1 He is My Husband

Aku harus tersenyum.

Kupaksakan sudut bibirku terangkat tinggi hingga senyuman terbaikku bisa disaksikan seluruh orang. Genggaman lenganku terasa kaku meski wajahku tak menunjukkan itu. Kubalas lambaian para tamu dengan senyuman manis, berharap emosi tak mengambil alih raut wajahku.

Aku mengikuti pria di sebelahku berjalan perlahan, dengan sabar menunjukkan kebahagiaan pada semua tamu yang hadir dan sesekali tertawa meski hatiku lebih ingin untuk mengulitinya. Pria itu balas tertawa, mungkin juga berpikir bahwa jika saja tak ada saksi mata, dengan senang hati dia akan mencekik leherku hingga biru.

Tapi sandiwara ini hanya akan berakhir kalau kami bersedia untuk menahannya. Karena ketika lampu gedung dipadamkan, seluruh orang telah kenyang memberikan ucapan selamat dan tinggalah kami berdua dalam ruangan sepuluh meter yang penuh kado dan tumpukan bunga di atas ranjang, saat itulah kedua mata kami akan penuh permusuhan. Kami akan menghabiskan malam tertidur dengan benak penuh dengan rencana pembunuhan, bukan belaian dan ciuman.

"Seret bokongmu dari sini, Noah. Kalau bisa jangan pernah kembali."

Noah tersenyum sinis dengan pelototan di wajahnya. Ia bisa saja tampan. Nyaris. Kalau saja kata-katanya tak penuh cacian.

"Your wish, bicth. Kau saja yang pergi ke neraka. Para setan pasti senang pada kepulangan ratu mereka."

"Biar kutunjukkan padamu seperti apa neraka, fckboy." Kataku marah. Cepat-cepat kuambil pistol angin dari bawah bantalku dan mengarahkannya pada kepala Noah tepat ketika bayangannya bergerak lebih cepat dari perkiraanku.

Gerakan Noah tanpa cela saat ia memukul lenganku dan meraih pistol itu dari ruas jariku secara paksa. Aku berusaha menendang kakinya, tetapi ia terlalu cepat menghindar dan malah berhasil mengunci kedua tanganku di balik punggungku. Aku meronta, berusaha mencari titik lemahnya sementara ia melepaskan dasi di lehernya dan mulai mengikat pergelangan tanganku dengan kasar.

"Jangan jadi lebih dari wanita jalang, Alyssa. Bukankah kita harus istirahat malam ini?" Ujar Noah sinis setelah berhasil memojokkanku hingga tak berdaya.

"Usahamu cukup bagus, keparat busuk. Kata siapa kita akan tidur tenang? Tunggu setelah aku berhasil merobek jantungmu!"

Noah tersenyum kali ini. Ia melipat tangannya di dada lalu menatapku dari atas hingga ke bawah. "Itu ancaman yang menakutkan, Alyssa." Katanya separuh tertawa. "Atau haruskah itu menjadi tawaran? Tidak, terima kasih. Seleraku masih lebih tinggi dibandingkan papan cucian."

Aku menggeram padanya sementara ia tergelak oleh pernyataannya sendiri. "Siapa bilang aku mau tidur denganmu, jahanam busuk? Kau tak akan pernah jadi pilihanku meskipun kau manusia terakhir di muka bumi!"

Tawa Noah lenyap. Ia ganti menatapku bengis. "Bagus. Ingat itu dalam otakmu, perempuan murahan. Karena jika kau berani menyentuhku, kau akan mati mengenaskan."

"Benar-benar suami yang baik hati." Ejekku tersenyum.

Noah membalas senyumanku sebelum mengikat tirai jendela ke langit-langit dan menggantungku terbalik di tengah ruangan. "Aku memang sangat manis, sayang. Jadi jangan berisik dan tidurlah sebelum aku melubangi kepalamu dengan senjatamu sendiri."

Lihat, kan? Bagian mana dari pernikahanku yang bisa kusebut bahagia?

avataravatar
Next chapter