webnovel

Nama Dalam Do'a

"Assalamu'alaikum!" sapa Mimi begitu memasuki rumah.

"Wa'alaikumussalam. Udah pulang Mi?" kata Bunda sambil menghampiri dirinya.

Mimi mencium tangan Bunda, dan langsung duduk di sofa ruang keluarga. Diletakannya paper bag yang tadi diberikan Tama padanya.

"Apa ini Mi?" tanya Bunda sambil mengintip isi paper bag.

"Buka aja Bun, itu tadi aku di kasih Rani."

Bunda membuka satu persatu box yang ada dalam paper bag itu, lalu berkata, "Waaah, Rani ngasih sebanyak ini Mi? Baik sekali dia."

"Iya Bun, dan kata Tama itu semua barang brand nya Rani lho!".

" Wah hebat ya mereka? Masih muda-muda udah punya usaha sendiri."

Mimi hanya mengangguk sebagai jawaban.

"Ini cantik-cantik lho. Ada gamis, Outer, Rok, Blouse dan jilbab."

Mimi melihat semua barang yang telah dikeluarkan Bunda dari Box nya. Dan memang benar, semuanya cantik.

"Kamu udah bilang terima kasih belum?".

" Belum Bun, kata Tama hari ini Rani padat jadwalnya. Jadi nanti malam saja teleponnya."

"Oya Mi, Ayah terharu sekali lho waktu kamu cerita alasan kamu pakai jilbab. Sampai nangis di kamar."

"Oh iya kah Bun? Aduh, jadi ikut terharu."

"Pokoknya Bunda ucapin terima kasih ya! Semoga kamu terus jadi lebih baik lagi kedepannya. Ayah dan Bunda bersyukur punya anak-anak yang baik," kata Bunda sambil mengusap punggung Mimi.

"Do'ain aku terus ya Bun!" kata Mimi sambil memeluk Bunda.

"Pasti!" jawab Bunda.

---

"Assalamu'alaikum Kak Mimi," sapa Rani dari seberang telepon.

"Wa'alaikumussalam Ran, lagi sibuk ngga?".

" Ngga Kak, ini baru selesai mandi. Oya, selamat ya Kak, kata Kak Tama Kak Mimi sekarang pakai hijab. Aku ikut senang lho!".

"Makasih ya Rani. Makasih juga hadiahnya, banyak banget dan cantik-cantik juga."

"Sama-sama Kak, tapi itu bukan dari aku semua kok. Ada yang dari Kak Tama juga. Memangnya dia ngga bilang?" tanya Rani.

"Hah, ada dari Tama juga? Tadi bilangnya cuma dari kamu kok."

"Hadeuh, pasti dia malu itu Kak. Yang pakaian itu dari Kak Tama semua. Kemarin dia pusing sendiri milih warna sama ukurannya."

"Yaah, tadi aku ngga bilang makasih sama dia. Jadi ngga enak."

"Biarin aja Kak, mungkin Kak Tama malu. Pura-pura aja ngga tahu Kak," kata Rani sambil tertawa kecil.

"Ya ngga enak dong Ran. Masa udah dikasih ngga ngucapin makasih."

"Kan itu emang maunya dia, jadi pemberi misterius."

"Iya deh! Aku akan pura-pura ngga tahu. Ngomong-ngomong, aku mau ke butik kamu dong Ran. Aku mau beli baju sama jilbab. Soalnya aku kan belum punya banyak untuk ganti-ganti. Sekalian mau cari jilbab instan, ada kan?".

" Ooo boleh Kak, datang aja. Koleksi kami lengkap kok. Kapan Kakak mau datang? Nanti aku share location."

"Besok aku kosong Ran. Kalau aku ke sana jam 11.00 kamu bisa?".

" Bisa aja. aku tunggu ya Kak! Lokasinya nanti aku kirim."

"Siiip makasih ya Rani!".

Mimi menutup ponselnya, kemudian diambilnya salah satu pakaian yang tadi diberikan Tama padanya. Mimi tersenyum kecil, " kenapa kamu harus malu mengatakan ini adalah dari kamu?" batin Mimi.

Sejenak hatinya menghangat. Ada perasaan bahagia menyelinap dihatinya tatkala dia tahu kalau Tama ternyata peduli padanya. "Apa arti perasaan ini?" batin Mimi lagi.

Mimi keluar dari kamar, dilhatnya pintu kamar Rendra terbuka. "Mbak, Bang?" panggilnya.

"Dek, masuk sini. Mas Rendra sedang ke mini market," kata Maya.

"Oo iya Mbak. Mbak sedang apa?".

" Sedang beres-beres aja Kamu mau cari Mas Rendra?".

"Ngga sih Mbak," kata Mimi sambil memilin-milin ujung bajunya.

Maya tersenyum melihat tingkah Mimi. Sepertinya iparnya ini ingin mengobrol, jadi langsung saja Maya mengajak Mimi duduk di ranjangnya.

"Ada apa Dek? Kalau ada yang mau diceritakan, cerita aja. Mbak akan dengarkan."

Mimi menatap Maya dengan pandangan ragu. Namun saat ini dia memang benar-benar butuh seseorang yang bisa memahami perasaannya. Dan Mbak Maya sepertinya orang yang tepat.

"Mbak, aku mau cerita sekaligus nanya pendapat Mbak."

Maya mengelus punggung Mimi, seraya berkata, "Cerita aja, Mbak akan dengar dan sebisa mungkin akan membantu kamu."

Setelah itu mengalirkan cerita Mimi tentang Alan, tentang Tama dan perasaannya.

"Jadi kamu nolak Alan karena merasa dia bukan lelaki kabut seperti dugaan awal kamu?".

" Ya sebenarnya ngga juga sih. Aku emang ngga ada perasaan ke Alan Mbak."

"Seandainya nih, kamu ngga ada perasaan, tapi ternyata semua petunjuk mengarah ke Alan, apa kamu tetap menolak?".

Mimi terdiam sejenak, sebelum akhirnya berkata, " Ngga tahu juga Mbak. Mungkin aku akan mempertinbangkannya."

"Mi, berarti memang kamu menganggap lelaki kabut itu sebagai jodoh kamu ya? Hanya belum tahu aja di dunia nyata itu siapa."

"Apa itu salah Mbak?".

"Ya ngga sih, karena gimanapun, itu keistimewaan kamu. Hanya saja kamu mengabaikan perasaan kamu. Pernah ngga kamu mengabaikan mimpi kamu? Fokus saja pada dunia nyata. Kamu ngga mau dianggap dukun, tapi sikap kamu menunjukan kamu benar-benar mempercayai semua mimpi kamu. Ya maaf aja kalau pada akhirnya kamu dianggap dukun," kata Maya sambil tertawa kecil.

"Ih Mbak mah gitu," rajuk Mimi.

"Ya emang gitu kalau menurut Mbak. Seperti masalah Alan, kamu seharusnya sudah cukup menolaknya karena ngga ada perasaan, sekalipun semua petunjuk mengarah ke dia, ya kamu tetap tolak. Bukannya mempertimbangkan. Karena kasihan kalau kamu dan Alan ke depannya."

"Jadi maksud Mbak, aku harus benar-benar menggunakan perasaan aku?".

" Iya. Kalau hati kamu condong kepada seseorang dan orang itu juga condong ke kamu, pertimbangkan saja. Kamu kan ngga mau pacaran, maka do'akan. Perihal dia lelaki kabut kamu atau bukan, ya jangan dipikirin. Mbak ngga paham banyak tentang agama ya Mi, tapi tentang jodoh, sandarkan semuanya pada Allah, bukan pada mimpi."

Mimi mencoba mencerna ucapan Maya. Walau masih tersisa sedikit tanya, setidaknya ada pencerahan dari obrolan mereka.

"Makasih ya Mbak!" kata Mimi.

---

Jam 11.00 keesokan harinya, Mimi sudah berada di Butik milik Rani. Ternyata Rani memadukan Butik nya dengan sebuah Cafe. Jadi ketika lapar saat tengah berbelanja, bisa langsung menuju Cafe yang terhubung dengan Butik.

"Keren konsep Butik Cafe kamu ini Ran!" puji Mimi.

"Cafe nya itu sebenarnya bukan punya aku sendiri Kak. Modalku ngga cukup untuk bikin itu," jawab Rani.

"Jadi itu Cafe siapa?".

" Itu Cafe aku dan Kak Tama. Waktu aku punya ide itu, Kak Tama minta aku buat proposalnya, dan ternyata dia tertarik. Jadi tiga perempat modal untuk Cafe itu dari Kak Tama, jadi modalku di Cafe itu ngga banyak, hanya saja pengelolaannya diserahkan sepenuhnya ke aku."

"Untuk menu, sama dengan Cafe yang dimiliki Tama pribadi?".

" Ngga Kak. Menu disini lebih ke makanan fast food. Yang cepat bikinnya. Kalau Cafe Kak Tama kan menunya lebih banyak."

Mimi mengangguk mengerti. Lalu kembali sibuk memilih pakaian.

"Ini outer yang dari Kak Tama kan ya?" tanya Rani lagi.

"Iya. Bagus lho Ran! Bunda dan Mbak Maya aja naksir."

"Alhamdulillah kalau suka. Itu Outer limited edition Kak, aku produksi cuma 50 pcs untuk lima warna. Tapi sekarang udah sold out semua."

"Wah, keren. Aku harus say thanks sama Tama nih."

Rani tersenyum mendengar ucapan Mimi. Sambil melihat Mimi memilih baju, iseng-iseng Rani bertanya, "Ngomongin Kak Tama, pendapat Kak Mimi sendiri tentang dia gimana?".

" Pendapat aku soal Tama? Hmm... dia baik." jawab Mimi.

"Cuma baik aja Kak?".

" Ya dia perhatian, sabar, dewasa, mandiri juga."

"Masuk kriteria Kak Mimi ngga?".

" Maksudnya?".

"Ya kalau Kak Mimi cari suami, Kak Tama kira-kira bisa dipertimbangkan ngga?".

" Kok nanyanya gitu Ran?".

"Hehehe kepengen tahu aja. Kan kemarin Mas Pram aja ditolak Kak Mimi. Jadi aku mau tahu Kak Tama ada peluang ngga?".

" Aku nolak Alan karena memang ngga ada perasaan aja Ran."

"Cuma itu Kak? Bukan karena lelaki kabut?".

" Aku pernah bilang ke kamu kab Ran, kalau aku akan mempertimbangkan siapa yang berani duluan bicara sama aku. Mengenai lelaki kabut ini sebenarnya memang sangat mempengaruhi aku Ran. Tapi Alan ini sebenarnya istimewa kasusnya. Aku pernah menyangka bahwa dia lelaki kabut. Jadi aku pernah membawa nama dia dalam do'a, minta ditumbuhkan perasaan cinta. Tapi sampai akhirnya dia ungkapin perasaannya, hati aku ngga berubah. Dan ternyata dia juga bukan lelaki kabut aku."

"Terus sekarang gimana? Kakak masih menjadikan lelaki kabut sebagai patokan untuk menerima seseorang?".

" Sepertinya ngga Ran. Semalam aku bicara sama Mbak Maya. Intinya, aku harus menjadikan Allah sebagai tempat bertanya. Bukan mimpi."

"Jadi??".

" Ya jadi, siapapun nanti yang datang padaku, akan aku bawa dulu dalam do'a, aku tanya sama Allah dulu."

"Istikharah ya Kak maksudnya?".

" Nah iya, istikharah."

"Okey, berarti Kak Tama punya peluang. Aku akan bilang sama Kak Tama deh! Jadi dia bisa semangat lagi."

"Lho emang Tama kenapa?".

" Hehehe, Kak Mimi tunggu aja. Aku cuma minta, bawa nama Kak Tama dalam do'a ya!".

Mimi menatap Rani sebelum akhirnya tersenyum. Wajahnya merona merah. Dia tahu apa maksud Rani. Mendadak jantungnya berpacu lebih cepat. Ada harap tumbuh dihatinya. Malam ini, akan dia bawa nama Tama dalam do'a nya.

Next chapter