5 Aku Bukan Grahem

Universitas Negeri Kota B

Motor yang di kendarai Kenzo terlihat memasuki kawasan universitas yang sudah hampir 3 tahun menjadi tempatnya menimba ilmu.

Hanya menyisakan untuknya skripsi, sidang dan ia bisa lulus dari program master ini.

Sebuah helm terulur kepadanya, ia segera menerima dan tersenyum kecil ketika melihat surai si pemberi helm sedikit berantakan.

"Lagian kenapa tidak bersama Gera, Ara. Dia 'kan naik mobil," ujar Kenzo.

Meskipun tidak keberatan dan senang-senang saja dengan memberi tumpang si gadis yang dipanggilnya 'Ara'. Tapi, ia hanya kasihan saja kepada gadis yang diam-diam disukainya, ia takut Ara tidak nyaman bersamanya.

Sebenarnya ia bisa saja memakai mobil, tapi sayang ia terlalu nyaman mengendarai motor dan alasan lainnya, agar ia bisa cepat sampai kemanapun jika sedang dalam keadaan darurat.

"Huh! Jadi Kenzo menyesal sudah menjemput Ara?" sahut Ara—Arrata menatap si pria dengan mata memicing, sebal.

Ia melengoskan wajah, ketika tangan Kenzo cekatan membantunya membenarkan rambut yang berantakan.

Sebenarnya Ara tidak marah, ia hanya malu saat bisa melihat wajah tampan kakak yang selalu membuatnya salah tingkah sedekat ini.

Ia bahkan harus menahan agar netranya melirik, dengan tetap menoleh ke arah lainnya.

Bagaimana tidak, bayangkan wajah tegas dengan tahi lalat di bawah mata itu semakin jelas bisa dilihatnya dan ia tidak kuasa, menahan malu jika sampai bersitatap langsung dengan pria itu.

"Oh my.... Kenapa perempuan selalu menyalahartikan ucapan pria sih? Maksudku itu agar kamu tidak berantakan seperti ini, begitu loh Ara," balas Kenzo sambil mencubit pipi gadis kesayangannya, setelah selesai merapihkan surai berantakan Arrata.

"Kamu 'kan pernah jemput aku juga, kenapa baru sekarang protes sih. Huh! Aku marah nih," sahut Arrata tidak peduli.

"Tidak protes, Ara. Aku hanya tidak ingin rambutmu berantakan begini setiap berangkat bersamaku. Dan sebaiknya lupakan, anggap aku tidak mengatakan hal seperti ini. Oke?" tukas Kenzo.

Ia turun dari motor, berdiri berhadapan seraya menenteng tas kerja yang dibawanya.

Sedangkan Arrata, ia mengangguk diam-diam tersenyum senang dalam hati karena pria muda di hadapannya mengalah.

Kenzo tidak bisa mendebat seorang Arrata meskipun benar, selalu mengalah dan menurut jika keturunan Gandhi ini sudah mengeluarkan jurus.

"Oke! Lain kali jangan katakan hal ini. Lagian, bersama Gera atau kamu itu sama saja. Sama-sama orang yang kusayang," pinta Arrata mengingatkan. "Ya..., Meskipun aku lebih suka bersamamu, Kenzo," lanjutnya dalam hati

Kenzo tersenyum sambil mengangguk kecil, kemudian mengajak Arrata untuk segera berjalan. "Iya deh, aku mengerti. Yuk! Kita berpisah di koridor, kamu ke kelas dan aku ruang administrasi. Oke?"

"Umm...."

Keduanya jalan bersama, sesekali terdengar obrolan dengan Arrata yang sesekali tertawa pula. Hingga akhirnya tiba di persimpangan koridor, Kenzo berhenti diikuti oleh Arrata dan kini keduanya berhadapan.

"Aku duluan, dengarkan apa kata dosen. Jangan malas untuk ke perpustakaan," ucap Kenzo menasihati.

"Ukh..., apa kamu lupa Kenzo, kalau Aku ini termasuk yang terbaik di angkatanku?"

Arrata protes, kembali menatap sebal Kenzo yang terkekeh melihat wajah berlipat itu.

"Sepertinya memang lupa. Ha-ha-ha.... Baiklah, sampai jumpa nanti, Ara," sahut Kenzo, memutuskan untuk menyudahi kebersamaan mereka.

Mungkin jika ia tidak diburu tentang urusan magang, ia akan dengan senang hati menemani gadis di depannya seperti kemarin dan kemarin.

Namun, saat ini ada yang lebih penting dan menyangkut masa depannya.

Ia harus membuktikan kepada yang lain, jika ia bisa sukses melebihi seseorang, yang selalu bisa mengejar dan menyejajarkan diri dengannya.

"Baiklah, semangat Kenzo! Kalau begitu aku ke kelas, sampai jumpa!"

Setelah mengatakan itu, Arrata membalik tubuhnya dan berjalan meninggalkan Kenzo menuju kelasnya.

Sedangkan Kenzo, ia sejenak menatap punggung sempit dengan bentuk tubuh ideal nona muda Gandhi, kemudian ikut membalik tubuhnya.

Ia ikut meninggalkan koridor dengan langkah cepat, tanpa tahu jika gadis yang dipandangi kini menoleh ke arahnya lagi dan melihat punggung dengan senyum malu.

Kenzo....

Ia hanya mampu memanggil nama pria yang menempati ruang di hatinya, tanpa bisa mengatakan perasaan yang dirasakannya kepada pria, yang sudah menemani masa kanak-kanaknya dengan terbuka.

Skip

Kenzo selesai dengan urusan administrasi dan menemui dosen pendampinganya.

Kini, ia sedang ada di perjalanan menuju perusahaan kakak iparnya, hendak membicarakan posisinya selama magang sampai tiga bulan ke depan.

Kenzo tidak sabar untuk memulai aktivitas barunya dan berharap bisa cepat menyelesaikan pula pendidikannya.

Jujur saja, ia merasa tidak enak jika harus tinggal bersama sang kakak lebih lama. Meskipun kebahagian selalu dirasakan saat bersama keluarga kecilnya, tapi tetap saja saat tidak sengaja melihat adegan keluarga harmonis, ia memiliki rasa iri tersendiri.

Ia sampai bertanya-tanya dalam hati, kapan ia dan mamanya bisa bersama lagi, hidup bahagia seperti keluarga kecil kakaknya.

Aku akan meminta izin menemui Mama sendirian, batin Kenzo.

Ia memarkirkan motornya di tempat yang tersedia, kemudian bergegas memasuki perusahaan raksasa Grahem, mengingat ia telat beberapa menit dari waktu janji karena pertemuannya dengan sang dosen.

Sampai di lobby luas perusahaan kakak iparnya, Kenzo berjalan menghampiri bagian informasi.

Sebenarnya bisa saja ia langsung masuk dan pergi ke lantai ruangan yang ditujunya. Tapi, ia tidak ingin datang di waktu yang salah, misalkan kakak iparnya sedang ada tamu atau membicarakan hal pribadi dengan seseorang penting lainnya.

Iya 'kan?

Di sepanjang ia berjalan menuju meja informasi, telinganya tak henti mendengar bisikan dengan lirikan mata ke arahnya.

Ingin rasanya ia menyumpah serapah, karena mereka yang hanya bisa membandingkan satu dengan lainnya, tanpa menilai diri sendiri.

Bisikan itu berisi tentang sang pewaris perusahaan, yang datang dengan ketampanan serta aura tegas menjadi perbincangan.

Lalu mengenainya, seseorang nomor 2 dari keluarga Grahem yang berkuasa. Ia bukan Grahem, jadi tidak bisa dibilang sebagai nomor dua.

Ia adalah Kenzo Bastian Browre.

Dan apakah ia harus mengatakan itu di depan wajah mereka?

Sebaiknya lupakan, jangan dengarkan apa kata mereka. Lyn tidak akan suka, jika aku tidak bisa mengendalikan emosi seperti Ger-

Seketika Kenzo menghentikan perkataan dalam hatinya, saat nama keponakannya ingin disebut.

Ia menelan saliva dengan hembusan napas kecil, serta kepala menggeleng melupakan semuanya.

Sampai di bagian informasi, Kenzo segera bertanya mengenai kakak iparnya, kepada seorang petugas yang mengulas senyum ramah.

"Selamat siang. Apakah Tuan Samuel sedang sibuk?"

"Selamat siang. Tuan Kenzo ya, Pak Presdir sudah menunggu anda di ruangan bersama Tuan muda Gera."

"Oh, terima kasih atas informasinya."

"Sama-sama, Tuan."

Kenzo mengangguk kecil, kemudian meninggalkan lobby berjalan menuju lift.

Di dalam lift, Kenzo menghembuskan napas dalam dan berulang, diam-diam menyesal karena di lobby sempat menyingkirkan nama Grahem, padahal dari dulu sampai sekarang kakak iparnya tidak malu memperkenalkannya sebagai keluarga.

Sepertinya, mendengarkan omongan negatif bisa memberikan dampak yang besar kepadanya.

Dan ia berjanji, jika setelah ini akan biasa saja saat ada seseorang yang membandingkannya dengan siapapun.

Tidak peduli itu teman, seseorang yang lebih darinya atau bahkan Gerald sekalipun.

Ia akan mencoba diam dan tidak akan mendengar sesuatu, yang hanya menimbulkan iri dan dengki di hatinya. Kakaknya yang selama ini menjadi ibu kedua baginya akan kecewa, jika sampai ia menjadi pribadi yang seperti itu.

Ting!

Lift kembali terbuka, Kenzo melangkah keluar dan jalan menuju ruangan yang sudah dihapal di luar kepada.

Meja asisten yang biasa ditempati seorang wanita tampak kosong, ia mengangkat bahu tak acuh dan berdiri di depan pintu dengan tangan terangkat hendak mengetuk.

Namun sayang, tangannya berhenti di udara, ketika mendengar nama perusahaan dan juga nama seseorang yang tak asing di telinganya dari dalam sana, dengan pembicaraan yang membuatnya terdiam.

Apa maksudnya?

Ia tidak boleh salah sangka, hanya karena mendengar nama familiar disebut oleh kakaknya, sebab ia tahu jika di dunia ini banyak orang bernama sama.

Akhirnya, Kenzo pun memutuskan untuk tidak memikirkannya, dengan mengetuk pintu dan membukanya ketika menerima sahutan dari dalam.

Tok! Tok! Tok!

"Masuk!"

Ceklek!

"Selamat siang, semuanya!"

Bersambung.

avataravatar
Next chapter