4 Kebenaran

Seorang anak lelaki hidup dikalangan keluarga yang berada. Rumah mewah, mobil mewah bahkan memiliki beberapa hotel. Namun sayangnya anak ini dianak tirikan oleh ibunya. Ibunya lebih mencintai kakaknya daripada dirinya.

Sedangkan ayahnya sangat mencintai dirinya daripada saudaranya. Hanya saja, ayahnya jarang di rumah karena sibuk bekerja. Tapi begitu beliau pulang, dia akan dibawakan oleh-oleh lebih banyak dan bagus daripada saudaranya.

Hal ini membuat ibunya semakin tidak menyayanginya, meskipun begitu dia tetap menurut pada ibunya dan memberikan semua mainan dari ayahnya pada kakaknya.

Beranjak dewasa perlakuan ibunya antara dia dan kakaknya semakin terlihat berbeda. Kakaknya dimasukkan ke sekolah yang bagus, sedangkan dia bersekolah di sekolah yang biasa.

Hingga suatu hari dia mengetahui bahwa dia adalah anak haram dari ayahnya dengan wanita lain. Barulah dia mengerti alasan kenapa ibunya begitu membencinya.

Setelah itupun, dia tetap tidak membenci ibunya. Biar bagaimanapun beliau masih tetap bersedia merawat dan memberinya makan. Beliau juga yang merawatnya saat dia sakit atau terluka. Dia hanya akan mengingat segala kebaikan ibunya.

Hingga pada akhirnya saat pembagian warisan setelah ayahnya tiada, anak ini hanya mendapatkan kurang dari dua persen dari warisannya. Itupun diambil alih oleh sang ibu.

Memang terlihat tidak adil, tapi dia tidak mempermasalahkannya. Selama dia diizinkan untuk tinggal bersama ibunya dan bisa makan, dia tidak akan mengeluh.

Satu hal yang dia pelajari dari kehidupan yang dialaminya. Dia tidak akan seperti ayahnya yang berselingkuh dengan wanita lain. Dia hanya akan mencintai satu wanita yang akan menjadi istrinya.

Dia juga tidak akan seperti ayahnya yang jarang di rumah; sehingga tidak bisa menghabiskan waktu bersama keluarganya. Dia akan mencari cara agar dia bisa bekerja di rumah dimana dia bisa menghabiskan waktu lebih banyak bersama keluarganya.

Dia juga tidak akan seperti kedua orangtuanya yang pilih kasih. Dia akan menyayangi anak-anaknya dengan sama rata. Dia akan memastikan istri dan anak-anaknya bisa hidup lebih baik daripada dirinya.

Setelah lulus kuliah, dia bekerja di hotel miliknya sendiri yang dikendalikan oleh ibunya. Dan tidak pernah sekalipun dia mengeluh. Dia bahkan memanfaatkan posisinya yang hanya sebagai resepsionis untuk berkenalan dengan berbagai macam orang.

Dari sana dia bisa mendapatkan berbagai pengetahuan dan informasi yang tidak didapatinya di sekolah.

Dia selalu memasang senyum lebar dan mencari tahu kesukaan pelanggan. Semakin lama dia semakin mahir dalam berkomunikasi. Tdak sedikit yang datang ke hotel hanya untuk mencarinya.

Disaat itulah dia bertemu dengan seorang gadis biasa nan cantik. Keduanya saling jatuh cinta dan memutuskan untuk menikah setelah menjalin hubungan selama beberapa bulan.

Ibunya tidak sudi memiliki menantu yang dipilih putranya dan tidak muncul di acara pernikahan mereka.

Tidak lama kemudian ibunya seringkali terlambat memberikan uang hasil dari kerjanya. Kalaupun saat dia mendapatkan haknya, hasilnya telah dipotong oleh ibunya.

Demi menghidupi keluarga barunya, pria ini memutuskan keluar dari pekerjaan di hotel dan mencari pekerjaan lain. Dia rela melepaskan kepimilikan atas hotelnya dan menyerahkan sepenuhnya pada ibunya.

Dia memang menghormati ibunya tapi dia juga tidak bisa membiarkan istrinya ditindas oleh ibunya. Karena itu dia memutuskan untuk berpisah dari beliau.

Karena dia disekolahkan di sekolah yang biasa, tidak ada perusahaan yang mau menerimanya sebagai pegawainya. Alhasil, dia mendapatkan pekerjaan sebagai kuli bangunan.

Namun dia sadar, meskipun sepuluh tahun dia bekerja, dia tidak akan bisa membahagiakan istrinya. Dia bahkan juga tidak akan bisa memanjakan putrinya yang akan lahir dengan boneka ataupun baju yang cantik.

Dia mencari dan terus mencari sebuah pekerjaan yang bisa menghasilkan uang besar dan cepat. Akhirnya dia menemukan satu.

Sebuah pekerjaan yang cocok untuknya dan bisa menghasilkan uang besar dalam waktu singkat. Namun pasti ada harga yang harus dibayar. Dia harus berdedikasi pada pekerjaan tersebut selama dua tahun penuh dan resiko yang dihadapinya adalah nyawanya.

Meskipun begitu, demi melihat senyuman bahagia istri dan putrinya dia rela mempertaruhakan nyawanya.

Pada akhirnya dia berhasil masuk kedalam usaha pertambangan minyak. Selama dua tahun dia tidak bertemu dengan istrinya, dia bahkan melewatkan pertumbuhan putrinya yang baru lahir.

Dia ingin segera menemui putrinya. Dia penasaran seperti apa wajahnya, suaranya, matanya. Apakah persis sama seperti ibunya atau seperti dirinya?

Anaknya adalah perempuan, jadi dia yakin putrinya pasti cantik seperti ibunya. Dia sudah tidak sabar lagi menunggu pertemuannya dengan putrinya.

Akhirnya hari yang ditunggu-tunggunya pun datang. Dia berdiri didepan rumahnya yang sederhana, melihat sosok seorang wanita yang berjalan kearahnya sambil menggendong seorang anak perempuan.

Dia memang tidak bisa membayangkan seperti apa wajah putrinya, tapi persis yang diduganya... putrinya sangat cantik, secantik ibunya.

"Ayo Joy. Coba panggil papa."

Dia mengira putrinya akan malu-malu terhadap orang yang tidak pernah ditemuinya, tapi dia salah.

Anak itu menatapnya dengan rasa penasaran dan memanggilnya dengan suara yang merdu.

"Pa..pa.."

Suara putrinya saat menyebut 'papa' sangat menyentuh hatinya. Dia tahu untuk seukuran pria berbadan besar seperti dirinya tidak seharusnya menunjukkan air matanya didepan umum.

Tapi dia tidak peduli, dia sangat merindukan keluarganya dan membiarkan air matanya keluar dari tempatnya membasahi pipinya.

Istrinya yang melihat tangisannya, tersenyum lembut dan mengusap air matanya sambil berkata,

"Selamat pulang."

Dia memeluk erat istrinya beserta putri dalam dekapan mereka. Dia merasa lega bisa pulang, dia merasa nyaman berada dirumah dimana keluarganya berada.

Dia tidak akan pergi lagi, dia memutuskan untuk tidak lagi meninggalkan keluarganya.

Uang yang dia hasilkan jauh lebih dari cukup untuk menghidupi mereka bertiga. Bahkan dana untuk pendidikan Joy hingga kuliahpun sudah tersedia.

Dia tidak perlu lagi bekerja, dia hanya ingin mencukupi segala kebutuhan istri dan putrinya, terlebih itu semua dia ingin menghabiskan waktu bersama dengan mereka.

Beberapa hari kemudian, dia membeli sebuah rumah yang besar untuk istri dan putrinya. Dia ingin keluarganya hidup berkecukupan dan bahagia.

Kemudian dia juga membeli satu buah mobil yang tidak terlalu mahal tapi juga tidak terkesan murah. Setelah itu, sisa uang yang didapatinya diserahkan penuh pada kendali istrinya.

Dia tidak perlu lagi bekerja, dia hanya keluar untuk mengobrol dengan teman-teman yang dulu pernah menjadi pelanggan tetap di hotelnya. Mereka akan membahas mengenai soal bisnis dan lain sebagainya.

Selebihnya dia menghabiskan waktunya untuk keluarganya. Dia bisa melihat masa depan keluarganya yang harmonis dan cerah. Dia juga tidak sabar menanti putrinya beranjak dewasa dan dia akan menjadi sangat pemilih dalam hal memilih jodoh untuk putrinya.

Namun kenyataan berkata lain. Dalam kurun lima tahun, uang yang seharusnya cukup untuk hidup berpuluh puluh tahun kini hanya cukup untuk satu tahun kedepan.

Kemana uang yang telah dia berikan pada istrinya?

Dia sama sekali tidak keberatan jika istrinya berbelanja barang barang mewah, tapi dia sama sekali tidak melihat satupun barang mewah di rumah ini.

Jika istrinya tidak belanja barang mewah, lalu kemana semua uang itu?

"Suamiku, bisa tolong aku?"

"Ada apa?"

"Aku punya hutang di bank, tapi uang kita sudah menipis. Bisa tidak kamu bekerja lagi cari uang yang banyak?"

Pelipis sang suami berkedut. Inilah yang ingin dia tanyakan. Keberadaan uang mereka patut dipertanyakan dan kini dia mendengar kabar bahwa istrinya memiliki hutang di bank?

"Bagaimana bisa? Apa saja yang kamu belanjakan sampai terlilit hutang?"

"Jadi kamu menyalahkanku?"

Sang suami hanya mendesah pasrah. Meskipun dia sangat ingin tahu kemana uang mereka, tapi dia tidak ingin berdebat. Dia sangat mengenal pribadi dari istrinya.

"Baiklah. Berapa jumlahnya?"

Begitu istrinya menyebutkan sejumlah nominal, kesabarannya sudah mencapai batasnya.

"APA!? Bagaimana bisa kau mendapat hutang sebanyak itu? Seharusnya uang yang waktu itu masih ada dan tidak perlu berhutang pada bank." dan entah kenapa dia menjadi hilang kendali dan terus mengomel.

Setelah berdebat panjang lebar akhirnya istrinya membuka pengakuannya. Ternyata setelah melihat mereka menjadi makmur dan memiliki rumah mewah, saudara saudara istrinya datang 'berkunjung' ke rumah ini.

Singkatnya, secara tidak langsung mereka minta uang untuk dijadikan modal usaha mereka. Sayangnya, tidak ada satupun yang berhasil. Ada yang bangkrut dan akhirnya tutup, ada juga yang masih belum membayar.

Yang terlebih membuatnya marah, bahkan setelah mengalami kebangkrutan, mereka membuka usaha lagi dan mengalami hasil yang sama. Semua modal usaha mereka berasal tidak lain dari uang mereka... uang untuk keluarganya.

Mendengar semua ini membuat dirinya geram dan tidak mampu untuk berkata kata. Dia bukan marah pada istrinya, tapi pada saudara-saudara istrinya.

Berani sekali mereka memanfaatkan kebaikan hati istrinya? Hutang? Bukankah itu hutang mereka? Usaha mereka sendiri? Jangan pernah berharap dia akan membayar hutang mereka.

Tanpa bicara lagi, dia pergi ke luar rumah untuk menenangkan dirinya. Dia tidak ingin emosinya yang luar biasa ini menyakiti istri maupun putrinya.

Namun seiring berjalannya waktu dia tidak tega melihat istrinya yang tertekan. Tidak hanya itu, istrinya mulai mengajukan cerai padanya hampir setiap hari.

Tidakkah istrinya sadar bahwa dia berani mengambil resiko nyawanya demi kepentingan keluarga ini? Demi kebahagiaan dan masa depan keluarga ini?

Tapi hanya karena istrinya merasa kasihan pada saudara-saudaranya, semua harapan dan impiannya hancur seketika. Semua jerih payah selama dua tahun dia meninggalkan mereka juga sia-sia.

Lalu, jika istrinya dan putrinya hidup dalam kemiskinan hanya karena istrinya kasihan pada saudara-saudaranya, untuk apa dia bekerja selama dua tahun mrmpertaruhkan nyawanya?

Meskipun begitu, dia tetap kembali ke pekerjaannya yang lama. Untungnya, dia selalu menjaga tubuhnya tetap bugar sehingga dia bisa diterima lagi di pertambangan.

Sekali lagi dia membutuhkan waktu dua tahun penuh untuk mendapatkan hasil yang diinginkan.

Setelah dua tahun bekerja, dia tidak begitu bersemangat untuk kembali pulang. Dia tahu akan kemana uang ini nanti setelah diserahkan pada istrinya.

Namun satu-satunya yang tetap membawa kakinya ke rumah adalah putrinya. Bahkan disaat putrinya mulai menjauh darinya, bersikap dingin padanya.. dia masih bertahan.

Hingga disatu titik saat dia sudah mulai tidak kuat.

"Bukannya lebih baik kalian cerai saja? Kau seringkali membuat mama marah dan sakit. Kau juga tidak peduli dengan keadaan keluarga ini. Apa gunanya keberadaanmu disini?"

Apa gunanya keberadaannya dikeluarga ini? Bukankah dia tetap ada disana demi menjaga keutuhan keluarga?

Namun dalam hati kecilnya dia sudah tahu, bahwa keluarga ini sudah lama retak. Sudah tidak ada jalan untuk diperbaiki dan dia sudah lelah berusaha mempertahankannya.

Karena itu... dia memutuskan untuk bercerai.

avataravatar
Next chapter