5 Penyesalan

Joy mendengar cerita itu dengan mencengkram kain bajunya yang compang-camping dengan erat tanpa disadarinya.

Bahkan terkadang dia lupa bernapas ditengah-tengahnya.

Aneh sekali.. dia tidak pernah mendengar cerita itu sebelumnya ataupun mengenal pria yang duduk diseberangnya. Tapi kenapa cerita ini terasa tidak asing dihatinya?

Dia ingin membuka suara untuk bertanya lebih lanjut, tapi bibirnya bergetar hebat dan seluruh tubuhnya menggigil seperti dia berada disuatu tempat yang sangat dingin.

Barulah dia menyadari bahwa kedua tangannya dingin seperti es dan tubuhnya menjadi tegang.

"Apa kau ingin tahu kisah kehidupan siapa yang baru saja kuceritakan?" pria itu akhirnya membuka suara. "Beliau adalah ayahmu, Tuan Gardnerr."

"TIDAK!!" Joy langsung menyentakkan kakinya dan bangkit berdiri. Suaranya yang keras menarik perhatian orang lain, namun dia tidak peduli. "Kau bohong! Tidak mungkin orang itu! Orang itu pemalas, tidak suka bekerja. Dia lebih suka menghamburkan uang mama. Tidak, kau pasti bohong."

Meskipun menjadi pusat perhatian, pria itu tetap bersabar dan membiarkan Joy meluapkan segala curahan hatinya. Dia bisa mengerti gadis muda didepannya menolak untuk menerima kenyataan yang baru saja didengarnya.

Setelah beberapa saat menangis, akhirnya Joy kembali duduk ditempatnya. Sebenarnya dia ingin segera keluar dari tempat itu dan menghindar dari pria yang sudah mengarang kebohongan padanya.

Tapi setelah mendengar cerita itu, kakinya menjadi lemas dan dia tidak memiliki tenaga untuk berdiri.

Pria itu mengeluarkan sebuah majalah dengan foto seorang pria tua sebagai sampul halaman pertamanya.

Pandangan Joy terpaku pada pria itu. Meskipun agak berbeda dengan apa yang diingatnya, meskipun dia berusaha melupakan wajah 'pria itu', tapi dia masih bisa mengingat wajah pria itu dengan jelas.

Pria yang ada di sampul halaman tersebut adalah 'pria itu'. Pria yang dulu dia pernah sebut 'papa'.

"Tuan Gardnerr kini menjadi pemilik perusahaan properti terbesar di negeri ini. Beliau masih memikirkan kalian meskipun kalian tidak ingin menemuinya."

"Diam diam beliau menghidupi kalian dan tidak membiarkan kalian kelaparan. Dia juga merasa sedih saat tahu kau tidak lulus dari sekolahmu. Padahal dia berhasil mencari cara untuk melunasi semua uang sekolahmu waktu itu."

Jantung Joy terasa berhenti berdetak. Dia sudah merasa aneh kenapa sekolah mengizinkannya ikut ujian kelulusan. Padahal sebelumnya mereka menutup gerbang sekolah rapat-rapat meskipun dia sudah datang jauh lebih pagi dari murid lainnya.

Ternyata.. ternyata karena uang sekolahnya sudah dilunasi, itu sebabnya dia bisa menginjakkan kakinya di sekolahnya.

Dan di malam saat dia dan ibunya tidak makan karena tidak punya uang, selalu saja ada kiriman makan dari tetangga untuk mereka. Ternyata tetangga mereka sudah dibayar oleh 'pria itu' untuk menjaga kebutuhan mereka sehari hari.

"Tidak.." Joy masih saja menolak kenyataan itu sambil terisak-isak. "Jika memang itu benar, kenapa dia tidak menemui kami?"

"..." pria itu menatapnya dengan sedih. "Apa kau lupa? Beliau datang ke tempat kalian tiga tahun yang lalu. Tapi kalian menolaknya dengan kasar."

Sekali lagi Joy menggali ingatannya. Benar. 'Pria itu' memang pernah datang hanya untuk memberitahunya bahwa dia bisa berkuliah di luar negeri. 'Pria itu' berjanji akan mengurus visa, biaya dan tempat tinggal selama disana.

Tapi apa jawabannya waktu itu?

"Lebih baik aku tidak kuliah daripada harus berhutang pada pria sepertimu!"

Joy mengutuki dirinya sendiri.. sebegitu besarkah kebenciannya pada ayahnya? Seberapa dalam kebenciannya terhadap ayahnya sehingga dia tidak bisa merasakan kasih sayang seorang ayah yang begitu besar terhadap dirinya?

"Meskipun beliau tidak menunjukkannya, tapi aku yakin hatinya merasa sakit. Itu terbukti saat dia meneteskan air matanya didalam mobil. Aku ada disana.. aku melihatnya dengan mataku sendiri. Aku melihatmu berkata-kata kasar menyakitinya. Itu sebabnya aku langsung mengenalimu."

"Setelah itu, Tuan Gardnerr pergi ke luar negeri berusaha untuk melupakan kalian. Beliau menyibukkan dirinya dengan pekerjaan. Tapi sepertinya beliau masih belum bisa melupakan kalian."

"Setelah dua tahun merantau di luar, beliau memutuskan untuk kembali dan mencoba untuk menemui kalian lagi. Sayangnya, begitu beliau kembali, ibumu sudah tiada dan jejakmu menghilang. Selama satu tahun ini beliau selalu mencarimu tanpa hasil. Baru baru ini dia memutuskan untuk muncul di berbagai acara tivi atau pemotretan dengan harapan kau akan menemuinya."

Pria itu melanjutkan ucapannya dengan tawa sedih. "Tapi, jika kondisimu seperti saat ini, maka mungkin kau tidak akan tahu bahwa ayahmu sudah menjadi terkenal sekarang."

Benar. Joy tidak akan tahu jika ayahnya muncul di koran, majalah ataupun tivi. Meskipun dia melihat sebuah koran, dia tidak akan menyadari gambar wajah ayahnya. Hidupnya kini seperti mayat hidup yang menanti hari terakhirnya.

Joy mengginggit lidahnya hingga berdarah. Dia sudah tidak tahan mendengar Ini semua. Semua yang dikatakan pria ini sangat menusuk hatinya. Membuat rasa bersalah muncul dalam sekejap dan membuatnya tidak ingin hidup lagi.

"Aku sudah selesai apa yang harus aku ucapkan. Bertemu denganmu hari ini mungkin bukan sebuah kebetulan." Pria itu mengambil pulpen dan menuliskan sebuah alamat di majalah. "Coba temui beliau, kau akan tahu apakah ceritaku benar atau karangan belaka."

Setelah mengucapkannya pria itu bangkit berdiri dan meninggalkannya.

Joy menyusul keluar setelah diam selama beberapa menit. Tangannya bergerak dengan sendirinya membawa majalah itu bersamanya.

Dia menatap alamat itu dengan tatapan kosong. Alamat yang sangat dikenalnya. Rumah yang dulu ditinggalinya bersama kedua orangtuanya sebelum perceraian itu terjadi.

Mau tidak mau dia mulai mempercayai perkataan orang tadi. Bahwa ayahnya masih memikirkan mereka, masih belum melupakan mereka.

Tapi... meskipun begitu, apakah ayahnya akan menerimanya kembali?

Didalam benak Joy terus bergulat antara apakah dia akan menemui 'pria itu' atau tidak. Kalaupun seandainya dia pergi menemuinya, apakah 'pria itu' masih menganggapnya sebagai putrinya?

Tanpa disadarinya hari sudah berubah gelap dan kini langkah kakinya berdiri didepan sebuah rumah yang tidak asing.

Matanya melebar mengetahui bahwa dirinya telah berdiri didepan rumah lamanya. Dia menatap tombol interkom; timbul keraguan yang sangat besar didalam hatinya.

Di hati kecilnya dia ingin tahu apakah cerita yang dia dengar adalah bohong atau memang benar adanya; dia ingin tahu seperti apa sosok 'ayah'nya yang sekarang. Tapi dia juga merasa takut.. dia takut akan hal yang pernah dia lakukan pada ayahnya.

Dia takut ditolak dan diusir oleh ayahnya.

Ting! Ting! terdengar suara klakson mobil tidak jauh dari tempatnya berdiri. Mobil yang mewah berhenti tepat disampingnya membuatnya berlari dipojokan dan bersembunyi disana.

Karena sepi, samar samar dia bisa mendengar suara orang yang baru turun dari mobil tersebut.

"Aku tidak suka lingkungan ini. Masih saja ada pengemis yang berkeliaran."

"Tenang saja sayangku. Kalau mama berhasil memikat hati Tuan Gardnerr, kita akan memiliki rumah impian kita."

"Kenapa Tuan Gardnerr mau menikah sekarang, kenapa tidak dari dulu."

"Hmph! Jangan sebut itu lagi. Hanya karena mantan istrinya masih hidup dia tidak mau menikah lagi. Alasan yang kuno sekali. Tapi sekarang, sudah satu tahun sejak dia berkabung.. pasti dia lebih terbuka lagi. Karena itu, tunjukkan bahwa kau bisa menjadi anak yang manis dan baik."

Karena penasaran Joy mengintip dari balik tembok. Dia melihat seorang wanita paruh baya memakai setelan yang terbilang cukup terbuka. Wanita itu juga membawa sebuah tas mahal yang sangat dia kenal.

Putrinya memakai setelan baju putih sopan dan rapi. Dengan rambutnya dibiarkan terurai dengan dihiasi jepit mungil di sebelah kepalanya, semua orang yang melihatnya pasti memiliki kesan yang baik mengenai gadis muda itu.

Tidak akan ada yang tahu bahwa tujuan kunjungan mereka kerumah ini hanya untuk mendapatkan harta dari sang pemilik rumah.

Joy ingin sekali melabrak mereka, ingin bilang pada mereka bahwa mereka sama sekali tidak layak mendapatkan kasih sayang dari ayahnya. Yang dipikirkan ayahnya selama ini adalah dirinya dan ibunya.

Namun saat dia mulai keluar dari tempat persembunyiaannya, keberaniannya menciut.

Dia ingin bilang bahwa mereka tidak layak mendapatkan kasih ayahnya, tapi... bagaimana dengan dirinya? Apakah dia layak?

Tidak. Dia sama sekali tidak layak.

Memikirkan ini Joy berbalik dan berlari menjauhi rumah itu. Dia berlari sekencang-kencangnya tidak peduli dia tidak bisa melihat jalan didepannya karena kurangnya penerangan.

Byur!! Akhirnya kakinya tersandung dan dia terjatuh ke sungai. Dia berusaha berenang keatas namun tiba tiba rasa sakit yang luar biasa menyerang kaki kanannya.

Dia berteriak kesakitan membuat mulutnya terbuka lebar. Akibatnya disaat sama air sungai mengalir masuk kedalam mulutnya.

Dadanya tiba tiba sakit dan dia sama sekali tidak bisa bernapas. Tubuhnya mengejang beberapa kali hingga akhirnya dia tak bergerak lagi.

Saat itu juga dia sadar.. kali ini dia tidak akan lolos dari maut.

'Apa kau menyesal?' terdengar suara asing di kepalanya

Menyesal? Iya, dia menyesal. Kalau seandainya dia tidak mengucapkan kata cerai waktu itu, dia akan berjuang mati matian bersama ayahnya.. untuk mempertahankan keutuhan keluarga mereka.

Tapi, apa gunanya menyesal sekarang Satu-satu penyesalan terbesarnya adalah dia tidak bisa mengucapkan kata yang timbul dari dalam hatinya saat ini. Dia ingin mengucapkan kata ini jika seandainya dia bertemu dengan ayahnya lagi.

Sayangnya, kata-katanya tidak akan pernah tersampaikan

Secara perlahan kesadaran Joy mulai menghilang. Dia dilingkupi dengan kegelapan tak berujung.

Dulu dia tidak pernah takut gelap karena tahu tidak akan ada yang melukainya. Kalaupun ada sesuatu yang akan melukainya, dia yakin kedua orangtuanya akan melindunginya.

Namun sekarang dia seorang diri di tengah kegelapan. Untuk kesekian kalinya dia takut.. dia takut mimpi buruknya menghantuinya lagi.

Dan benar, seperti yang sudah-sudah, ada bisikan lembut nan mematikan ditelinganya.

'Lebih baik cerai kan?'

'Coba kamu bilang sama papamu ya'

'Cerai'

'Cerai'

Tidak. Teriak Joy dalam hati. Tidaaaakk!!

Jika dia hanya bermimpi, tolong.. cepat bangunkan dia. Dia berharap semua ini hanya mimpi buruk. Dia berharap saat dia terbangun nanti, dia akan melihat kedua orangtuanya lagi.

Seseorang.. tolong bangunkan aku dari mimpi buruk ini. Pintanya dengan amat sangat.

'Cerai saja,'

'Enak ikut sama mama.'

"TIDAAKK!!"

Dan diapun terbangun dari tidurnya. Nafasnya tersengal sengal akibat mimpi buruknya dan samar samar dia mendengar pembicaraan diluar kamarnya.

Joy berusaha mengatur pernapasannya beberapa kali. Kemudian dia merasakan keringat di kepalanya. Tangannya yang gemetar mencengkeram sesuatu yang lembut di bawahnya.

Lembut? Joy menatap kearah tempatnya berbaring. Ranjang.. dia berada diatas ranjang miliknya. Bagaimana bisa?

Joy menatap kesekelilingnya, semakin banyak yang dilihatnya semakin cepat ritme detak jantungnya.

Ini adalah kamar yang dipakainya sebelum kedua orangtuanya bercerai. Masih belum percaya akan apa yang dilihatnya, dia mencubit pipinya sendiri dengan kencang.

"Aaa..." dia meringis kesakitan dan mengusap pipinya dengan lembut. Jadi dia tidak sedang bermimpi?

Lalu bagaimana dengan perceraian orangtuanya? Bukankah ibunya telah tiada dan dia telah menjadi tuna wisma? Apa itu semua hanyalah mimpi buruknya?

Tapi.. kenapa terasa nyata sekali? Perceraian mereka, pemakaman ibunya, bahkan disaat dia tidak makan selama berhari hari, dia bisa merasakan lapar dan saat dia terluka dia juga bisa merasakan sakit.

Setelah dia mulai tenang, dia mendengar suara kedua orang tuanya yang sedang bertengkar.

"Sampai kapan kau begini terus? Usaha kita sudah mengalami kerugian besar! Kau harus segera menutupinya."

"Menutupi pakai apa huh? Uang sudah tidak ada, lagipula, itu semua adalah perusahaanmu. Lakukan saja sesukamu."

"Dasar pemalas. Sudah lima tahun kau tidak bekerja dan hanya makan dan tidur saja. Apa kau sama sekali tidak memikirkan keluarga ini huh?"

"Aku sudah capek. Aku sudah tidak mau bekerja lagi. Memang kau mau apa huh?"

"Arrrrgg... Kenapa aku bisa menikah dengan pria sepertimu?! Aku ingin cerai! Sekarang juga!"

"Terserah kau mau bilang apa, tapi aku tidak akan bercerai. Titik."

Joy menitikkan air mata dikamarnya yang tertutup rapat. Dia menangis bukan karena dia merasa sedih mendengar pertengkaran orangtuanya, tapi dia merasa senang bisa mendengar suara kedua orangtuanya lagi.

Tidak peduli apakah ini mimpi atau bukan, yang pasti dia tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama.

avataravatar
Next chapter