webnovel

Lensa Putri Selatan

Ismurfu_Ufrumsi · Fantasy
Not enough ratings
1 Chs

Langkah Pertama

Suara motor Ed, kakakku, terdengar memekakkan di teras rumah. Ia sengaja menarik gasnya sehingga menimbulkan bunyi yang menyuruhku untuk cepat berkemas.

Aku berdecak kesal. Tanganku cekatan membereskan meja makan dan menyambar ranselku, berlari kecil keluar rumah. Lantas menutup dan mengunci pintu rumah.

"Sepatuku dimana, Kak?" tanyaku merogoh rak sepatu.

Ed yang berpenampilan rapi dengan pakaian kerjanya menunggangi motor dan memain-mainkan kaca spionnya. "Kemaren kamu jemur di belakang."

Aku menepuk dahi. Betul juga. Kemarin aku mencuci dan menjemur sepatuku di belakang rumah. Namun aku tak sadar jika sudah kering, kubiarkan semalaman menggantung di jemuran dan terhembusi udara malam. "Nggak Kakak angkat, taruh disini, gitu?"

Ed mengangkat bahu. "Salah sendiri lupa."

Aku melotot dan membuka kunci pintu rumah. Bergegas mengambil sepatu dan secepat kilat memasang talinya.

Ed mengomel sepanjang tali teus masuk ke lubang di sepatuku, "Udah tau hari sibuk masih aja teledor, kurang persiapan. Harusnya detik ini udah siap atribut dari atas sampe bawah. Kamu, mah nggak papa kalo telat dateng ke sekolah. Kalo Kakak yang telat, gaji Kakak bisa dikurangi atau malah bisa jadi dikasi pesangon, suruh minggat. Kalo gitu caranya, ntar kita mau makan apa, hm?"

Tak memedulikan keestetikanku memasang tali sepatu, aku memakai helm dan naik ke jok belakang motor Ed dengan kasar. "Gaspol omelannya sampe telat beneran," sindirku.

Ed menutup mulutnya dan mulai melajukan roda motornya, meninggalkan pekarangan rumah.

Angin pagi yang menerpaku mengingatkanku akan sensasi terakhirku berangkat ke sekolah sebulan lalu. Rambut panjangku terurai ke belakang, berkibar seakan mencoba menjauh dariku.

Tepat hari ini, adalah hari pertamaku memakai seragam putih abu-abu yang selayaknya dikenakan anak SMA di Indonesia. Melepas jenjang SMP ku yang sungguh menyenangkan.

Jalanan sudah mulai ramai oleh kendaraan. Hampir setiap persimpangan lampu merah, deretan mobil dan motor mengular ke belakang menunggu giliran menyebrang dan membelok. Ed menyetir motornya dengan gaya khas anak muda, bermanuver tidak santai dan mengabaikanku yang terus mencengkeram pinggangnya berusaha untuk tidak berteriak. Deru knalpotnya membuat beberapa kendaraan membunyikan klakson karena kesal dengan Ed.

Matahari yang cerah agaknya ikut menunjukkan bahwa hari ini adalah hari baik-baik saja. Semoga saja. Terlepas dari ulah Ed yang tak mau terlambat datang ke tempat kerjanya. Padahal masih ada waktu setengah jam lebih sebelum pukul tujuh, kami tidak akan terlambat. Tapi Ed ingin memberikan kesan baik pada bosnya untuk tidak datang agak kesiangan.

Sesampai di depan gerbang sekolah baruku, Ed mencium keningku cepat, mengucap sepatah dua patah kata dan menancap gas meninggalkanku.

Aku melambaikan tangan miris. Tidak memedulikan orang-orang melihatku aneh dan ekor motor Ed yang mulai tak terlihat.

Sekolah baruku adalah salah satu gedung besar dan terbagus yang pernah kumasuki. Dengan gerbangnya setinggi tiang listrik dan hiasannya yang tajam meruncing ke atas membuat penjahat harus berpikir dua kali untuk memanjatnya.

Terdiri dari tiga gedung besar tiga lantai yang mengelilingi lapangan. Dua gedung untuk kelas-kelas. Satunya untuk kantin, ruang guru, ruang olahraga, labolatorium, kolam renang, dan lainnya.

Aku agak melongo ketika berkunjung kemari, dulu saat menyelesaikan pendaftaran bersekolah disini. Yang kutahu, sekolah ini adalah sekolah elit yang tidak mungkin orang sepertiku mampu membayar biayanya. Namun kepintaran dan prestasiku membawaku pada keputusan beasiswa yang amat kusyukuri dan aku berharap semoga ini pilihan terbaikku untuk menorehkan prestasiku bagi negeri ini.

Sekolah ramai siswa-siswi yang berdatangan dan mulai memasuki kelas mereka. Beberapa guru dan karyawan terlihat sedang menikmati sarapan di kantin lantai satu.

Aku menyusuri lorong sekolah sambil celingukan mencari papan yang menunjukkan ruang kelasku, X Mipa 1. Tanpa sadar aku malah menubruk seseorang dan menyebakan tumpukan kertas yang dibawanya jatuh berhamburan di lantai.

Bodohnya aku, yang kutbruk adalah seorang guru! Aku buru-buru menunduk dan membantunya membereskan kertas yang berserakan di bawah. "Maafkan saya, Pak. Saya tidak sengaja," ucapku penuh penyesalan.

Guru muda itu menatapku tajam dari balik kacamatanya. Kami bangkit begitu selesai merapikan tumpukan kertasnya. Aku hanya bisa menunduk menunggu kalimat selanjutnya yang keluar dari guru itu.

"Diyono," gumamnya sinis setelah melirik badge name-ku, mengucapkan nama belakangku. Kemudian ia langsung berlalu tanpa mengindahkan permintaan maafku.

Menyadari rupanya aku menjadi bahan tontonan beberapa orang yang entah kenapa terlihat agak syok, aku menunduk dan melangkah cepat. Menepis pertanyaan yang tertuju pada tingkah guruku tadi dan berusaha melupakan kejadian barusan.