Karena itu, dia mulai berbicara dengan ragu.

"Terima kasih telah menolongku, tapi maaf.. aku tidak bisa mengembalikan uang yang sudah kau gunakan untuk membeli semua ini."

Pria itu tersenyum dengan lembut. "Aku tidak pernah berpikir untuh menagih bilnya padamu."

"Terima kasih. Tapi kenapa kau menolongku? Apa kau merasa kasihan padaku?"

Dia ingat saat dia mencegah ibunya untk memberikan uang lebih pada saudara-saudaruanya.

"Kasihan mereka. Biar bagaimanapun mereka adalah tantemu, ommu juga. Mereka adalah keluarga kita. Apa kau tidak merasa kasihan pada mereka?"

Itulah yang dikatakan ibunya tiap kali dia berusaha membujuk beliau untuk tidak membantu keluarganya lagi.

Karena rasa kasihan itulah, Joy menuruti kemauan ibunya. Namun karena rasa kasihan itu pula; mereka terpojok di ujung jurang dan akhirnya jatuh tak berbekas.

"Jika kau merasa kasihan padaku, lebih baik jangan. Aku tidak butuh kasihanmu." ucap Joy dingin.

Lebih tepatnya, dia tidak ingin pria baik ini mengalami nasib yang sama seperti ibunya. Ditambah lagi dirinya bukanlah apa apa bagi pria ini.

"Kau tidak perlu memperdulikanku, terlebih lagi pada orang yang sama sekali tidak kau kenal. Aku juga tidak ingin berhutang. Untuk roti ini, aku akan cari cara untuk membayarnya."

Pria itu tidak berkomentar hanya mendengar perkataannya dengan sabar. Setelah yakin gadis tak berdaya dihadapannya selesai bicara, dia baru mengulas senyum.

"Melakukan kebaikan karena rasa kasihan bukanlah suatu kesalahan. Hanya saja, aku tidak melakukan hal seperti ini pada sembarang orang."

"Dan juga yang kau katakan benar. Terlalu sering melakukan kebaikan karena rasa kasihan akan membuat orang yang kita tolong menjadi malas. Tidak hanya itu, aku juga akan terus mengalami kerugian bahkan akan merugikan orang yang paling dekat denganku. Bukankah begitu?"

Deg! Pria ini memang tidak banyak bicara, tapi sekali bicara sangat menusuk hati. Kenapa pria ini seolah-olah bisa membaca pikirannya?

"Darimana kau tahu maksudku?"

"Tadi kau bilang tidak ingin merasa berhutang padaku. Bagaimana kalau kau mendengar sebuah kisah dariku? Tidak perlu berkomentar ataupun menghentikan ceritaku. Dengan begitu aku anggap roti dan segelas susu ini terbayar lunas."

"Hanya itu? Dan kemudian selesai?"

"Ya, hanya itu. Tapi mungkin tidak akan selesai setelah kau mendengar cerita ini."

Joy mengerutkan keningnya. Apa maksud dari perkataan pria itu?

"Jadi, bagaimana? Sepakat?"

Entah kenapa sikap pria itu sudah tidak lembut lagi. Pria itu seolah-olah menantangnya untuk menerima taruhannya. Anehnya lagi, dia sama sekali tidak bisa menolak tantangan itu.

Setelah mendapat jawaban darinya, pria itu mulai bercerita. Dia sama sekali tidak menyangka bahwa cerita itu akan mengubah jiwanya.