1 Prolog

Mentari bersinar di ufuk timur, memberikan sentuhan hangat bagi semesta setelah fajar membuatnya terasa dingin dengan sepoi angin disubuh hari yang merasuk ke dlam tubuh. Di ruang makan sebuah rumah megah ber-cat silver itu telah duduk seorang kepala keluarga, ketiga putri nya dan seorang ibu rumah tangga yang berdiri di dapur dengan jarak beberapa langkah dari ruang makan itu.

"Mami, hari ini kakak berangkat bareng Bianca," teriak gadis ayu nun manis berkacamata itu sembari meletakkan dua sendok nasi ke atas piringnya. Ayana Syahreza, gadis berkulit putih susu dengan mata lebar dan bulu mata lentiknya. Wajahnya yang ayu akan menjadi manis saat ia tersenyum menarik lengkung bibirnya sedikit. Banyak kelebihan yang dimiliki gadis ini. Kimia, dia jagonya. Matematika? Tentu dia pawangnya. Seni? Dia seorang gadis muda yang memiliki bakat seni yang tinggi. Tak hanya soal akademik saja, gaya hidup yang sederhana meski dia anak orang kaya menambah penilaian baik orang-orang di sekitar tentang dirinya.

"Iya kak," kata sang wanita yang dipanggil mama sambil menyiapkan menu lauk yang sudah matang sejak beberapa menit lalu. Ini Natya Amalia Syahreza, mami kandung dari Ayana Syahreza. Kepribadiannya jauh lebih sederhana dari Ayana sang putri sulungnya. Wanita dengan usia diatas empat puluh tahun itu masih terlihat segar, bahkan seperti tak ada tanda penuaan di wajahnya.

"Kak, baru juga pagi suara nya udah menggelegar aja," ujar seorang lelaki dengan suara beratnya sambil membuka lembar demi lembar koran harian yang tiba sejak jam enam pagi tadi. Dia Karim Syahreza, kepala keluarga di rumah megah itu. Menjadi kepala keluarga tidak mengubah diri nya yang rendah hati menjadi sombong. Pribadi nya tetap saja seperti masa muda nya, ramah, rendah hati, sopan, santun, berwibawa dan dermawan. Tak jarang para wanita dengan usia tiga puluh keatas yang masih berstatus lajang rela menjadi istri kedua jika mengetahui bahwa pria hebat ini masih berusia dibawah 45 tahun.

"Ish Abang, ini Zayna dulu yang ambil," gadis berseragam putih biru itu berusaha mengambil lobster lezat di tangan saudara lelakinya.

"Tapi Zayna, ini kemarin aku yang minta mami buat masakin," tanpa rasa bersalah, sang abang melahap lobster itu sedikit demi sedikit.

"Tapi tinggal satu tau," gadis itu memanyunkan bibirnya, karena tak berhasil mengambil lobster itu akhirnya sang gadis mengambil lauk yang tersedia di meja makan.

"Biarin wek," jawabnya sambil menjulurkan lidah ke arah gadis seumurannya. Kalau mereka Zayn Zhafir Syahreza dan Zayna Zhafira Syahreza, anak bungsu kembar yang terlahir lima tahun setelah Ayana. Tidak ada yang pernah mengalah diantara keduanya sebelum akhirnya mami mereka akan mengambil milik mereka berdua. Sama seperti Ayana, mereka berdua sosok pemuda dan pemdui yang cerdas dan berbaik budi pekertinya, tidak sedikit yang menyayangi mereka karena kesederhanaan dalam gaya hidup mereka.

Sarapan itu berlalu dengan tenang meski sebelumnya ada keributan kecil antara Zayn dan Zayna. Satu persatu anggota berlalu dari meja itu. Zayn dan Zayna telah pergi beberapa belas menit yang lalu bersamaan denagn berangkatnya Karim Syahreza ke kantor milik nya yang berada searah dengan SMP si kembar. Ayana yang barusan berangkat ke SMA nya bersama Bianca meninggalkan sang ibu rumah tangga itu sendiri di rumah megah itu. Natya bergegas membereskan ruang makan. Kecekatan nya dalam melakukan segala hal membuatnya tidak membnutuhkan kehadiran pembantu dalam keluarganya. Semuanya ia urus sendiri.

Di jalanan sana dalam xenia hitam milik Bianca yang sedang menyusuri padatnya jalanan kota, Ayana sedang berbincang dengan tiga sahabatnya. Riana Aqilla Kamelia sang gadis ceria yang konyol selalu manjadi lawak dalam persahabatan mereka, Bianca Ayunindya Citrani Maheswari si gadis nama panjang nun dermawan yang tak pandang bulu saat membantu seseorang dan Ghina Kozcouglu gadis blasteran Indo-Turki yang paling modis dan stylish diantara yang lainnya.

"Gaes, kalian jadinya kemana nih lanjutnya?" Tanya Ayana pada ketiga sahabat nya itu.

"Gue sih ikut abang gue ke UGM kayanya, abis ayah sama mama ga berani lepas gue gitu, bilang nya takut gue keluyuran dan ga belajar. Lo semua tahu kan kalau abang gue segitu kerasnya ama pendidikan, padahal gue juga ga seburuk yang dikira ayah sama mama," ujar Bianca yang masih fokus dengan setir mobilnya.

"Gue juga ke UGM, nyokap ga berani lepas gue jauh-jauh katanya, takut rindu," jawab Riana masih dengan tangan yang menggulirkan video tiktok dengan raut muka datar nya.

"Terus lo kemana Ghin?" Tanya Bianca pada Ghina yang masih asyik dengan kaca dan beragam model rambut yang akan dicoba nya. Ghina menhentikan aksi nya dan menatap pada ketiga sahabat nya, mata yang tadinya berbinar kini berubah menjadi sayu menyiratkan ada hal yang tak membahagiakan di sana.

"Gue mintanya di Indo biar bisa bareng kalian, tapi papa minta gue buat ke Turki dengan alasan gue kuliah di sana sambil lanjutin bisnis papa sih. Udah gue tolak tapi tetep aja papa pengen gue kesana, ya mau gimana lagi kan,"

"Udah dong Ghin jangan sedih, yang penting persahabatan kita tetep, iya kan gaes?"

"Ya, bener banget!"

"Makasih gaes, tapi jujur nih ya, gue ngerasa berat buat ninggaling lo semua. Secara kita udah mau enam tahun sahabatan, dari mulai masuk SMP yang sama, sekelas di SMP, berangkat bareng, main kemana-mana bareng. Dan kalian tahu kan kalau ini udah jadi kebiasaan yang kita lakuin selama enam tahun. Ya kali gue di Turki mau kaya gini, kan ga bisa. Ga semudah itu juga buat dapet temen baru terus move on dari kalian malah keknya ga mungkin banget, hufth …" Ghina membuang nafasnya kasar.

"Udah dong sedihnya Ghina Kozcouglu, kalau lo bosen di sana, lo telfon aja kita bertiga, kan masih bisa telfonan, bisa komunikasi lewat hp Ghina," Ayana memeluk sahabatnya itu pelan, memberikan sedikit ketenangan dalam batin Ghina.

"Lah Aya, lo sendiri kemana? Jangan bilang lo juga keluar negeri?"

"Hufth, gue udah coba daftar ke universitas-universitas Indo yang ada tapi hasilnya nihil," jawab Ayana kemudian disusul keheningan suara dari sahabat-sahabatnya yang lain.

"Terus, lo nggak kuliah? Kan lo pinter Aya, lebih pinter dari kita bertiga malahan. Yakin ga kuliah? Jangan ngaco dong Ay," Bianca membuka keheningan yang telah berlalu beberapa belas menit.

"Lo itu yang jangan ngaco Bi, gue gak kuliah auto dinikahin sama ayah gue, ogah lah gue jadi mamah mudah, hii geli," ketiga sahabat itu tertawa ringan meski dalam pikiran mereka ada hal yang dipikirkan.

"Abisnya nih ya, lo bilang kalau udah daftar tapi hasilnya nihil, terus?" kali ini Riana yang angkat suara, pertanyaan yang menginginkan pernyataan dalam jawabannya.

"Gue diterimanya di Seoul National University," Ayana memanyunkan bibir tipisnya.

"Yeaayyy," tanpa aba-aba, ketiga sahabat lain nya bersorak gembira. Ayana melongo dengan sahabat-sahabat nya yang kegirangan.

"Lo pada kenapa malah seneng sih, gue aja sedih ninggalin kalian,"

"Kan nanti lo bisa ketemu oppa-oppa Korea yang gantengnya gak ketulungan itu Aya. Ada oppa Lee Min Ho, oppa Cha Eun Wo, oppa-oppa boyband Korea kaya BTS dan lain-lain Aya. Harusnya lo itu bersyukur tahu,"

"Terus juga lo bakal ketemu black pink, kan lo suka sama Jennie, terus siapa lagi ya, lupa gue,"

"Ayana sayang, kita sedih juga ditinggal lo tapi kita seneng lo bisa kesana karena kita bakal dapet untungnya, banyak malahan, iya gak?"

"Yoi lah,"

"Yaelah gue kira kenapa, ternyata ada modusnya," Jawab Ayana mengarahkan mata nya ke luar kaca mobil.

"Abisnya Ay, kalau gue yang kesana gada yang bakal dapet untung. Lo tahu kan gimana susahnya gue belajar Bahasa Inggris, apalagi ngomongnya. Yang ada nih gue dikira orang nyasar di sana, bukannya ketemu artis dan idola ague, eh malah nge-gembel gue di sana. Kan lucu," ucapan Riana barusan mampu membuat semua melupakan masalah mereka dengan tawa meski beberapa menit kemudian mereka kembali mengingat nya.

Mobil telah terparkir beberapa saat lalu saat Riana masih melawak tentang dirinya, bahkan lonceng sekolah yang telah berbunyi empat kali itu tidak membuat mereka tersadar bahwa hukuman telah menanti mereka. Ayana melirik jam tangan bertali putih tulang miliknya, menatap jam yang telah melewati batasnya.

"Gaes, cepetan turun, udah waktunya, kayanya udah bel daritadi deh. Cepetan turun keburu mang Reza nutup pintu nya," Ayana yang lebih dulu membuka pintu mobil segera berlari ke arah gerbang masuk gedung sekolah disusul sahabat-sahabat nya yang lain. Untung saja mang Reza masih patroli membuat mereka lolos dari ocehan mang Reza. Tinggal satu langkah menuju kelas untuk mengikuti pelajaran. Namun siapa sangka langkah pertama mereka masuk ke kelas disambut dengan suara pak Asep tepat di belakang mereka.

"Hehehe Bapak, gimana kabarnya Pak?" Ujar Riana berbasa-basi sambil melangkah untuk duduk di kursi bersama ketiga teman nya.

"Saya baik. Tapi siapa suruh kalian untuk berjalan ke kursi?"

"Riana Pak," Ayana, Bianca dan Ghina serempak menjawab sambil menunjuk kea rah Riana yang hanya menoleh dengan mata yang melebar. Seisi kelas tertawa ringan, namun bukan tawa ejekan melainkan nada tawa atas kekonyolan Riana.

"Iya pak saya yang nyuruh," Riana memasang muka polos nya.

"Kalian berempat, silahkan tutup pintu dari luar," pak Asep mengarahkan mata nya ke arah luar kelas.

"Terus masuknya gimana pak?" Lagi-lagi tingkah konyol Riana membuat seisi kelas tertawa.

"Emangnya ucapan gue salah ya?" bisik Riana pada Bianca.

"Ga salah sama ucapan lo, otak lo yang salah Ri," jawab Bianca terkekeh.

"Terus kita masuknya gimana?" Kali ini Ghina yang bertanya.

"Gak masuk sampai pelajaran pak Asep selesai," Bianca makin terkekeh.

"Yes, gue ga ikut kimia," suara Riana yang keras mampu membuat pak Asep dan seisi kelas menoleh kearah nya.

"Apa katamu barusan Riana?"

"Ng-nggak Pak, cuma agak sedih aja gak bisa ikut kelas Bapak," Riana tersenyum polos memamerkan gingsul kiri nya.

"Terus kalian berempat kenapa masih ada di dalam kelas?"

"Oh iya pak, kita mau tutup pintu dari luar kok," Keempat sahabat itu segera pergi keluar dan benar-benar menutup pintu.

Pagi ini mereka lolos dari mang Reza, tapi tidak dengan guru pertama yaitu pak Asep. Mereka berempat saling duduk bersebelahan di kursi depan kelas.

"Ri, lo kenapa ogeb banget sih depan pak Asep. Lo kan tahu pak Asep orangnya kaya gitu," Ghina yang menyesali kekonyolan teman nya itu tertawa kecil.

"Ya abis mana gue bisa mikir kalau udah kaya gitu. Ke gep sama pak Asep lagi, otak lawak gue keluar, muncul sendiri," jawaban Riana membuat para sahabat nya itu tertawa.

"Ke kantin aja yuk," kali ini Bianca yang angkat suara.

"Mau dicariin pak Asep gara-gara kita ga ada di depan kelas? Dan nanti dapet hukuman lagi?" Kali ini Ayana yang berbicara.

"Ogah lah, cukup pagi ini deh," serentak mereka menjawab pertanyaan Ayana.

"Yaudah tunggu aja sampe kelas pak Asep selesai terus cus deh ke kantin. Tenang Bi, cireng bik Sum belum abis, kan belum jam istirahat," Ayana melanjutkan ucapan nya.

"Kok lo tahu sih gue ngincer cireng bik Sum?"

"Siapa yang gatau sih," ujar Ayana singkat kemudian memberi kode pada Riana dan Ghina.

"Bik jangan lupa ya cireng kaya biasanya sama sambelnya lebih dipedesin, terus juga es teh manisnya jangan lupa tambahin lemon sedikit biar ada kecut-kecutnya. Soalnya pelajaran habis ini bakalan buat kita ngantuk bik," ujar ketiga sahabat Bianca menirukan gaya bicara nya saat memesan cireng di stand bik Sum. Bianca tertawa dengan kelakuan teman-teman nya yang sudah hafal dengan kebiasan nya.

Itulah Ayana Syahreza dan ketiga sahabatnya, berada dalam lingkar persahabatan yang apa adanya, tidak menambahi yang tidak ada dan mengurangi sesuatu yang telah ada. Sebuah contoh persahabatan yang benar-benar murni meski mereka tak jarang saling diam antara satu dengan yang lain.

avataravatar