6 Browre Corp?

Mansion Grahem

Gerald keluar dari dalam kamar mandi, dengan boxer merek ternama di pinggang.

Tangannya mengusak rambut setengah basah dengan handuk kecil, jalan menuju nakas tempatnya menyimpan gawai.

Tubuh hasil olahraga rutin terbentuk hampir sempurna, meski tidak berlebihan apalagi di bagian perutnya.

Sampai di dekat nakas, Gerald segera mengambil gawai dan memeriksa banyak pesan yang masuk ke kontaknya.

Pesan singkat, e-mail, panggilan tak terjawab dan pemberitahuan media sosial yang berderet di layar.

Dari banyak pesan yang diterima, ada nama seseorang yang segera menarik atensinya.

Nama sang sepupu yang diam-diam menempati ruang hatinya.

Aratta, gadis muda yang dari balita sudah dipanggilnya Aya, dengan nama kontak sama dengan hiasan emot kucing lucu.

Panggilan tak terjawab juga ikut tertera dengan tiga kali percobaan, kebiasaan sepupunya jika sudah menghubungi, tapi tidak diangkat olehnya.

Pesan berisikan pemberitahuan, jika sepupunya tersebut sedang menunggu dengan sabar kedatangan sang paman.

Cih!

Decihan begitu saja meluncur mulus dari bibir dengan warna merah, merah alami turunan sang mama, dengan tahi lalat menghiasi bagian bawah bibirnya.

Katanya, tahi lalat inilah yang membuat para gadis menjerit saat melihatnya, selain lirikan tajam khas sang papa sebagai orang yang menurunkannya.

"Bisakah dia tidak memamerkannya kepadaku setiap hari seperti ini? Aku tahu dan tidak perlu diperjelas. Giliran aku memberi jalan untuk dia bersama paman, dia malah marah dan berpura-pura ucapanku ngaco. Apa dia tidak tahu, ini menyakiti dan perlahan membunuh perasaanku."

Seorang Gerald dikenal sebagai pribadi yang kalem dan tidak banyak bicara, tapi lain jika itu sudah menyangkut Arrata dan Kenzo.

Dan saat ini ia sedang menggerutu dengan rasa sakit di hatinya.

Apakah dari awal seharusnya ia cuek dengan perasaan keduanya, tidak menggoda dan menganggap semua biasa saja? Jadi, ia tidak perlu berpura-pura bahagia seperti ini, saat keduanya pun sama-sama salah tingkah ketika digoda.

Apa yang kupikirkan, batin Gerald dengan kepala menggeleng pelan.

Setelahnya, ia memutuskan untuk membalas pesan Arrata, mengatakan untuk sepupunya itu sabar karena pamannya sedang ada di perjalanan. Lalu, menyimpan kembali gawai di nakas dan ia sendiri melangkah memasuki walk in closet untuk berpakaian.

Ia harus segera sampai di kantor sang papa, sebelum nantinya ke kampus untuk melanjutkan diskusi bersama teman kelompok.

Punggung dengan hiasan tato sayap kini menghilang di balik dinding, memasuki ruangan biasa ia mengganti pakai.

Beberapa saat kemudian...

Gerald sudah rapih dengan blazer semi formal berwarna biru dongker, dipadukan dengan dalaman kaos polos berwarna putih, sedangkan kaki jenjang memakai celana jeans dengan sneaker putih yang membuatnya semakin memukau.

Diumurnya yang ke-19 tahun, Gerald sukses menjadi idola dan digadang menjadi penerus Grahem meski nyatanya ia masih belum lulus kuliah.

Menuruni anak tangga sambil membenarkan tatanan rambut, Gerald bisa melihat sang mama yang sedang duduk di sofa sambil merajut sesuatu di sana.

Ia sampai di anak tangga terakhir, kemudian menghampiri sang mama dan mencium pipi wanita cinta pertamanya dari belakang.

"Mah, Gera berangkat ke kantor. Mungkin hari ini pulang malam, ada diskusi dan beberapa urusan dengan dosen sebelum magang. Jangan kangen ya," bisik Gerald dengan kekehan di akhir saat mendapat jawaban cepat dari sang mama.

"Tidak bisa Sayang, Mama pasti kangen kamu."

"Ha-ha-ha..., iya deh. Soalnya Gera juga," sahut Gerald cepat.

Ia segera memutari sofa dan berhenti di hadapan sang mama, bersimpuh di sana dan memegang kedua tangan itu lembut, setelah menyingkirkan alat rajut.

"Mama sedang buat apa? Musim dingin 'kan sudah lewat dan Mama masih melanjutkan membuat baju rajut, untuk siapa?" imbuh Gerald bertanya penasaran.

"Ini untuk pamanmu, karena kemarin Mama baru menyelasaikan punya kamu, sayang. Ini tidak tebal, tapi tetap hangat saat hujan dengan udara dingin terasa," jelas Caitlyn sambil menepuk pipi tanpa lemak putranya.

Caitlyn membatin tidak percaya, padahal ia baru saja merasa mencubit pipi berlemak putra kecilnya. Lalu sekarang, kenapa yang ada hanya rahang tegas dengan wajah dewasa di hadapan?

Putraku sudah dewasa, batinnya bahagia.

"Hmm, begitu. Ya sudah, pokoknya jangan sampai terkena jari ya Mah. Gera tidak mau karena membuat sesuatu untuk kami, jari Mama yana terluka, heum...," wanti Gerald sambil mengusap sebelah tangan sang mama yang masih digenggamannya.

"Iya, tenang saja putraku."

"Hm..., sudah saatnya Gera berangkat. Sampai jumpa nanti malam, Mama," sahut Gerald kembali mengecup pipi sang mama sayang.

"Hati-hati!"

"Tentu, Mah."

Setelahnya, Gerald meninggalkan ruang tamu menuju bagasi. Ia menekan remot dengan bunyi 'bipp' terdengar dari salah satu mobil yang berjajar.

Ini mobilnya, hasil kerjanya saat membantu sang papa menangani pekerjaan penting bersama sang paman.

Ia membuka dan segera menutup pintu mobil dengan debaman keras, serta deruan mesin terdengar sebelum akhirnya meninggalkan bagasi, menuju gerbang mansion dan melewatinya, dengan seorang penjaga yang terlihat di beberapa titik.

Butuh beberapa puluh menit untuknya sampai di kompleks gedung perkantoran Grahem.

Mobil yang dikendarai Gerald berhenti di depan teras, dengan seorang petugas yang bantu memarkirkannya.

Ckitt!

"Selamat pagi, Tuan muda!"

"Hm. Pagi."

Singkat, padat dan jelas.

Gerald lanjut jalan memasuki lobby sambil membenarkan letak shoulder bag senada dengan blazer.

"Selamat pagi, Tuan muda Grahem!"

Ia kembali mengangguk, ketika sapaan kembali melayang untuknya dan tetap jalan tegap, memandang depan dengan tatapan tanpa lurus tanpa niat melirik sedikitpun.

Meskipun telinganya mendengar bisik-bisik mengangguminya, Gerald tetap tak acuh dan cepat-cepat memasuki lift.

Ia lebih baik segera menghadap sang papa, daripada menjadi bahan bisikan dan mendengar jeritan tertahan mereka, tepatnya para karyawati.

Oh ayolah.... Mahasiswi yang menjadi diva di kampus saja ia tidak melirik. Apalagi dengan karyawati yang bekerja di perusahaan papanya, yang umurnya lebih jauh tua ketimbang dirinya.

Ia bukan pria penyuka wanita lebih dewasa, ia suka yang seumuran atau lebih muda darinya.

Ya..., apalagi itu sepupunya, yang dari dulu tidak melirik ke arahnya seperti wanita lain yang mengaguminya.

Ting!

Sampai di lantai dimana sang papa berada, Gerald segera berjalan menuju pintu ganda dengan seorang wanita menyambutnya.

Personal asisten papanya, seorang wanita yang sudah dikenalnya dari zaman masih balita.

"Selamat pagi, Tuan muda. Bos sudah menunggu Tuan di dalam.

"Hmm."

Gerald mengangguk, kemudian mengetuk pintu dan masuk setelah mendengar sahutan.

"Gera, akhirnya kamu datang, nak!"

Senyum hangat dan sapaan senang sang papa menyambutnya, Gerald membungkuk singkat untuk pria di depannya dan membalasnya dengan nada hormat.

"Apa Gera telat, Pah?"

"Tidak, Om Barly sebentar lagi datang dan kita akan membahas hal penting yang lainnya dulu. Kamu harus tahu sesuatu agar tidak ada salah paham suatu hari nanti, oke?"

"Baik, Pah!"

Tidak lama kemudian, ketukan pintu kembali terdengar dengan pria seumuran sang papa berjalan memasuki ruangan, tersenyum hangat kepadanya.

"Selamat pagi, Om Barly," sapa Gerald sambil mengangguk kecil.

"Selamat pagi, Gera. Semakin tumbuh tampan dan gagah, seperti Caitlyn."

"Seharusnya seperti aku, Barly. Jangan ngaco," sahut Samuel menatap orang kepercayaannya sebal.

"Ck! Iya, terserah kamu, Sam."

Gerald tersenyum kalem mendengarnya, kemudian mengangguk saat sang papa mengajaknya duduk.

"Sebaiknya kita melanjutkan tujuan bertemu siang ini. Gera duduklah!"

"Baik, Papa."

Tiga pria itu kini saling berhadapan, dengan Samuel yang duduk di single sofa. Sedangkan Gera duduk di sofa panjang kanan, lalu Barly di kiri.

Dimulai dari posisi Gera saat nanti memulai magang, kemudian berlanjut dengan perusahaan cabang yang akan dibangun tak lama lagi.

Diskusi bagian ini menghabiskan waktu berjam-jam lamanya, hingga minuman yang diambilkan Barly dari mini bar hampir tandas, sangking obrolan mereka terasa banyak tanya jawab tentang cabang baru yang akan mereka bangun.

Lalu berlanjut dan ini adalah yang paling penting. Kenapa sampai Sam meminta sang putra datang yaitu tentang perusahaan, dengan nama asing di telinga Gera yang tetap berjalan, bahkan semakin maju di bawah nama Grahem.

Namun, meskipun Gera merasa asing. Ia tetap menatap serius sang papa, yang saat ini sedang menjelaskan tentang perusahaan bernama Browre Corp.

"Perusahaan Browre semakin berkembang, dengan beberapa cabang mulai kembali dibuka normal setelah banyak usaha Papa dan karyawan lakukan."

Sam menjelaskan, sambil memberikan laporan kenaikan signifikan saham Browre kepada sang putra, yang menerima segera dan membaca dalam hati, kemudian melanjutkan tanpa ada yang menyela.

"Banyak para pemegang saham yang menjual sembarangan saham karena jatuhnya nilai di pasaran."

"Tapi Papa masih beruntung, karena pemegang saham baru lebih memiliki kesabaran untuk menunggu, sampai akhir Browre corp kembali berdiri normal setelah ditimpa banyak musibah karena pemimpin sebelumnya."

"Dan Papa selaku pemilik mutlak perusahaan Browre akan mem-

Tok! Tok! Tok!

Samuel menelan kembali kalimat panjangnya, kemudian menyahuti ketukan dengan sedikit lantang. Sedangkan Gera kembali membaca dan Barly tampak duduk santai ikut mendengarkan.

"Masuk!"

Pintu terbuka, menampilkan sosok pria yang menyapa ketiganya ramah seperti biasa.

"Selamat siang semuanya!"

Bersambung.

avataravatar
Next chapter