1 CHAPTER SATU

Di pagi yang cerah ini, tampak seorang gadis tengah asyik mematut dirinya di cermin. Memeriksa seragam sekolah yang dikenakan agar terlihat sempurna membungkus tubuhnya. Tak lupa dia menyisir rambut panjangnya seraya menyematkan bando berwarna putih di atas kepalanya.

"OK, sempurna. Semangat hari ini," ucapnya menyemangati diri, disertai senyum lebar yang terulas di bibir.

Larisa Putri Kusuma, namanya. Sering dipanggil Icha oleh orang-orang di sekitarnya. Seorang gadis remaja berusia 18 tahun yang hari ini mulai duduk di bangku kelas XII IPA 3. Dia gadis yang cantik, periang, pintar, mudah bergaul dan yang paling penting setia kawan. Punya banyak teman di kelas meski tidak semuanya bisa bersahabat karib dengannya.

Menjadi putri bungsu dari Anton Kusuma yang merupakan pendiri sebuah perusahaan keramik terbesar di Indonesia, membuat hidup Larisa selalu bergelimpang kemewahan. Dia begitu dimanja oleh sang ayah mengingat mereka hanya tinggal berdua di rumah mewah yang mereka tempati. Ibunya tewas saat Larisa masih duduk di bangku SMP, meninggal dikarenakan penyakit kanker yang dideritanya. Sedangkan satu-satunya kakak perempuan yang dimiliki Larisa, kini tengah menuntut ilmu di Prancis demi mengejar impiannya yang ingin menjadi desainer terkenal.

Larisa berlari-lari kecil menuruni anak tangga, bergegas menghampiri sang ayah yang tampak duduk tenang di kursi ruang makan.

"Papa, selamat pagi," sapa Larisa, dia kecup pipi sang ayah.

"Pagi juga, sayang. Hari ini hari pertama masuk sekolah, kan?"

" Iya dong, Pa. Lihat, aku udah rapi, kan? Cantik belum?" tanya Larisa, dia berputar-putar di hadapan ayahnya.

Anton mengangkat ibu jari, mengangguk-anggukan kepala dengan semangat melihat penampilan putrinya yang memang selalu terlihat cantik mengenakan pakaian apa pun.

"Seperti biasa, putri papa emang yang tercantik," balasnya, membuat Larisa tertawa kegirangan, lalu beranjak memeluk erat sang ayah.

"Ayo, sarapan dulu!"

Bersamaan dengan ajakan sang ayah untuk sarapan, Larisa terenyak saat telinganya mendengar suara klakson dari luar. Tak perlu repot-repot mengintip keluar, dia tahu persis siapa pelaku yang membunyikan klakson sekencang itu tepat di depan rumahnya.

"Itu Reza udah dateng jemput kamu kayaknya."

"Iya, Pa."

"Ya udah suruh masuk dulu, kita sarapan bareng."

Larisa tak menyahuti ucapan ayahnya, dia melirik ke arah jam di dinding, lalu terpekik kaget ketika menyadari dirinya akan berakhir terlambat jika mengikuti ajakan sang ayah untuk sarapan bersama.

"Pa, aku berangkat sekarang aja. Mau telat soalnya."

"Tapi kamu kan belum sarapan, Cha?" tolak Anton, khawatir.

"Papa tenang aja, aku pasti sarapan di mobil kok."

"Oh iya, untung kamu punya pacar kayak Reza, Cha. Papa tenang kalau ada dia di samping kamu."

Larisa tersenyum kecil , ayahnya sudah sangat hafal kebiasaan pacar Larisan yang selalu membawakan makanan setiap kali menjemputnya untuk berangkat sekolah sama-sama.

"Aku berangkat dulu ya, Pa," pamit Larisa, kembali dia mengecup sayang pipi ayahnya.

"Iya, hati-hati di jalan. Sampein salam papa sama Reza."

Larisa membentuk kata OK dengan jari-jarinya, lalu berlari cepat menuju pintu.

Di luar pagar rumahnya, Larisa menemukan seorang pemuda tampan tengah berdiri bersandar pada sebuah mobil SUV hitam, kini sedang tersenyum manis padanya. Larisa berlari girang menghampiri sang pemuda, berdiri tepat di depannya dengan senyuman lebar yang terus terulas di bibir.

"Pagi, Honey," sapanya, yang dibalas si pemuda dengan usapan lembut di puncak kepala Larisa.

"Pagi juga, Beib," sahutnya.

Reza R Purnomo namanya, R dari kara Raden karena dia merupakan keturunan ningrat. Keluarganya masih berada dalam garis keturunan keraton Yogyakarta. Putra tunggal dari Brama R purnomo yang merupakan pemilik perusahaan konstruksi bangunan terbesar di Indonesia. Banyak hotel dan gedung-gedung pencakar langit di Indonesia yang ditangani oleh perusahaan miliknya. Bisa dikatakan, Reza merupakan pewaris tunggal dari kekayaan melimpah sang ayah.

Pemuda berusia 19 tahun itu merupakan mahasiswa fakultas kedokteran di salah satu universitas ternama di Indonesia. Memiliki paras tampan, tubuh tinggi atletis yang terbentuk saat dirinya menjadi kapten tim sepak bola saat masih duduk di bangku SMA. Menjadi most wanted di sekolah SMA-nya dulu karena selain fisik yang memukau, dia juga menjabat sebagai ketua OSIS. Memiliki otak yang cerdas, dan beruntungnya Larisa karena pemuda sempurna ini adalah kekasihnya. Sudah hampir dua tahun mereka menjalani hubungan.

"Ayo masuk!" ajak Reza, dia membukakan pintu mobil untuk Larisa.

Larisa masuk ke dalam mobil kekasihnya dengan riang, duduk manis dan bergegas memasang seatbelt.

Begitu mobil melaju meninggalkan pekarangan rumahnya, Larisa masih terdiam, sesekali dia melirik pada Reza yang tengah fokus menyetir. Dia menatap sang kekasih lama seolah sorot matanya menyiratkan makna lain. Reza melirik ke samping, tersenyum tipis ketika menyadari sang kekasih sedang menatap dirinya. Reza mengeluarkan sesuatu dari dashboard mobil, menyerahkan benda itu pada Larisa. Dia tahu pasti Larisa menatapnya karena menunggu benda ini dikeluarkan.

"Woow ... coklat kesukaan aku seperti biasanya. Makasih honey."

Larisa berucap dengan riang, menyambar coklat yang terulur padanya secepat yang dia bisa.

"Jangan dimakan dulu coklatnya."

Seketika Larisa menghentikan gerakan tangannya yang hendak membuka bungkus coklat itu, lalu menatap pacarnya bingung.

"Kamu pasti bangun kesiangan lagi makanya gak sempet sarapan?"

"Kok tahu?" tanya Larisa kaget, apakah mungkin pacarnya itu seorang cenayang karena dia selalu bisa menebak setiap kali Larisa bangun kesiangan dan nyaris terlambat?

"Kelihatan dari kamu yang lari-lari keluar rumah tadi. Sarapan dulu sana, itu di belakang ada makanan buat kamu."

Larisa menoleh ke belakang, dan benar saja di kursi belakang dia menemukan plastik putih berisi entah makanan apa tengah tergeletak kesepian. Dia pun tanpa ragu mengambil plastik itu, tersenyum lebar ketika menemukan sekotak donat beraneka rasa berada di dalam.

"Ya ampun honey, kamu emang yang terbaik. Paling tahu makanan kesukaan aku."

Reza tersenyum kecil, kepalanya menggeleng berulang kali menyaksikan tingkah laku kekasihnya yang tengah lahap menyantap donat itu. Sudah hampir dua tahun mereka berpacaran, tentu saja Reza sudah hafal betul makanan kesukaan Larisa. Gadis itu sangat menyukai makanan manis terutama coklat. Setiap hari dia selalu memberikan coklat untuk Larisa. Melihat gadis itu berteriak girang karena coklat pemberiannya, sudah cukup membuat Reza senang. Baginya kebahagiaan dan senyuman Larisa merupakan hal terpenting.

"Hari ini pertama kali kamu jadi anak kelas XII, kan? Gimana perasaan kamu?" tanya Reza tiba-tiba.

Larisa menoleh ke arah Reza, cepat-cepat dia telan potongan donat di dalam mulutnya.

"B aja sih," jawab Larisa.

"Kamu jangan terlalu banyak main lagi sama dua cecurut itu. Inget, nanti kamu harus ngikutin ujian akhir. Kamu harus giat belajar."

Seketika Larisa tertawa, tentu dia tahu betul siapa dua cecurut yang dimaksud kekasihnya.

"Honey, jangan manggil mereka cecurut dong, mereka itu sahabat baik aku."

"Mereka kan emang kayak cecurut, gak bisa diem. Ngoceh terus, pusing aku kalau ketemu sama mereka."

Dan Larisa pun kembali tertawa, diam-diam merindukan kedua sahabatnya yang tak dia temui selama liburan kemarin.

"Kamu nanti jadi kan kuliah ngambil kedokteran kayak aku?" tanya Reza lagi, membuyarkan semua lamunan Larisa tentang kedua sahabatnya.

"Jadi dong. Kan kamu tahu impian aku tuh jadi dokter. Aku mau ngambil spesialis kanker supaya nanti bisa nolongin orang-orang yang terkena penyakit itu."

Larisa tertegun, mengingat kembali pada ibunya yang tiada karena mengidap penyakit kanker. Sejak melihat ibunya tak berdaya karena penyakit itu, dia bertekad kelak dirinya akan menjadi dokter agar mampu menyelamatkan pasien-pasien penderita kanker seperti ibunya.

"Bagus, berarti nanti kita bisa kuliah satu kampus. Aku gak tahan kalau kita ampe gak satu sekolah. Ini aja aku pasti rindu banget soalnya gak bisa ketemu kamu lagi di sekolah."

Larisa terkekeh geli melihat ekspresi kecewa pacarnya. Dulu mereka memang satu sekolah saat SMA, Reza merupakan kakak kelas Larisa, usia mereka hanya berbeda satu tahun. Bagaimana mereka sering menghabiskan waktu istirahat di sekolah bersama-sama, Larisa juga pasti kehilangan momen manis itu karena kini Reza sudah lulus dari SMA dan resmi menyandang gelar sebagai mahasiswa baru.

"Kita kan masih bisa ketemu pas berangkat sama pulang sekolah," sahut Larisa.

"Iya, tapi tetep aja udah kebiasaan makan siang sama kamu kalau lagi istirahat."

"Kamu sendiri gimana? Hari pertama jadi mahasiswa kedokteran, pasti grogi ya?"

"Nggak juga tuh, B aja," jawab Reza seraya mengedikkan bahunya.

"Kamu juga yang serius ya kuliahnya supaya cita-cita kamu jadi dokter ahli bedah bisa kesampean."

"Ooh, udah pasti dong."

Mereka pun tertawa bersamaan setelahnya.

Tak terasa mereka tiba di depan sekolah Larisa. Gardellia International High School nama sekolah itu. Sekolah elit setingkat SMA yang mengikuti kurikulum berbasis internasional. Bisa dikatakan kurikulum di sekolah ini mengikuti kurikulum di sekolah negara-negara maju seperti Amerika, Inggris bahkan Jepang.

Sebuah sekolah yang tidak sembarang remaja bisa menuntut ilmu di sana. Hanya remaja yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata dan kekayaan yang melimpah yang bisa menuntut ilmu di sana. Biaya sekolah itu jelas lebih tinggi jika dibandingkan dengan sekolah SMA pada umumnya, hanya para orangtua kaya raya yang mampu menyekolahkan anak mereka di sana.

Salah satu alasan yang membuat sekolah ini menjadi incaran para orangtua yang mengharapkan masa depan anaknya cerah karena lulusan dari sekolah ini sudah dipastikan akan diterima tanpa test di universitas mana pun yang mereka inginkan, termasuk universitas luar negeri sekali pun. Banyak perusahaan besar di Indonesia yang akan menerima lulusan dari sekolah ini tanpa ragu karena dipastikan pendidikan mereka berkualitas tinggi.

Melihat deretan mobil mewah di sepanjang area parkir sekolah merupakan sesuatu yang biasa karena semua siswa di sekolah itu pasti mengendarai mobil masing-masing.

Larisa keluar dari mobil Reza dengan wajah berbinar, memandang gedung sekolah yang berdiri kokoh di depannya. Dia cukup merindukan sekolah yang sudah dia jadikan tempat menuntut ilmu selama dua tahun itu.

"Beib, semangat ya belajar hari ini. Nanti aku jemput kamu!" teriak Reza dari dalam mobil.

Larisa menoleh, dia menggelengkan kepala, memberi isyarat agar Reza tak perlu repot-repot menjemputnya.

"Nggak usah, kamu kan pasti sibuk. Kamu udah jadi mahasiswa sekarang."

"Sesibuk apa pun bagi aku, kamu tetep paling penting. Pokoknya kasih tahu aku kalau udah pulang. Awas kalau kamu pulang sendiri."

Larisa terkekeh, bisa dikatakan Larisa memang sangat beruntung memiliki kekasih seperti Reza yang begitu mencintai dirinya, sangat sayang dan perhatian. Jangan lupakan sikap romantis pemuda itu yang terkadang membuat Larisa terharu.

"OK, sampai ketemu nanti. Hati-hati di jalan."

Larisa melambaikan tangan ketika mobil Reza mulai melaju. Kemudian dia berjalan cepat memasuki gerbang sekolahnya.

"Holla, icha-icha paradise!!"

Seseorang tiba-tiba berteriak girang seraya merangkul bahu Larisa dari belakang, tanpa meminta izin. Larisa balas tersenyum antusias karena akhirnya bisa bertemu dengan orang aneh yang satu ini.

"Holla juga, Pretty," balas Larisa.

Pretty, itu hanya nama panggilan, karena nyatanya orang yang dipanggil pretty ini merupakan pemuda tulen yang sedikit ... ehemm ... melambai. Nama aslinya keren sebenarnya, Bams Arjuna. Sayang kelakukannya tak sekeren namanya. Konon saat mengandung dirinya, sang ibu selalu berdoa agar anak yang dilahirkannya perempuan. Tetap tak gentar memperlakukan anaknya seperti anak perempuan meskipun sebenarnya berjenis kelamin laki-laki. Alhasil, karena terlalu sering diperlakukan manis oleh sang ibu layaknya anak perempuan, Bams pun jadi seperti ini. Lebih senang dipanggil Pretty dibandingkan nama aslinya. Kelakuannya pun jauh dari kata cowok macho.

"Hon-hon you, gimana kabarnya?" tanya Pretty sambil tetap merangkul bahu Larisa.

Larisa baru ingin menyahut, jika saja suara pekikan Pretty tidak mengurungkan niatnya. Pretty mengelus kepalanya yang terkena timpukan tas seseorang.

"Gina, you kebangetan. Ngapain timpuk kepala ane pake tas, emang kepala ane bantal yang lagi dijemur apa harus ditimpuk-timpuk?"

Larisa terkekeh geli melihat kelakuan absurd kedua sahabatnya. Berbeda dengan gadis manis berambut pendek yang tengah bertolak pinggang di depan mereka, dia sedang menatap sebal pada Pretty yang sedang memasang wajah cemberut. Regina Aprillia, namanya. Biasa dipanggil Gina. Sahabat dekat Larisa sejak mereka duduk di kelas X. Dia sedikit tomboi tapi memiliki otak yang cukup cerdas. Orangtuanya jelas kaya karena itu dia bisa menuntut di sekolah tersebut.

Gina sering bertingkah layaknya seorang cenayang, efek dari kakeknya yang seorang cenayang terkenal. Gadis yang satu ini selalu merasa bisa membaca kepribadian orang lain melalui aura mereka, dan nyaris tak pernah akur jika bertemu Pretty, meski begitu mereka bertiga adalah sahabat karib.

"Kelakuan lo bikin gue geli. Hon-hon apaan sih? Bisa gak sih lo manggil nama orang tuh yang bener? Jangan ngasal seenak jidat lo," sembur Gina yang ditujukan pada Pretty.

"Yeee, si Icha aja manggil kak Reza, honey kok."

"Ya wajar, orang itu cowok pacar dia. Nah lo, apanya kak Reza emangnya? Dia aja enek kalau liat muka lo."

"Huuuu, iri bilang. Kayak dia seneng aja kalau ketemu you. You lebih ngeselin dari ane. Icha aja gak masalah gue manggil cowoknya kayak gitu, kok jadi you yang sewot ya? Efek jones kelamaan kayaknya ni."

"Heeh, lo juga jones. Asal aja kalau ngomong. Dasar cowok melambai."

"Udah ... udah, sesama jomblo ngenes jangan saling menghina," timpal Larisa tanpa berdosa, seketika membuat Gina dan Pretty memelototinya bersamaan.

"Udah akh, males ane kalau ada nih gorila betina di sini. Ane jalan ke kelas duluan yaa, bye ... bye ..." seru Pretty, tanpa menunggu respon kedua sahabatnya, dia melenggang menuju kelasnya bak model sedang berjalan di atas catwalk.

"Haduh, amit-amit dah, ada ya manusia kayak dia."

Gina berucap, dia mengelus-elus perut rampingnya, sesekali terlihat bergidik ngeri membayangkan sosok pretty yang jauh dari kata normal.

"Husshh ... jangan gitu, Gin. Gitu-gitu juga dia sahabat lo. Lagian gak ada dia, gak asyik tahu. Suasana jadi seru kalau ada dia, kita bisa ketawa terus."

"Ya kali dia badut."

"Dia walau tingkahlakunya aneh bin ajaib kayak gitu, tapi dia tetep cowok kok." Gina mengernyitkan dahi, heran bukan main mendengar ucapan Larisa yang jauh dari kenyataan.

"Cowok ... kemayu maksudnya," tambah Larisa sambil menyengir lebar.

"Nah justru itu, mana ada cowok kemayu kayak dia. Dia itu emang cowok setengah siluman kayaknya, ngeri gue lama-lama sahabatan sama dia, takut ketularan."

Larisa kembali terkekeh, jika dipikir-pikir di antara mereka bertiga mungkin hanya dirinya yang paling normal.

"Gue kok ngerasa aura-auranya beda ya hari ini."

"Maksud lo?" tanya Larisa, tak paham maksud perkataan Gina.

"Gue ngerasa bakalan ada something deh hari ini di sekolah. Tapi ya lihat aja nanti. Biasanya sih firasat gue gak pernah salah. Lo kan tahu kalau gue ...."

"Calon penerus kakek lo yang cenayang hebat, kan?" Gina mengangguk semangat mendengar ucapan Larisa.

"Kok lo tahu gue mau ngomong gitu? Waah, jangan-jangan lo ada bakat jadi cenayang juga, Cha." Larisa memutar bola matanya, malas.

"Udah berjuta kali lo ngomong kayak gitu sama gue, Gin. Jelas gue udah hafal di luar kepala apa yang mau lo omongin."

"Ooh, kirain lo bisa baca pikiran gue."

Gina terkekeh geli, sedangkan Larisa menggelengkan kepala tak habis pikir dengan jalan pikiran sahabatnya yang satu itu.

Mereka pun tiba di kelas baru mereka, kelas XII IPA 3. Seperti halnya saat mereka duduk di kelas XI, Larisan dan Gina kembali menjadi teman sebangku. Mereka duduk di bangku urutan kedua dari depan, sedangkan Pretty duduk di depan mereka bersama seorang pemuda bernama Ramos yang sudah terbiasa dengan kelakuan absurd seorang Bams alias Pretty. Sudah setahun lamanya mereka jadi teman sebangku ketika masih di kelas XI.

"Eh, pertanyaan ane kok belum dijawab?"

Pertanyaan itu meluncur dari mulut Pretty begitu Larisa dan Gina baru saja duduk di kursi mereka.

"Pertanyaan yang mana?"

"Itu lho ... hon-hon you, cha. Gimana kabar dia?"

"Oh, Reza baik kok. Tadi dia nanyain kalian juga."

"Serius?!!" pekik Pretty, girang luar biasa. Bukan rahasia lagi bahwa dia sangat mengidolakan seorang Reza R Purnomo.

"Ya ampun, itu suara gak kekencengan apa, telinga gue ampe sakit dengernya," sahut Gina, dia mengorek lubang telinganya dengan jari kelingking.

"Alaah lebay you, Gin. You kan tahu ane fans beratnya hon-hon icha-icha paradise. Wajar dong gue seneng, doi nanyain gue."

"Cha, serius? Emang cowok lo beneran nanyain kita berdua?" tanya Gina, tak yakin. Larisa mengangguk dengan senyuman lebar di wajahnya. Tak enak hati untuk berkata jujur takut mengecewakan Pretty yang tersenyum kegirangan, padahal Reza tidak pernah menanyakan mereka sejak tadi pagi.

"Hubungan lo berdua gimana?" lanjut Gina.

"Biasa aja, terkadang gue bosen malah."

"What? Bosen gimana maksudnya?" teriak Pretty heboh.

"Maksudnya Reza itu terlalu perhatian sama gue. Gue gak dikasih waktu buat ngangenin dia. Waktu liburan kemarin aja tiap kali gue ada acara keluarga, dia pasti ikut. Bosen kan jadinya?"

"Kok lo gitu sih, padahal cowok kayak Reza itu jadi inceran semua cewek lho. Gue aja iri sama lo bisa punya cowok kayak dia. Udah ganteng, tajir, pinter, perhatian, romantis lagi."

"Ane setuju sama you, Gina. Icha, you beruntung banget dapetin cowok kayak dia."

Pretty dan Gina mengangguk bersamaan. Untuk pertama kalinya mereka kompak.

"Gue ngerasa monoton aja hubungan gue sama Reza. Gue terlalu mudah dapetin apa yang gue mau. Padahal gue suka tantangan," sahut Larisa, dengan wajah tertekuk lesu.

"Menurut gue, cowok keren itu yang ganteng tapi pendiem. Cowok yang irit ngomong, cuek, sama punya tatapan yang bikin gue kesemsem kalau natap dia. Jadi gue ngerasa ada tantangan gitu buat dapetin perhatian dia. Gue harus berjuang dulu sebelum dia ngabulin permintaan gue. Hm, pasti puas banget deh rasanya bisa naklukin cowok kayak gitu," ujar Larisa, sembari menerawang menatap ke depan seolah dirinya sedang mengkhayal.

"Alaah, lo kebanyakan baca novel wattpad sama komik mangatoon makanya pikiran lo kayak gitu. Dimana-mana cowok keren itu ya kayak Reza. Harusnya lo bersyukur punya cowok kayak Reza," seru Gina, menolak mentah-mentah menyetujui ucapan Larisa. Pretty hanya mengangguk-anggukan kepala, setuju dengan ucapan Gina.

"Gue juga bersyukur kok punya cowok kayak Reza, cuma kadang-kadang aja gue berkhayal kayak gitu. Seandainya cowok idaman gue itu bener-bener ada."

Pembicaraan mereka pun terhenti saat bel tanda masuk sekolah berbunyi. Lalu tak lama berselang, sosok guru wanita berkacamata memasuki kelas mereka, Bu Rita namanya.

"Pagi anak-anak," sapa sang guru, ramah.

"Pagi, Bu!!" Yang disahuti seisi kelas dengan serempak layaknya paduan suara.

"Selamat datang di kelas XII, saya akan menjadi wali kelas kalian selama satu tahun ke depan. Mohon kerja samanya dari kalian semua ya."

Bu Rita mengedarkan pandangannya ke sekeliling kelas, menatap satu per satu wajah siswa yang akan menjadi anak didiknya.

"Oh iya, kalian akan kedatangan teman baru. Ayo masuk!!" ucap Bu Rita dengan suara melengkingnya, seketika seisi kelas menatap ke arah pintu saat suara langkah seseorang bergema memasuki kelas mereka.

Larisa nyaris lupa cara berkedip saat menatap sosok pemuda di hadapannya. Pemuda itu memiliki paras tampan yang tak kalah dengan Reza. Rambut yang sedikit berantakan, rahang tegas, hidung mancung, bibir serta alisnya yang sedikit tebal. Yang paling memikat dari pemuda itu adalah sorot mata tajamnya yang bagaikan elang serta tubuh tingginya yang terbalut jaket hitam.

"Perkenalkan diri kamu ya," ucap Bu Rita, yang langsung diangguki sang pemuda yang tengah berdiri santai sambil memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana.

"Nama gue, Arvan Marcellino. Pindahan dari SMA Nusantara," ucap pemuda itu dengan suara baritone-nya yang terdengar seksi di telinga Larisa.

"Kok anak SMA Nusantara bisa pindah ke sekolah ini?" celetuk salah satu siswa laki-laki.

"Karena otak gue memadai buat sekolah di sini," jawab Arvan cuek, yang seketika disambut dengan sorakan seisi kelas.

"Rumah lo dimana?" Siswa lain melontarkan pertanyaan.

"Yang pasti masih di daerah Jakarta," jawab Arvan lagi, memasang wajah tak berminatnya.

"Hobi lo apa, Van?" Kini seorang siswi perempuan yang melontarkan pertanyaan dengan wajah tersipu malu.

"Gak ada hal spesifik yang gue suka."

Dan untuk kesekian kalinya jawaban Arvan disambut sorakan oleh seisi kelas.

"Udah ... udah, jangan berisik. Gak ada lagi sesi pertanyaan!!" teriak Bu Rita karena kondisi kelas saat ini bergemuruh tak jelas.

Bu Rita menelisik seisi kelas, tersenyum saat menemukan satu kursi yang masih kosong.

"Itu kursi di belakang kosong, ya?" tanyanya.

"Kosong, Bu." Johan, pemuda yang duduk di sebelah kursi kosong itu yang menimpali.

"Arvan, kamu duduk di kursi itu aja ya."

"Baik, Bu. Terima kasih."

Setelah menjawab dengan sopan ucapan Bu Rita, Arvan pun melangkah menuju kursinya.

Larisa tak hentinya menatap wajah Arvan yang kebetulan melewati kursinya. Memejamkan mata saat parfum beraroma citrus segar yang dipakai pemuda itu menusuk indera penciumannya.

"Gin ... Gin!!" Heboh Larisa sembari menarik-narik lengan Gina.

"Apaan sih, Cha?"

"Itu, cowok barusan ... dia ... dia, tipe gue banget. Cowok keren menurut kriteria gue."

"Arvan maksud lo?" tanya Gina yang mulai memahami arah pembicaraan Larisa.

"Iya, gue gak nyangka harapan gue dikabulin sama Tuhan."

"Ya ampun Cha, masa cowok songong kayak dia, lo anggap keren sih? Lagian ya, mau dikemanain cowok lo?"

"Emangnya siapa yang mau jadiin dia cowok gue? Gue mau deketin dia buat gue jadiin sahabat."

"Sahabat?" tanya Gina, ragu. Larisa mengangguk penuh semangat.

"Heeh, gue kasih tahu dari sekarang ya. Jangan coba-coba main api, kalau apinya kegedean terus lo gak bisa ngendaliin, lo bisa kebakar."

Menyadari sepenuhnya makna tersirat dari ucapan Gina, Larisa mendengus sebal. Dia membuang muka, memilih melirik ke arah Arvan yang tengah terlibat obrolan dengan teman sebangkunya.

Dalam hatinya, Larisa bertekad akan mendekati pemuda itu. Dia hanya ingin menjadikannya sebagai sahabat. Ya sebagai sahabat, tidak lebih. Semoga saja ....

avataravatar
Next chapter