webnovel

Teka Teki

"Kak Mimi!" sebuah suara terdengar memanggilnya.

Mimi mencari kearah suara, tampak sosok gadis berjilbab coklat tengah berjalan kearahnya.

"Rani?" kata Mimi.

"Assalamu'alaikum Kak Mimi," sapa gadis itu sambil memeluk dirinya.

"Siapa Mi?" tanya Sisi yang juga tengah bersamanya.

"Oiya Si, kenalin ini Rani, adiknya Tama. Dan, kenalin ini Sisi," Mimi memperkenalkan mereka berdua. "Kamu nyari Tama Ran?" tanya Mimi lagi.

"Ngga Kak, tadi udah ketemu. Aku sengaja nyari Kakak."

"Ooo gitu, dipikir mau nyari Tama. Kalau gitu ikut kami ke kantin aja yuk Ran, kita ngobrol disana," ajak Mimi.

"Kamu ngga kuliah Ran?" tanya Mimi begitu mereka telah duduk disalah satu meja di kantin.

"Dua hari ini aku libur Kak. Makanya tadi Kak Tama minta diantarkan buku-buku untuk hari ini. Kan semalam ngga niat nginap di tempat Kak Mimi, jadi dia ngga bawa buku untuk hari ini."

"Apa?? Tama nginep di rumah lo?" kata Sisi kaget. "Kok bisa? Waah, ada yang dirahasiakan nih dari gue, " kata Sisi dengan pandangan menyelidik.

"Ngga Si... jangan mikir aneh-aneh deh! Tama semalam itu nganter gue ke dokter, dan antri lama banget, sampai rumah gue hampir tengah malam. Jadi Bang Rendra dan Bunda minta Tama nginap aja, takutnya ngantuk di jalan."

"Ah, ngga percaya gue. Terus kok kalian bisa saling kenal?" tanya Sisi sambil menunjuk Mimi dan Rani. "Kayaknya udah akrab nih antar keluarga," ledek Sisi lagi

"Ah elo nih, gue kenal Rani pas pulang dari Cisarua itu. Kalian kan langsung pulang, kalau gue kan nunggu Bang Rendra. Nah, kebetulan ada Rani waktu itu. Jadi kita kenalan. Gitu kan ya Ran?".

Rani mengangguk sambil tersenyum. Diam-diam dia memperhatikan Mimi, mencoba menerka isi hati Mimi saat didesak pertanyaan tentang Tama. Ya, sebagai mahasiswi psikologi, paling ngga Rani belajar membaca ekspresi seseorang.

" Lho, kamu masih disini Ran?".

Mereka menoleh kearah suara. Tampak Tama, Edo dan Irfan berdiri di samping meja mereka.

"Kan tadi aku udah bilang sama kakak, mau nemuin Kak Mimi dulu," jawab Rani menjawab pertanyaan Tama.

"Eh, siapa nih Tam? Kok ngga dikenalin ke kita?" tanya Edo.

"Ini adik aku, Rani." jawab Tama sambil menarik kursi dan duduk di dekat Rani, diikuti yang lainnya.

"Kak, Kakak ngga pernah ketemu sama Mas Pram? Dia kuliah disini juga kan?" tanya Rani pada Tama.

"Kemarin sih ngga sengaja ketemu. tapi sekarang ngga. Beda fakultas juga Ran. Susah ketemunya. Paling ngga sengaja ketemu di Perpustakaan atau Masjid. Telepon aja dia, siapa tahu mau kesini."

"Siapa Pram?" tanya Irfan.

"Sepupu aku, anak teknik. Tapi aku juga jarang ketemu sama dia." jawab Tama.

"Ponselnya ngga aktif Kak. Mungkin lagi ada kuliah." kata Rani setelah mencoba menghubungi.

"Ya udah, mau gimana lagi." kata Tama datar.

"Kalian masih ada kuliah lagi?" tanya Edo pada Sisi dan Mimi, yang hanya dijawab dengan gelengan kepala oleh mereka berdua.

Tama melihat jam tangannya, "Mi, waktunya minum obat!".

" Eh iya hampir lupa," jawab Mimi. "Eh, obatnya di mana ya? Perasaan tadi udah dibawa, katanya sambil membongkar isi tasnya.

" Nih!" kata Tama sambil menyerahkan sebuah plastik putih. "Tadi kamu buru-buru jadi ketinggalan di mobil."

"Hehehe makasih Tam!".

" Kok bisa ada di mobil Tama? Kalian ngga mungkin berangkat bareng kan?" tanya Irfan.

"Jangan bingung, Tama semalam nginep di rumah Mimi katanya," kali ini Sisi yang menjawab, dan langsung direspon Edo dan Irfan dengan tatapan tajam ke arah Tama.

"Nginep? Apa-apaan nih?" suara Irfan sedikit meninggi. Bagaimana pun, rasa kecewanya karena ditolak Mimi masih belum pulih, tiba-tiba kini dia mendapat kabar mengenai hal ini, artinya Tama ada satu langkah di depannya, atau mungkin beberapa langkah? Karena kalau sampai Tama menginap, berarti dia sudah akrab dengan keluarga Mimi. Sedangkan dia, paling bagus nganter sampai depan pintu aja.

"Jangan mikir yang macam-macam deh kalian," kata Mimi, yang kemudian diikuti penjelasan tentang alasan Tama menginao di rumahnya.

Ketika cinta sudah hadir dalam suatu hubungan persahabatan, maka bibit-bibit perpecahan akan mulai muncul walaupun sebisa mungkin dicegah. Kunci dari semuanya adalah keterbukaan dan sikap legowo dari semua pihak.

---

Rani POV

Berkumpul dengan teman-teman Kak Tama tadi sebenarnya menyenangkan. Tapi aku khawatir persahabatan mereka akan terpecah, jika melihat kejadian tadi. Aku lihat sepertinya teman Kak Tama yang bernama Kak Irfan sedikit cemburu pada Kak Tama.

"Kak, Kak Irfan itu suka sama Kak Mimi ya?".

" Kamu udah tahu jawabannya kan? kenapa masih tanya lagi?".

"Ya sekedar memastikan aja sih Kak. Kalau Kakak sendiri gimana?".

" Gimana apanya?".

"Ya kakak suka ngga sama Kak Mimi?".

Tama hanya terdiam, mendengar pertanyaanku. Sekilas aku lihat matanya menjadi sendu.

" Kakak sekarang hanya sedang menjaganya Ran!".

"Menjaga dari siapa Kak?".

" Adalah, nanti kamu juga tahu."

"Lantas perasaan Kakak sendiri gimana?".

" Perasaan Kakak ngga penting Ran. Udah ya, kita ngga usah bahas ini lagi."

Aku melirik lagi ke arah Kak Tama. Wajahnya masih tanpa ekspresi. Namun matanya tak bisa menyembunyikan perasaan yang tengah ada dihatinya. Aku sangat mengenal Kak Tama. Dan aku tahu pasti bagaimana hatinya. Apakah Kak Tama mengenyampingkan perasaannya karena sudah berjanji pada seseorang untuk menjaga Kak Mimi? Tapi siapa? Semua ini terasa bagai teka-teki bagiku. Sepertinya aku harus mencoba untuk bicara dengan Kak Mimi.

Rani POV end.

---

Sesampainya di rumah Mimi langsung masuk ke kamarnya. Tubuhnya masih lemas walau sudah tidak demam.

"Mi!" suara Bunda terdengar diiringi ketukan pintu kamarnya.

"Masuk Bun!".

" Kamu masih ngga enak badan?" tanya Bunda melihat Mimi berbaring sambil memejamkan matanya.

"Sedikiit Bun," kata Mimi masih dengan mata terpejam.

"Nih, ada kiriman!".

Mimi membuka matanya mendengar ucapan Bunda.

" Kue?" tanya Mimi sambil mengambil kotak dari tangan Bunda.

"Ya itu kotaknya ada nama Bakery nya kan?"

"Dari siapa Bun?".

" Ngga tahu. Bunda belum buka kok. Tuh, masih ada selotipnya."

Mimi membuka kotak kue itu, ternyata isinya adalah red velvet kesukaannya. Didalam tertempel sebuah kartu bertuliskan,

"๐˜š๐˜ฆ๐˜ฎ๐˜ฐ๐˜จ๐˜ข ๐˜ญ๐˜ฆ๐˜ฌ๐˜ข๐˜ด ๐˜ด๐˜ฆ๐˜ฎ๐˜ฃ๐˜ถ๐˜ฉ ๐˜”๐˜ช๐˜ฎ๐˜ช. ๐˜‘๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ๐˜ข๐˜ฏ ๐˜ต๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ญ๐˜ข๐˜ฎ๐˜ฃ๐˜ข๐˜ต ๐˜ฎ๐˜ข๐˜ฌ๐˜ข๐˜ฏ ๐˜บ๐˜ข! ๐˜๐˜ฏ๐˜ช ๐˜ฌ๐˜ถ๐˜ฆ ๐˜ฌ๐˜ฆ๐˜ด๐˜ถ๐˜ฌ๐˜ข๐˜ข๐˜ฏ ๐˜ฌ๐˜ข๐˜ฎ๐˜ถ ๐˜ฌ๐˜ข๐˜ฏ? ๐˜‹๐˜ช๐˜ฎ๐˜ข๐˜ฌ๐˜ข๐˜ฏ ๐˜บ๐˜ข!

-๐˜—๐˜™-

Mimi tersenyum membaca kartu itu.

" Dari mana Mi?" tanya Bunda penasaran.

"Biasa Bun!"

"Ooo PR tea?"

Mimi mengangguk sambil tertawa melihat ekspresi Bundanya.

"Wih, anak Bunda punya pengagum rahasia nih!".

" Pengagum Rahasia? PR itu Pengagum Rahasia ya Bun?" tanya Mimi.

"Mungkin!" kata Bunda sambil meninggalkan kamar.

Mimi mengambil ponselnya, lalu menulis pesan,

Mimi : Hai, makasih ya kue nya. ๐Ÿ™

Tak lama,

PR : ooh, udah keterima. ya? Suka ngga?

Mimi : Belum dicicip. Tapi pasti suka, kan ini kue kesukaanku. Sekali lagi makasih ya!

Mimi meletakkan kotak kue itu di meja belajar. Pikirannya kembali dipenuhi tanya. Kamu siapa PR? Kenapa main teka-teki gini sih?

Next chapter