2 Kenangan yang kelam

Dulu saat Joy masih kecil, toko roti yang dibuka setiap hari dari jam delapan pagi sampai sepuluh malam tidak seramai sekarang.

Namun Joy kecil sangat menyukai rasa roti tersebut, sehingga hampir tiap malam dia akan merengek pada ibunya untuk dibelikan roti.

Seiring berjalannya waktu, justru pemilik toko roti yang sering 'merengek' agar ibunya membeli sisa stok roti yang ada.

Ibunya yang baik hati selalu mengabulkan permintaannya. Sebulan sekali ibunya memesan sejumlah roti dalam skala besar untuk pertemuan teman teman sosialnya.

Sejak saat itu toko roti tersebut menjadi semakin ramai dan terkenal. Sangat disayangkan, pemiliknya berubah menjadi arogan dan sombong.

"Hei! Sampai kapan kau mau berdiri didepan tokoku terus huh?"

Joy meratapi nasibnya yang malang tanpa menghiraukan pemilik toko yang terus berusaha mengusirnya.

Semenjak kedua orang tuanya bercerai, ibunya terus bekerja demi menutupi hutang-hutang keluarga mereka.

Sejak itu pula ibunya jarang di rumah... mereka mulai jarang berkomunikasi. Sedikit demi sedikit Joy mulai merasakan dia seperti tidak memiliki seorang ibu.

Meskipun begitu dia tidak peduli dengan kasih sayang ibunya. Dia mulai terbiasa hidup dengan uang. Selama ibunya memberinya uang, dia tidak akan komplain.

Begitulah hidupnya dia jalani dengan bersenang-senang mengikuti pergaulan teman-temannya. Berbelanja baju dan tas bermerk, pergi hingga larut malam dan sering ke luar negeri.

Meskipun hidupnya mulai diluar kendali dia tetap menjaga dirinya tak tersentuh oleh seorang pria. Bukan karena dia membenci pria karena alasan tertentu.

Tapi dia masih mengingat didikan kedua orang tuanya sejak dia masih kecil. Khususnya dari ayahnya yang selalu memberinya nasihat mengenai hal ini.

Seorang gadis haruslah menjaga martabatnya dan hanya memberikan keperawanannya pada suami di malam pertama pengantin mereka.

Meskipun dia tidak suka mengingat-ingat 'pria' itu, tapi yang dikatakannya masuk akal. Joy sendiripun tidak ingin menyerahkan dirinya pada sembarang pria. Khususnya tipe pria seperti 'pria itu'.

Karena itu dia sering dihina temannya karena selalu menolak untuk pergi ke klub malam. Joy sangat bersikukuh dan menjaga betul agar tidak terjebak kedalam pergaulan bebas mereka.

Joy bahkan rela untuk lepas dari mereka jika harga yang harus dibayarnya untuk berteman dengan mereka adalah keperawanannya. Namun, tampaknya merekalah yang tidak rela melepaskan Joy.

Seringkali Joylah yang menraktir mereka atau keluar dana yang paling besar. Itu sebabnya mereka tidak memaksa Joy dan terus melekat padanya.

Lambat laun, disaat dia berada di tahun terakhir SMA, dia mengetahui sesuatu yang mengejutkan. Berbagai macam perusahaan yang dikiranya adalah murni milik ibunya ternyata bukan seperti yang dibayangkannya.

Tidak ada satupun perusahaan tersebut adalah milik ibunya. Melainkan milik kelima saudara-saudara ibunya.

Selama ini ibunya hanya memodali mereka dan menutup kerugian perusahaan mereka. Beliau juga yang selalu berpikir keras untuk terus mempertahankan itu semua.

Ajaibnya perusahaan mereka tetap bertahan selama bertahun tahun. Namun semenjak perceraian itu terjadi, entah kenapa tidak ada kemajuan dari bisnis mereka.

Tiap bulan selalu mengalami kerugian bahkan jauh lebih besar daripada sebelumnya. Yang lebih menjengkelkan lagi, disaat bisnis mereka terpuruk dan mengalami hutang, mereka mencantumkan nama ibunya sebagai orang yang bertanggung jawab.

Ibunya yang harus menghadapi pengadilan penutupan perusahaan. Beliau juga yang harus membayar semua hutang-hutang. Tidak ada satupun dari pihak keluarga yang datang menolong.

Itu sebabnya beliau bekerja siang malam tanpa henti untuk melunasi hutang mereka. Tidak hanya itu.. perusahaan mereka dibeli oleh kompetitor dengan harga murah; rumah besar mereka disita bank.. itu semuapun masih belum cukup untuk membayar hutangnya.

Pada akhirnya, Joy sendiripun sering absen sekolah hanya untuk bekerja di sebuah restauran. Bila ibunya bekerja untuk melunasi hutang, Joy bekerja untuk sesuap nasi. Akibatnya, nilai-nilai pelajarannya tidak ada yang bagus.

Bahkan dia mendapatkan peringatan bahwa dia akan tinggal kelas bila dia sering absen. Tidak hanya itu, uang sekolahnyapun telah menunggak tiga bulan. Jika tidak segera dibayar, dia tidak akan diizinkan menginjakkan kaki di sekolah mulai bulan berikutnya, bahkan berkeinginan untuk mengikuti ujian kelulusanpun tidak diperbolehkan.

Joy mulai mengingat-ingat mengapa hal seburuk ini bisa terjadi menimpanya? Perceraian itu.. Benar. Semuanya menjadi semakin buruk sejak kedua orang tuanya bercerai.

Tapi.. kenapa pada akhirnya kedua orang tuanya bercerai?

Sebelumnya saat ibunya mengajukan cerai, ayahnya selalu menolak. Lalu kenapa pada akhirnya ayahnya menyetujui perceraian itu?

Joy menggali ingatannya kala itu saat dia mendengar kalimat yang membuatnya marah besar.

"Aku sudah capek. Aku sudah tidak mau bekerja lagi. Memang kau mau apa huh?"

"Arrrrgg... Kenapa aku bisa menikah dengan pria sepertimu?! Aku ingin cerai! Sekarang juga!"

"Terserah kau mau bilang apa, tapi aku tidak akan bercerai. Titik."

Ibunya sudah tidak sanggup berkata kata lagi dan keluar rumah sambil membanting pintu dengan suara yang keras.

Sama seperti ibunya, Joy terlalu marah untuk bisa melihat desahan letih ayahnya. Yang dia lihat hanyalah seorang pria yang malas; yang berjalan kearah meja makan dengan santai untuk menyantap hidangan makan malam.

Joy berjalan ke arah beliau dan duduk diseberangnya.

"Oh, kau dengar yang tadi ya? Jangan kuatir, ayo makan. Yang ini enak lho, daging ini kesukaanmu kan?"

Sikap beliau sangat santai saat mengambil beberapa lauk dan meletakkannya diatas piringnya. Bahkan beliau mmberikan senyuman hangatnya layaknya seorang ayah yang ingin memanjakan putrinya.

Di situasi yang normal tentu saja Joy akan merasa senang dan menerima semua kebaikan ayahnya dengan senang hati.

Tapi tidak.. suasana hati Joy tidak gembira ataupun ingin bersandiwara menjadi anak yang baik. Dia sudah tidak tahan lagi dengan sikap pria ini.

"Apa kalian akan bercerai?" tanya Joy dengan nada yang sangat dingin.

"Ah, itu. Tidak perlu takut. Papa tidak akan pernah menceraikan mamamu."

"Kenapa? Bukannya lebih baik kalian cerai saja? Kau seringkali membuat mama marah dan sakit. Kau juga tidak peduli dengan keadaan keluarga ini. Apa gunanya keberadaanmu disini?"

"..."

"Ceraikan mama, maka semuanya akan baik baik saja. Aku sudah tidak tahan lagi hidup seperti ini."

"..." untuk sejenak ayahnya tidak berkata apa apa. Entah karena terkejut melihat putrinya sudah tidak memanggil 'papa' atau nada yang tidak menunjukkan rasa hormat sama sekali yang membuatnya tertegun. Tapi beliau tidak bergerak maupun bersuara. Suasana keheningan mencekam selama beberapa menit.

"Jika itu memang yang kau inginkan." itulah yang diucapkan pria itu sebelum akhirnya dia berdiri dan beranjak masuk ke kamar.

Tidak lama kemudian, pria itu keluar dengan membawa secarik kertas dan pergi begitu saja.

Sejak saat itu pria itu tidak pernah kembali ke rumah ini, dan baru beberapa hari kemudian Joy mendapat kabar bahwa kedua orangtuanya telah resmi bercerai.

Joy mengira setelah perceraian kedua orangtuanya, segalanya akan berjalan menjadi lebih baik. Kenyataannya, meskipun dia jarang melihat ibunya di rumah, setidaknya dia bisa hidup lebih baik dan tenang.

Dia merasa bahagia, menghabiskan waktu dengan berbelanja; memiliki komunitas yang menyenangkan; dia bisa tersenyum dan tertawa.

Sayangnya dia sama sekali tidak mau mengakui bahwa dari dalam lubuk hatinya terdalam ada suatu lubang besar yang membuatnya terasa hampa.

Semakin hari lubang di hatinya semakin menyesakkannya. Kemudian kabar perusahaan yang berusaha dipertahankan ibunya menjadi bangkrut dan dililit hutang; menjadi hantaman paling keras baginya.

Dana yang disiapkan untuk berbelanja semakin menipis. Kualitas makanan sehari-hari semakin menurun. Satu per satu teman-teman komunitasnya meninggalkannya.

Bahkan pihak keluarga dari ibunya sering datang hanya untuk meminta uang. Hingga disatu titik dimana ibunya tidak memiliki uang sepersenpun; tidak ada lagi yang datang berkunjung.

Joy hendak berhenti dari sekolahnya dan saat sekolah mengizinkannya untuk mengikuti ujian kelulusan, Joy gagal di hampir semua materi. Joy dinyatakan tidak lulus dari sekolahnya.

Tidak ada universitas yang bersedia menerima Joy. Akhirnya Joy hanya menghabiskan waktu bekerja di restauran sebagai pramusaji rendahan.

avataravatar
Next chapter