webnovel

Semua Yang Papa Miliki Akan Menjadi Milikmu

Grahem Corp kota B

Ruang Presdir

Samuel memasuki ruangannya masih dengan Gera kecil digendongannya. Dibantu oleh Soraya yang membukakan pintu, sedangkan Barly sudah kembali ke ruangan sendiri melanjutkan pekerjaan.

"Ada yang perlu dibantu lagi, Bos?" tanya Soraya, saat melihat Tuan mudanya yang mulai berlarian, setelah sang Bos menurunkannya.

"Tidak ada, kamu boleh kembali melanjutkan pekerjaanmu,"sahut Sam, menatap putranya yang aktiv dengan senyum kecil.

Namun, secepat ia menjawab, secepat itu pula meralat ucapannya, ketika ingat jika ada yang ingin diperiksanya. "Ah! Benar juga, saya ingin melihat laporan kenaikan harga saham dari awal tahun sampai saat ini. Antar ke sini jika sudah siap."

Soraya yang hampir membuka mulut segera mengangguk, mengerti dengan perintah selanjutnya dari sang Bos. "Baik, segera saya siapkan, Bos."

"Hn, kamu bisa keluar," perintah Samuel sambil melangkah menuju kursi kekuasaannya, sedangkan Soraya meninggalkan ruangan setelah membungkuk singkat.

Blam!

Pintu tertutup, Samuel yang sudah duduk nyaman kembali memperhatikan sang putra sambil mengambil handphone di saku jasnya.

Ia menekan tombol panggil di kontak restoran langganannya, menunggu panggilan diterima masih dengan mata mengawasi Gera.

Samuel dibuat geleng kepala saat melihat Gera berdiri di depan rak buku miliknya, mencoba mengambil satu dari barisan rapih dengan kaki pendek berjinjit.

Klik!

Panggilan tersambung, Samuel segera mengalihkan fokusnya dan menyebutkan makanan kesukaan sang putra, dengan tambahan susu rasa buah untuk penutupnya.

Setelah selesai dengan pesanan makanan, Samuel memutuskan untuk menghampiri Gera kecilnya yang masih berusaha meraih salah satu koleksi buku bisnisnya.

Tap!

Samuel berjongkok di belakang Gera, menyodorkan sebuah bangku kecil di samping putranya yang segera menoleh.

"Papa! Lemari buku ini terlalu tinggi, Gera tidak bisa menggapai mereka," adu Gerald menatap sang papa dengan bibir mengerucut lucu.

Bukan salah Gerald, salahkan lemarinya kenapa tinggi seperti itu. Jadikan ia tidak bisa menggapai buku yang membuatnya penasaran. Ingat loh..., salah lemari.

Sam menepuk-nepuk bangku yang didorongnya, sedangkan tangan satunya mencubit kecil pipi menggembung itu. "Naik sini dan ambil buku yang kamu inginkan, heum..."

Gera ikut menoleh ke arah bangku yang ditepuk kemudian mengangguk. Lalu Samuel, segera mengangkat tubuh kecil putranya berdiri di bangku.

Hup!

Dengan begitu, Gera mengambil satu dari banyak koleksi buku yang dimiliki sang papa. Ia membalik tubuhnya, memperlihatkan apa yang diambilnya kepada Samuel yang tersenyum kecil melihatnya.

"Tentu, saat kamu sudah besar dan belajar di tingkat yang lebih tinggi, semua buku yang kamu inginkan akan kamu miliki," jawab Samuel sambil mengusap surai lebat putranya sayang.

"Kapan Papa?" Kembali Gera bertanya. Kali ini lebih antusias, bahkan mata sang putra semakin bulat menatapnya.

Samuel tertawa kecil, mencium pipi berlemak putra luar biasanya dengan gemas. "Tidak lama lagi, sementara itu Gera harus belajar rajin di tempat saat ini. Mengerti?"

Gerald mengangguk sambil mengumbar senyum lebar, memperlihatkan gigi kecil terawat yang membuatnya kembali tertawa.

"Oke, Papa!"

"Pintar!" Samuel memuji Gera dengan senyum sampai mata, kemudian membawa tubuh kecil putranya kedalam gendongan.

Ia berjalan menuju jendela lebar ruangannya, membawa putranya melihat jalanan di bawah sana, dengan banyak kendaraan yang tampak kecil dari tempat mereka berdiri saat ini.

"Lihat! Dunia luar sana luas sekali, kan?" tanya Sam, saat melihat Gera menatap bawah sana dengan tangan mungil menempel di kaca jendela.

"Luas?" beo Gera, menatap sang papa dengan kepala miring serta alis mengernyit, bingung.

"Dunia yang kita pijak ini sangat luas, kid. Saat kamu sudah besar nanti, kamu harus bisa menjadi salah satu orang yang menggenggam luasnya dunia. Tumbuh menjadi Grahem yang lebih hebat dari pendahulumu."

"Suatu hari nanti, bukan hanya buku yang akan kamu miliki, jagoanku. Tapi semuanya, semua yang Papa miliki saat ini akan menjadi milikmu."

"Gerald Arsenio Grahem harus menjadi terbaik dari yang terbaik. Menjadi anak yang menyayangi kedua orang tuanya. Menghargai segala hal yang diberikan Tuhan. Mengerti?"

Gerald hanya mampu berkedip mendengar apa yang dikatakan sang papa. Ia tidak mengerti dengan apa yang didengarnya, tapi ia tetap mengangguk dan tersenyum lebar saat melihat ekspresi yang ditampilkan sang papa.

"Ung.... Mengerti, Papa!"

***

Waktu berjalan maju, dengan banyak hal dan kejadian yang dilalui oleh setiap manusia yang hidup di dunia.

Musim pun ikut berganti, dari musim semi ke musim panas, berlanjut musim gugur dan kemudian dingin.

Saat ini cuaca sedang bagus, karena kebetulan bulan ini memasuki semi, setelah melewati musim dingin dengan suhu di bawah derajat.

Seorang pemuda dengan perawakan tinggi terlihat berjalan di lorong sebuah kampus terkenal di kota B, menatap dengan wajah khas turunan sang papa dan juga hawa tak tersentuh menguar darinya.

Di setiap langkahnya menuai jeritan para mahasiswi, mengagumi ketampanan bak dewa yang tidak diragukan. Bahkan, hanya dengan lirikan pemuda ini bisa membuat barisan wanita bertekuk lutut di hadapannya.

Namun sayang, si pemuda sama sekali tidak mengindahkannya, justru tetap berjalan santai dengan tangan di saku celana tanpa terganggu sedikitpun.

Tak jauh dari tempatnya berjalan saat ini, terlihat seorang pemuda lainnya yang berdiri dengan remaja perempuan di sampingnya.

Wajahnya yang tadi menatap tidak berminat pada sekitanya berubah saat melihat keduanya. Ia melangkah semakin mendekat dua orang yang berdiri dengan jarak beberapa langkah lagi darinya.

Ia—Gerald Arsenio Grahem, sedikit mengubah raut wajahnya menjadi hangat, tersenyum ke arah dua orang dengan satu yang melambai menyambutnya.

"Gera! Lama sekali, Ara capek nih."

Ya dua orang itu adalah Ara—Arrata, sepupunya, yang tumbuh menjadi wanita manis dengan wajah layaknya boneka hidup.

Ia suka melihat wajah itu, dari dulu sampai sekarang dengan perasaan yang terkadang membuatnya tersiksa.

"Apa kelasmu ada pejaran tambahan, Gera?"

Dan Kenzo—adik sang mama, pamannya yang sudah menemaninya dari masa ia kanak-kanak hingga saat ini, saat ia menjadi mahasiswa semester enam.

Tingkatan sama dengan sang paman, saat ia mengambil akselerasi karena alasan tidak ingin jauh dari pria muda, yang sangat disayanginya layaknya ia menyayangi kedua orang tuanya.

Gerald membalas pertanyaan keduanya satu per satu dengan senyum mencurigakan terulas di akhir.

"Aku ada diskusi untuk kunjungan ke lapangan, Kenzo. Lalu untuk Ara, suruh siapa berdiri, kan bisa minta gendong Kenzo. Iya tidak, huh?"

Kenzo dan Ara kompak bergerak salah tingkah, saling membuang pandangan ke aral lain, menyisakan Gerald yang terkekeh dengan hati berdenyut sakit.

"Lupakan deh..., sebaiknya kita pulang. Bukankah Kak Ken juga ada urusan untuk magang nanti? Papa juga sudah cerita, kalau Kakak akan magang di sana dan kebetulan Gera juga menyusul tak lama dari Kakak memulai magang."

Gerald melanjutkan kalimatnya lebih panjang, saat biasanya ia hanya akan bergumam atau membalas seadanya jika itu orang lain.

Kenzo yang pertama menjawab, mengangguk kecil saat mengiyakan apa yang dikatakan ponakannya."Iya. Hanya surat pernyataan magang dari kampus yang belum diurus. Besok akan kuselesaikan, kamu tenang saja."

"Ah..., kalau begitu seseorang harus bersiap untuk merasakan rindu ya," sahut Gera, mengerling usil ke arah sepupunya yang semakin bersemu.

"Gera nggak lucu." Arrata segera merangkul lengan sang sepupu yang kini asik terkekeh, kemudian menyeretnya menjauhi Kenzo yang mengikuti keduanya segera.

"Jangan peluk-peluk, Aya. Kamu mau ada yang salah paham?"

"Apa sih, Gera. Aya marah nih!"

"Jangan marah sayang, tambah jelek loh. Kamu mau nanti Kenzo melirik yang lain karena kamu semakin jelek, heum...."

Gerald berbisik sambil balik merangkul bahu sempit Arrata. Keduanya terlihat seperti pasangan, hingga terkadang membuat orang lain yang melihat menganggap pasangan sepupu ini adalah sepasang kekasih.

"Apa sih, kamu jangan menggodaku, Gera. Sebaiknya kamu tuh yang cari kekasih, jangan ngajak aku terus saat keluar mencari hiburan. Huh!"

"Dasar sepupu jahat, jalan sama aku tuh suatu kebanggaan. Seharusnya kamu bersyukur, karena di luar sana banyak wanita yang berharap bisa jalan dan dekat denganku."

Gerald mengomel masih dengan Arrata dipelukannya. Sedangkan Kenzo, ia menatap keduanya dengan lurus, tersenyum kecil ketika mendengar wanita satu-satunya di antara mereka tertawa.

Entah apa yang dibicarakan keduanya, ia hanya bisa memendam rasa iri karena tidak bisa seperti Gerald, yang mendapatkan segalanya termasuk dekat dengan Arrata.

Aku merindukanmu, Ibu.

Bersambung.