webnovel

Let Go (Omegaverse)

Bercerita tentang bagaimana para tokoh Let Go meraih kebahagiaan mereka. Baik itu lewat pencarian yang panjang, menemukan dengan mudahnya, mempertahankan yang sudah ada, maupun dengan melepaskan yang selama ini berada di genggamannya. . . Berlatar belakang "Omegaverse", dimana selain laki-laki dan perempuan ada gender kedua yaitu Alpha, Beta dan Omega. Karena berlatar omegaverse, jadi dalam cerita ini, baik laki-laki maupun perempuan, dua-duanya bisa hamil. So, bagi yang merasa tidak nyaman dengan tema 'homoseksual' dan juga 'male preganancy', diharapkan untuk tidak membaca cerita ini. # LGBTQ+ # Male Pregnancy # Omegaverse # 17+

Leuchtend · LGBT+
Not enough ratings
48 Chs

The Heat

Hari ini Eckart dan Nuri pergi ke rumah utama. Jadi aku memutuskan untuk di rumah saja sambil membereskan beberapa pekerjaan yang belum aku kerjakan sama sekali.

Namun, belum selesai mengeluarkan cucian dari mesin cuci, aku merasakan sensasi panas menjalar keseluruh tubuhku. Sensasi geli di bagian perutku memberikan rasa yang sangat tidak menyenangkan dan benda diantara kedua kakiku tiba-tiba berdiri dengan penuh semangat.

Oh no, hal yang selalu aku khawatirkan terjadi.

Aku membungkuk dan memeluk perutku dengan erat. Berusaha meredam nafsu yang mulai mengendalikanku mereda. Namun, hal yang aku lakukan sia-sia.

Tidak hanya benda di selangkanganku saja yang mengeras, lubang belakangku pun ikut berdenyut. Aku bisa merasakan celanaku mulai basah.

Aku ingin alphaku memelukku dan memuaskan nafsuku.

Tess..

Darah menetes dari bibirku. Aku menggigitnya untuk mengembalikan kesadaranku.

Dengan susah payah aku berjalan menuju kamarku dan kemudian mencari surpressant yang kemarin diberikan oleh dokter Ryan kepadaku.

Setelah mencari di semua sudut kamar, aku tidak menemukannya. Aku mencoba mengingat kembali dimana aku meletakkannya.

Ah, sial, sepertinya tertinggal di mobil Eckart.

Raymond, tiba-tiba saja aku teringat teman baikku itu. Biasanya aku menghubungi dia ketika hal ini terjadi padaku, tapi sekarang keadaannya berbeda. Aku tidak sedang berada di kediamanku sendiri.

Persetan dengan rumah Eckart. Aku akhirnya menghubungi Raymond untuk datang ke sini.

Tidak butuh waktu lama. Aku bisa mendengar suara mesin mobil berhenti di depan rumah.

Dengan kekuatan yang entah datang darimana, aku berlari secepat kilat membukakan pintu demi menyambut sosok yang sudah aku nantikan.

Raymond yang baru saja keluar dari mobilnya langsung berlari ke arahku dan memelukku. Aku yang sudah tidak bisa berpikir jernih langsung menyambut pelukan Raymond. Menghirup aroma tubuhnya yang sangat manis dan menggoda.

Aku menatap wajah Raymond, "Please... Raymond please, aku sudah tidak kuat lagi."

Raymond mengangkat tubuhku. Aku berpegangan padanya dengan erat agar tidak terjatuh. Dengan sentuhan kakiknya, Raymond menutup pintu.

Gairah ini sudah mengalahkan akal sehatku. Sesaat setelah pintu itu tertutup aku memagut bibir Raymond dengan penuh nafsu. Raymond menghentikan ciuman itu sesaat, aku menatapnya dengan penuh tanya.

"Kamarmu dimana?" Tanya Raymond padaku.

Aku menunjuk ke arah lorong tak jauh dari dapur. "Disana, sebelah kiri." Setelah menjawab pertanyaan Raymond aku kembali memagut bibir seksi itu.

Sambil terus berciuman, Raymond membawaku ke kamar tanpa menurunkanku dari gendongannya.

Sesampainya di kamar, Raymond membaringkanku di atas kasur dan melangkah menjauh membiarkanku terbaring dengan penuh nafsu untuk menutup pintu.

Aku yang sudah tidak tahan lagi membuka seluruh pakaianku satu persatu.

'Clek...'

Suara itu menandakan pintu kamarku sudah tertutup. Raymond membalikkan badan. Melihatku yang sudah hampir telanjang bulat, Raymond berjalan perlahan ke arahku. Tatapannya tidak lepas dariku.

Karena tahu dia sedang mengamati gerak-gerikku. Akupun mencoba menggodanya dengan melebarkan kedua kakiku dan mengangkat kedua tanganku.

"Raymond, cepat, aku mau kamu."

Raymond membuka bajunya melemparkannya sembarangan dan kemudian naik ke atas tempat tidur. Mengungkung tubuh kecilku dibawahnya, menghimpitku dalam rengkuh lengannya yang kekar.

Nafsuku sudah sampai ke ubun-ubun, aku meraih wajah Raymond dan menarik wajah itu hingga sangat dekat dengan wajahku. Aku langsung memagut bibir Raymond dengan penuh nafsu birahi.

Aku kehilangan akal sehatku bahkan kesadaranku.

Ketika aku membuka mata, badanku sakit-sakit semua dan yang paling sakit adalah bagian belakangku. Ugh... Aku tidak ingat berapa lama kami melakukan hubungan badan. Yang aku ingat adalah aku menarik Raymond dan menciumnya, setelah itu aku tidak ingat apa-apa.

Kemudian aku menyingkap selimut yang sejak aku bangun tadi sudah menutupiku. Seperti biasanya, Raymond selalu membersihkan tubuhku dan memakaikan baju sebelum akhirnya meninggalkanku yang sudah tertidur pulas.

Aku melirik keluar jendela, di luar sudah gelap.

Sayup-sayup aku mendengar langkah kaki mendekati kamarku dan kemudian berhenti. Aku kira sosok itu akan membuka pintu kamarku, tapi ternyata justru tidak. Dan anehnya aku tidak mendengar suara apapun dari luar.

Aku memutuskan untuk mengecek, dengan cepat aku bangun dari tempat tidurku, meraih sweater yang tergantung di belakang pintu dan mengenakannya. Aku pun bergegas keluar.

Brukk...

Aku menabrak sesuatu yang kekar dan kokoh. Aku menengadah dan menemukan Eckart berada tepat di depanku. Dia melihatku dengan tatapan yang tajam seolah-olah ingin memakanku hidup-hidup.

"Maaf." Ujarku pelan. Aku mundur memberi jarak. Aku mengira sosok ini sudah melangkah menjauhi kamarku, tapi ternyata justru masih berdiam diri seperti posisinya saat ini.

"Ck.." Eckart berdecak kesal. Dengan kasar Eckart menyeretku masuk. Mendorongku hingga terduduk di atas tempat tidurku. Aku tidak berani mengangkat kepalaku. Eckart pastilah sedang marah karena aku tidak melakukan tugasku dengan benar.

Eckart masih berdiri di depanku, tidak beranjak sedikitpun dari sejak kami memasuki kamar. Ugh.. Aku menutup mulut dan hidungku. Eckart melepaskan feromonnya, pastilah dia sangat marah hingga tidak bisa mengatur feromonnya sendiri. Tapi bukankah ini terlalu berlebihan? Dia bisa membuatku tidak sadarkan diri dengan feromon sebanyak ini.

Aku mengangkat kepalaku dan Eckart terlihat marah sekali.

"ECKART!" Panggilku dengan sedikit berteriak. Nafasku terengah-engah. Eckart tersentak, sepertinya dia sadar dengan apa yang dia lakukan, "Aku tidak tahu kenapa kamu semarah ini tapi tolong jangan melepaskan feromon sebanyak ini. Kamu mau membunuhku?" Aku marah, ya, marah sekali.

Setelah aku meluapkan kemarahanku, Eckart mundur sedikit menjauhiku.

"Aku tidak marah sama sekali." Eckart diam sesaat sebelum melanjutkan kalimatnya. Aku menengakkan kepalaku, ada apa dengan wajah kesal itu? Kalau memang dia tidak marah harusnya wajahnya tidak seperti itu.

"Aku, aku hanya tidak suka mencium feromon Alpha lain di rumahku." Setelah berbicara seperti itu, Eckart berbalik, berjalan keluar dari kamarku dan meninggalkanku sendiri.