webnovel

I. Lily

Seorang anak berwajah sangat cantik berusia 7 tahun tengah asyik bermain. Ia berlarian mengitari pekarangan rumahnya yang asri. Setelah merasa puas, anak itu memetik 7 tangkai bunga lily putih yang sedang bermekaran. Pohon bunga lily itu adalah bunga kesayangan mendiang Ibunya yang telah pergi 3 bulan lalu.

Albert sang ayah sedang tertelungkup di atas meja didepan TV, Ia tak sadarkan diri karena banyaknya minuman beralkohol yang telah dia telan masuk ke dalam tubuhnya. Kedukaan ditinggalkan sang Istri telah membuat Albert mengalami masa berkabung yang berkepanjangan. Albert tak lagi menyadari di manakah sang buah hatinya berada.

Anak itu berjalan keluar dari pagar rumahnya. Ia menyusuri jalan setapak berbatu. Anak itu bersenandung sembari merentangkan kedua tangan dan memutar-mutar bunga lily yang berada di dalam genggamannya seakan-akan bunga itu adalah sayapnya.

Anak itu tak menyadari Ia melangkah terlampau jauh dari rumah. Ia terus berjalan menuju jalan utama. Jalan yang sering kali Ia lewati ketika berbelanja dengan mendiang Ibunya ke mini market terdekat.

Wajahnya yang cantik itu terus tersenyum dan bersenandung dengan suara yang pelan. Rambutnya yang ikal sebatas pundak terlihat cantik di permainkan angin yang bertiup dengan lembut. Ia memiliki pipi yang bersemu merah dan bibir mungil yang menawan. Anak itu terlihat serasi sekali mengenakan sweater merah menyala yang terang. Terlihat kontras dengan kulitnya yang berwarna putih pucat. Segala yang Ia kenakan semakin menambah kecantikannya. Ia memakai celana pendek selutut dan sandal jepit berwarna merah dengan motif Avenger.

Segerombolan lelaki mabuk sedang duduk di pinggiran jalan. Mereka terlihat berantakan dan juga sempoyongan. Kata-kata yang mereka ucapkan tak terdengar dengan jelas. Mereka semua cadel karena terlalu banyak memakai narkoba yang menganggu kinerja syaraf di otak.

Seorang lelaki dari mereka tertarik dengan kecantikan wajah anak berusia 7 tahun yang melintasi jalan tepat di depan mereka.

"Hai gadis kecil!" Seorang dari mereka mendekat. Anak itu beringsut memundurkan langkah. Ia berusaha menjauh dari lelaki yang mendekatinya.

"Siapa namamu?" Lelaki itu mengusap kepalanya.

Anak itu menggelengkan kepalanya perlahan. Ia merasa ketakutan. Lelaki itu melihat 7 tangkai bunga lily di tangannya.

"Baiklah, karena kau tak mau bilang, aku akan memberikanmu nama Lily, Kau suka? Lily..." Lelaki itu semakin mendekat.

"Lily kau mau permen? Aku punya banyak permen." Lelaki itu tersenyum menjijikkan.

"Aku tidak boleh bicara dengan orang asing …" Anak itu menjawab dengan suara yang bergetar karena ketakutan.

"Baiklah, namaku Erick. Sekarang kita bukan lagi orang asing. Lily apakah kau mau permen?" Erick meraih tangan anak itu.

Lily mengangguk tanpa bicara. Erick menuntunnya berjalan menuju ke sebuah rumah kosong yang telah lama di tinggalkan.

Lily menghentikan langkah dan menarik tangannya dari gengaman Erick. Ia enggan masuk ke dalam. Lily merasa ketakutan saat mereka memasuki rumah tua yang setengah roboh.

"Jangan takut Lily aku akan memberikanmu permen lolipop yang besar saat di dalam sana." Erick menggendong Lily. Ia merasa khawatir jika Lily melarikan diri.

Ketika sampai di dalam rumah tua itu, Erick melepaskan celananya. Ia menarik kepala Lily dengan kasar.

"Ini lolipopmu Lily..." Mata Erick berubah mengerikan.

Lily menangis. Ia mengingat wajah itu sangat lekat di dalam kepalanya. Bahkan terlalu dalam hingga Lily tidak pernah lagi menjadi anak yang sama.

**

"Hi cantik..." ucap seorang lelaki usia pertengahan 20-an mendekati gadis yang tengah menyandarkan tubuhnya pada dinding pertokoan pasar yang gelap.

Lelaki itu memandangi gadis di depannya penuh minat. Imajinasinya melambung saat melihat paha si gadis yang mulus menyeruak di antara rok mini yang ia pakai. Gadis itu lalu melipat kaki kanannya dan menempelkan telapak kaki pada dinding. Ia membuat posisi yang lebih menantang nyali.

Paha Gadis itu kini hanya tertutup sejengkal saja dari selangkangannya. Pose menantangnya itu terlihat bagaikan cahaya yang menyilaukan di tengah malam. Di dalam pasar yang gelap dan sunyi mencekam.

Gadis berbaju merah, memakai rok mini berbahan jeans. Serta sarung tangan merah yang menutupi hampir separuh tangannya. Gadis berparas menawan itu tersenyum lugu. Ia memberikan kerlingan menggoda.

"Siapa namu sayang?" Lelaki itu mendekat dan menelanjangi tubuh gadis itu dengan khayalan tak berbatas.

"Lily." Si gadis kembali tersenyum manis.

"Apa yang kau lakukan di sini, Lily?"

"Aku sedang mencari teman. Aku kesepian" Lily tersenyum rumit.

"Bagaimana jika aku menjadi teman untuk mengobati kesepianmu?" Pemuda itu semakin berani dengan adanya kode rahasia yang di ucapkan Lily.

"Tentu mari kita ke dalam. Kita mencari tempat yang tertutup." Lily menarik tangan pemuda itu tanpa rasa canggung.

Pemuda itu bagaikan menghirup angin surga yang berhembus, ia mencium aroma kenikmatan yang segera ia dapatkan.

Mareka masuk lebih jauh ke dalam blok pertokoan yang semakin sunyi. Lily kemudian secara tiba-tiba menghentikan langkahnya.

"Kurasa di sini saja." Lily tersenyum dalam kegelapan. Giginya yang putih tersusun rapi terlihat jelas meski minim pencahayaan.

"Kau siap? Apakah kita melakukannya di sini sambil berdiri?" Pemuda itu tak lagi dapat bersabar. Ia berusaha membuka kancing celananya.

"Sabar... Aku suka yang romantis dengan banyak sentuhan." Lily menatap lelaki itu dengan lekat. Senyuman tak pernah hilang dari bibirnya.

"Baiklah, Gadis Manis.." Pemuda itu mengecup bibir Lily. Namun Lily menghindar dengan cepat. Ia mengarahkan bibir pemuda itu ke lehernya.

lelaki itu menciumi tiap inci leher Lily yang beraroma bunga.

Lily mengambil sesuatu dari balik roknya...

"Aaarrrrgggg!!" Pemuda itu jatuh dan terkapar dengan luka menganga di bagian lehernya.

Lily kemudian memotong kuku jemari tangan pemuda yang tak lagi bernyawa itu. Ia memungutnya dengan hati-hati lalu pergi.

Liliy segera mengganti baju yang bersimbah darah dan melepas Wig yang Ia kenakan. Lily melapisi sepatunya dengan kantong plasik. Ia tak ingin bercak darah dari sepatunya akan menuntun polisi menemukan di mana langkah kakinya berhenti. Lily pergi menghilang di kegelapan malam.

**

Morgan dan Hellen serta anggota kepolisian yang lain memadati pertokoan pakaian di kota M. Mereka memasang garis polisi berwarna kuning di sekitar temapat kejadian. Tim forensik menggelengkan kepala mereka karena tak menemukan bukti apa pun.

"Siapa dia? Mengapa bisa tak ada bukti sedikit pun. Bahkan dia menyempatkan memotong kuku korban demi menghindari adanya kemungkinan jaringan kulit pelaku yang menempel …" Morgan berbicara dengan tim forensik.

"Aku kan melakukan autopsi untuk menyelidiki lebih dalam." ujar Stevan, seorang dokter forensik.

"Morgan aku mendapat kabar korban adalah seseorang yang pernah dilaporkan melakukan pelecehan seksual oleh pekerja di pertokoan ini 3 bulan lalu. Namun Ia dibebaskan karena tidak ada bukti yang cukup." Hellen memandangi Morgan dengan tatapan rumit. Iris mata Hellen yang berwarna biru menampakkan kegelisahan.

"Kita akan cari tau, Kita bisa minta keterangannya." Morgan mengangguk. Mereka semua merasa tertekan. Ini adalah kali ketiga terjadi pembunuhan dengan motif yang sama, yaitu dengan cara korban digorok lehernya. Tak pernah ada titik terang apakah pelaku laki-laki atau perempuan. Dan selama ini tak pernah ada saksi.