1 Pengkhianatan Kedua

Dila menghentikan gerakannya yang hendak menutup pintu rumah, menajamkan telinga sambil menyipitkan mata. Suara sepasang manusia yang mengerang pelan, terdengar sangat jelas di dalam rumah. Tanpa menutup pintu rumah, Dila melangkah masuk ke rumah lebih dalam, dengan langkah berjinjit untuk menyamarkan suara langkahnya. Kepala Dila menoleh cepat ke arah kamarnya, suara erangan dan desahan itu berasal dari sana. Dada Dila berdegup kencang, mengira-ngira siapa yang sedang memadu kasih di dalam kamarnya saat ini.

Mulya, suami Dila, tidak sedang berada di rumah. Pekerjaannya sebagai seorang supir truk membuatnya hanya bisa pulang sekali seminggu saja, itupun hanya beberapa hari saja berada di rumah. Dia memang berjanji pada Dila akan pulang hari ini, tapi katanya nanti sore. Ratih, perempuan yang membantu beberapa pekerjaan di rumah Dila, pun biasanya sudah pulang di jam segini. Dia hanya bekerja sampai jam sepuluh pagi, sementara sekarang sudah jam dua siang. "Lalu, siapa yang sedang berasyik mahsyuk di dalam rumahku?" Pikir Dila.

Dila menghela nafas panjang dan melepaskannya perlahan, mengumpulkan keberanian yang dia miliki untuk melihat siapa yang berada di dalam kamarnya saat ini.

"Assalammualaikum!! La!! Dila!!"

Teriakan seseorang dari luar tiba-tiba saja menghentikan lenguhan dan erangan yang ada di dalam kamar. Dila yang semula kaget dan langsung menoleh ke arah pintu yang terbuka lebar, kembali menatap ke arah kamarnya. Suara berisik terdengar dari dalam sana, persis seperti orang yang sedang buru-buru melakukan sesuatu untuk menutupi yang barusan terjadi.

"Waalaikumsalam!!"

Mata Dila melotot mendengar jawaban salam dari dalam kamarnya, suara seorang laki-laki yang sangat dia kenali. Laki-laki yang sudah menemaninya selama empat tahun belakangan ini. Itu adalah suara suaminya, Mulya.

Laki-laki itu keluar dari kamar sambil tergesa-gesa mengenakan baju kaos, dia belum menyadari kalau Dila sedang berdiri sambil memperhatikannya dari pembatas ruangan.

"Bang... Tunggu!!"

Belum lagi hilang kekagetannya yang pertama, lagi-lagi Dila melotot kaget. Suara perempuan itu juga sangat dia kenal. Suara perempuan yang sudah enam bulan menemaninya di rumah ini sambil membantunya menyucikan pakaian, menyetrika dan juga membersihkan rumah saat Dila sedang berada di sekolah. Perempuan itu adalah Ratih.

"Aku keluar duluan lewat pintu belakang, sebentar," ucap si perempuan itu dengan manja dan setengah berbisik. Tapi suaranya masih bisa terdengar jelas oleh Dila yang berada di luar kamar.

Tak lama kemudian, Ratih sudah berjalan melewati pintu kamar yang terbuka, sambil memasang kancing kemejanya dengan gerakan cepat dan kepala menunduk.

"Dila!! Assalammualaikum," sahut seseorang yang masih menunggu di luar rumah.

"Waalaikum…." Kalimat jawaban salam dari mulut Mulya langsung terhenti, giliran dia yang melotot kaget saat melihat Dila sedang berdiri menatap dirinya dan Ratih dengan tatapan tajam. Mulya menelan ludah untuk membasahi tenggorokannya yang tiba-tiba saja terasa tercekat.

"Kkkkkak... Kak Dila," ucap Ratih terbata-bata. Wajahnya seketika pucat pasi, begitupun juga Mulya, suami Dila, yang berdiri di sampingnya.

"Dek... Ini... Ehmmm... Ini tidak seperti yang kamu pikirkan," ucap Mulya terbata-bata.

"Memangnya, apa yang sedang aku pikirkan saat ini?" Tanya Dila pelan, seperti sedang berbisik. Mulya lekas menoleh pada Rina, perempuan itu sedang memperbaiki posisi bra nya. Lalu dia menoleh kembali menatap Dila.

"Jawab, Bang!" Paksa Dila dengan nada yang mulai ditinggikan, suara pintu rumah yang didorong ke dalam agar posisinya terbuka lebih lebar terdengar menghentikan percakapan mereka, kedua pasangan mesum itu semakin pucat pasi.

"Dila… ."

"Cepat katakan kepadaku!! Apa yang sedang kalian berdua lakukan di dalam kamarku tadi?!" Bentak Dila lebih kasar lagi, Mulya bergerak maju ketakutan, mencoba mendekati Dila.

"Berhenti!! Tetaplah di sana!!" Lagi-lagi Dila membentak kasar, langkah Mulya sontak menurut berhenti.

"Dila... Ada ap… Astaghfirullah!!"

Bu Retno, orang yang sedari tadi mengucapkan salam dari luar rumah, berteriak kaget melihat pemandangan yang dia lihat di dalam rumah Dila. Beliau langsung menutup mulut yang menganga dengan kedua tangan, kedua matanya melotot tajam menatap Mulya dan Ratih secara bergantian. Dia benar-benar tak menyangka melihat pemandangan Mulya yang sudah mengenakan baju kaosnya, tapi lupa mengenakan celana panjang. Jadi, laki-laki itu hanya mengenakan baju kaos dan celana boxer saja. Sementara perempuan yang berdiri dua langkah di belakang Mulya, mengenakan pakaian secara asal-asalan. Kancing kemejanya saja sampai salah urutan terkancing, membuat kemejanya terlihat miring. Belum lagi rambutnya yang kusut dan wajah keduanya yang berkeringat, tampak seperti dua orang yang baru selesai melakukan olahraga di siang hari.

"Sedang apa kalian berdua!" Bentak Bu Retno, istri dari Pak RT di lingkungan rumah yang ditempati Dila selama ini.

*

Dila terus menatap Mulya dengan tatapan tajam, tidak tahu harus melakukan apa saat ini. Matanya panas, tapi dia memaksa air matanya untuk tidak jatuh sekarang. Ingin mengumpat, tapi apa ada umpatan yang tepat bagi dua manusia yang baru saja melakukan sesuatu yang biasanya dilakukan binatang. Percuma... Apapun yang dia lakukan akan percuma hasilnya. Toh mereka sudah melakukannya, bahkan bukan tidak mungkin mereka sering melakukan ini sebelumnya di rumah ini, hanya saja hari ini keduanya sedang sial. Kegiatan mesum mereka tertangkap basah langsung oleh Dila.

"Jadi, bagaimana La?" Tanya Pak RT, beliau menatap Dila lama, tapi Dila seakan tak peduli pada tatapan Pak RT sekarang. Tatapannya lurus ke arah Mulya yang masih terus menunduk.

"Mau diselesaikan lewat jalur hukum atau kekeluargaan saja?" Pak RT bertanya lagi. Semua warga yang tinggal di lingkungan ini sedang menonton sidang yang dipimpin oleh Pak RT, dengan Mulya dan Rina yang menempati posisi terdakwa.

"Tidak perlu lewat jalur hukum, Pak RT," jawab Dila lemah, suara-suara para warga yang sedang menonton jalannya sidang, terdengar seperti sebuah suara gerombolan lebah yang hendak menyerang. Semuanya menyayangkan keputusan Dila yang tidak mau menyelesaikan masalah ini lewat jalur hukum. Komentar-komentar pedas bak rintik hujan yang disertai angin kencang yang menerpa wajah... Pedih.

Mulya mulai berani mengangkat kepala untuk membalas tatapan Dila. Hidungnya kembang kempis serasa sudah memenangkan hati istrinya untuk memaafkan kekhilafan indahnya.

"Saya hanya ingin mereka segera pergi dari rumah saya ini, khususnya Bang Mulya," sambung Dila dengan kalimat tegas, wajah Mulya seketika berubah. Dia mulai menarik nafas untuk mengucapkan sesuatu, tapi lekas ditahan oleh Dila dengan cara menghadapkan telapak tangannya ke arah Mulya.

"Aku tidak butuh penjelasan, aku hanya butuh perpisahan!" Ucap Dila lagi, Mulya lekas menggeleng-gelengkan kepalanya, tak terima dengan keputusan yang dibuat secara sepihak oleh istrinya itu.

"Nikahi perempuan itu segera, tidak akan mudah baginya menanggung malu. Semua warga sudah tahu apa yang sudah kalian lakukan, setelah ini dia pasti akan menerima cacian dan hinaan."

Dila lalu menoleh pada Rina yang sudah dianggapnya seperti saudara sendiri.

"Seorang perempuan seharusnya bisa menjaga martabatnya sebagai calon Ibu. Kasihan sekali anak-anakmu nanti, jika suatu hari mereka tau kalau Ibunya harus merebut suami orang terlebih dahulu agar mendapatkan status istri," ucap Dila pada Ratih, perempuan itu mendengus kesal dan membuang muka.

Pak RT beserta warga akhirnya membawa pergi Mulya dan Ratih dari rumah Dila. Masalah dengan Dila sudah selesai, tapi keduanya masih harus menyelesaikan masalah dengan warga sekitar, juga membayar denda atas perbuatan yang sudah mereka lakukan tadi. Dila menutup pintu rumahnya setelah semua tamunya meninggalkan rumah. Setelah pintu tertutup, Dila menyandarkan tubuhnya ke pintu. Perlahan tubuhnya luruh dan jatuh ke lantai, tangis yang sedari tadi ditahan akhirnya pecah juga. Dila menangis sejadi-jadinya untuk meluapkan rasa sesak yang menghimpit dada.

avataravatar
Next chapter