webnovel

Ungkapkan Saja!

"Pram, kalau boleh tahu, kapan kamu akan jujur sama Mimi soal perasaan kamu?" tanya Tama.

"Apa udah waktunya Tam?" Pram balik bertanya.

"Ya aku ngga tahu. Karena kamu kan yang punya rencana dan target?".

" Kalau kamu sendiri kapan?" lagi-lagi Pram balik bertanya.

Tama menghela nafas sebelum akhirnya berkata, "Aku masih butuh waktu untuk meyakinkan diri. Beda dengan kamu, yang sejak awal sudah yakin."

"Owh, jadi kamu belum yakin sama perasaan kamu? Jadi ngapain bilang kalau kita akan bersaing?".

"Aku bukan ngga yakin tentang perasaanku Pram. Aku harus meyakinkan diri apakah aku siap akan kehilangan dia sebagai sahabat, saat aku ditolaknya nanti?".

" Ditolak? Kenapa kamu pikir akan ditolak? Memangnya kamu tahu perasaan dia?".

"Setidaknya aku tahu bahwa kamu memiliki peluang lebih besar dari aku Pram!".

Pram menatap Tama dengan wajah bingung. "Dari mana kamu menyimpulkan demikian?".

Tama menunduk, kemudian sambil memejamkan mata, dia berkata, " Anggap aja, aku tahu rahasia kecil dia."

Pram terdiam mendengar perkataan Tama. Dia benar-benar tak mengerti apa maksud Tama. Jujur, sebenarnya dia merasa sedikit iri pada Tama karena kedekatannya dengan Mimi. Kata orang cinta bisa hadir karena terbiasa kan? Namun perkataan Tama barusan membuatnya bingung sekaligus membuat harapannya membumbung tinggi walau dia sendiri tak tahu apa alasan Tama berkata demikian.

"Ungkapkan aja semuanya Pram. Supaya kamu lega."

"Apa Mimi memang punya perasaan yang sama dengan aku Tam?".

" Dia punya alasan lebih dari sekedar perasaan untuk menerima kamu."

"Kalau kamu yakin bahwa aku pasti diterima oleh Mimi, kenapa kamu masih nekat juga untuk berjuang? Apa bukan kamu merasa ada peluang yang sama untuk kamu sendiri?".

" Aku berjuang agar aku tidak menyesal Pram. Setidaknya aku pernah berusaha untuk bisa mendapatkan dia."

"Aku benar-benar penasaran dengan apa yang membuat kamu begitu yakin bahwa aku pasti jadi pemenangnya."

"Aku ngga berhak menjawabnya. Biar nanti dia yang akan menjelaskannya sendiri."

"Okey, kalau aku ungkapkan ke dia sekarang, kamu bagaimana?".

" Maksudnya?".

"Seandainya aku ungkapkan lebih dulu, dan aku diterima, kamu ngga akan pernah mengungkapkannya dong? Atau kamu tetap ungkapkan tapi tak mengharapkan jawaban?".

" Jujur Pram, sebenarnya aku pesimis, karena aku tahu peluangku kecil sekali. Tapi Rani menyarankan aku untuk tetap mencobanya. Hanya saja, apakah setelah itu aku akan bisa berteman seperti biasa dengan dia?".

"Aku ngga kenal secara pribadi dengan Mimi, seperti halnya kamu. Tapi apakah kamu memang melihat demikian? Mimi akan menjauhi orang yang pernah menyatakan perasaannya?".

Tama berpikir sejenak, sebelum akhirnya berkata, " Ngga sih Pram. Sama Irfan dia tetap seperti biasa."

"Irfan? Maksud kamu Irfan teman kamu yang kemarin? Memang dia pernah suka sana Mimi? Tapi masa ditolak? Irfan kan... "

"Iya, Irfan yang itu, salah satu idola kampus seperti kamu Pran," kata Tama sambil tersenyum.

"Waduh, Irfan aja ditolak? Memang kapan Irfan bilang semuanya sama Mimi?".

" Saat liburan kemarin, di villa Cisarua."

Pram menggaruk hidungnya yang tak gatal. Sejenak hatinya meragu.

"Tenang, seperti yang aku bilang, Mimi punya satu alasan selain tentang perasaan untuk nerima kamu Pram."

"Aku pernah bilang sama dia dulu, aku sudah punya seseorang yang aku harapkan bisa mendampingi aku kelak. Dan aku akan menjemput dia kalau aku sudah siap untuk menikahi dia."

"So, nunggu apalagi? Kamu udah siap kan? Usaha kamu juga berjalan dengan baik. Meski masih kuliah, kamu mampu menghidupi seorang istri kan? Dan Mimi pun sebenarnya udah tahu soal perasaan kamu. Dia sedang menunggu kamu."

"Bagaimana kalau perkiraan kamu salah? Ternyata dia menolak aku?".

" Berarti aku akan maju!".

"Dasar, curang kamu!".

Tama tertawa mendengar ucapan Pram.

" Jadi gimana?" tanya Tama lagi.

"Aku akan bicara sama Mimi secepatnya. Meski kamu bilang peluangku lebih besar entah dengan alasan apa, aku tak mau terlalu percaya diri. Karena manusia bisa berubah. Aku tetap mempersiapkan diri untuk kecewa."

---

"Mi, ada waktu sebentar? Ada yang mau aku bicarakan." kata Alan pada Mimi.

Mimi melihat jam tangan yang melingkar di tangan kanannya, lalu berkata, "Maaf Lan, aku sepuluh menit lagi ada kuliah. Bisa ngga ditunda setelah kuliah selesai?".

" Habis itu kamu free?".

"Iya.Hari ini aku cuma ada satu jadwal aja."

"Okey deh, aku tunggu di taman kampus ya!".

Mimi mengangguk lalu bergegas pergi menuju kelas.

"Hei, bengong aja! Masuk cepetan! Bu Lidya udah mau datang tuh!" kata Sisi sambil menarik tangan Mimi.

Mimi bergegas masuk dan duduk disamping Sisi

"Mana Bu Lidya? Katanya udah mau datang?" kata Mimi setelah lima menit berlalu.

"Ya itu kan perkiraan gue. Karena Bu Lidya kan ngga pernah terlambat."

"Ini udah telat lima menit. Tumben banget."

"Tadi gue lihat lo sama Alan," tanya Sisi mengabaikan ucapan Mimi tentang keterlambatan Bu Lidya.

"Iya, tadi bilangnya mau ngomong sama gue. Cuma gue bilang ada kuliah. Jadi ditunda sampai nanti selesai jadwal."

"Waaah, mau ngomong apa nih? Jangan-jangan mau nembak lo lagi?" kata Sisi dengan nada menggoda.

"Jangan aneh-aneh deh lo!".

" Ya mungkin aja kan Mi? Kalau benar dia nembak elo, elo pasti akan jawab iya kan? Secara dia lelaki kabut elo."

"Apaan sih? Ngga usah mikir aneh-aneh deh!".

" Kok aneh? Kan kemungkinan itu ada Mi!".

"Udahlah, ngga usah dibahas ya Si! Apapun yang diomongin Alan nanti, gue akan kabarin elo, supaya lo ngga nebak-nebak."

Sisi tersenyum sambil mengacungkan jempolnua.

"Tapi gue yakin dia akan nembak elo. Besok pasti ada couple baru di kampus," bisik Sisi menggoda Mimi.

---

"Maaf ya kelamaan nunggunya!" sapa Mimi pada Alan yang tengah duduk sambil membaca buku.

"Eh, ngga kok! Duduk Mi!".

" Ada apa Lan?" kata Mimi setelah duduk di hadapan Alan.

Alan mengusap temgkuknya karena grogi, sebelum akhirnya berkata, "Aku minta maaf ya Mi, karena udah ganggu kamu."

"Ngga kok, aku malah yang minta maaf karena bikin kamu nunggu"

"Ngga apa-apa, aku ngga keberatan kok!".

" Lalu apa yang mau kamu bicarakan? Sepertinya penting sekali?".

"Hmmm.... Mi, aku ngga tahu gimana harus memulainya," kata Alan dengan nada gugup.

Mimi tak berkata apapun, dia menunggu Alan berbicara lagi.

"Mungkin kamu udah tahu tentang perasaan aku ke kamu, karena Tama katanya sudah mengatakannya. Jadi, sekarang aku hanya ingin menyampaikannya secara langsung sana kamu," kata Alan lagi. "Dulu aku pernah bilang ke kamu, kalau aku sudah punya seseorang yang aku harap bisa jadi pasangan aku kan?".

Mimi hanya mengangguk sebagai jawaban.

" Nah, orang itu kamu Mi!" kata Alan sambil memandang Mimi lembut.

Mimi membalas tatapan Alan, namun kemudian segera mengalihkannya karena gugup. Meski dia sudah tahu tentang perasaan Alan, tetap saja dia merasa gugup dan kaget saat Alan mengungkapkan secara langsung. Otaknya mendadak buntu, dia tak dapat membaca perasaannya sendiri.

"Mi? kamu baik-baik aja?" tanya Alan.

"Eeh maaf Lan. Aku cuma kaget aja!" kata Mimi.

Alan tersenyum kecil melihat kegugupan Mimi.

" Kalau kamu belum siap menjawabnya sekarang ngga apa-apa kok! Aku rela menunggu."

Mimi menatap Alan sekilas, lalu kembali tertunduk.

"Ngga Lan, kamu ngga perlu nunggu kok, aku akan menjawabnya sekarang juga."

---

Next chapter