webnovel

Sekuntum Mawar di Taman Lavender

"Bu Elizabeth ada dirumah?"

"Iya. Tadi John yang membukakan pintu." Aisyah berjalan menuju dapur dan meraih kentang. Ia mengupasnya satu per satu dan memasukkannya ke dalam panci. Diisinya air lalu kompor dihidupkan. "Ma, aku mendapat nilai tertinggi di ujian kelulusan." Ucap Aisyah. Ibunya tersenyum mendengarnya. "Kau selalu menjadi yang terbaik. Mama selalu bangga padamu apapun yang kau dapatkan. Tetapi bukan itu fokus utama mama. Apakah Aisyah sudah sholat Ashar?" Gadis itu tampak menepuk dahinya. "Oh iya Aisyah lupa." Ibunya tersenyum lalu berkata, "Sana sholat dulu."

Ia mencuci tangannya lalu menuju ke salah satu ruangan yang mereka jadikan sebagai mushola sederhana. Mushola itu hanya berukuran 3×4 meter. Disamping ruangan itu juga dibangun kran air untuk tempat berwudhu. "Allahu Akbar" Aisyah memulai sholatnya. Tetesan air yang tersisa di dagu Aisyah menetes ke mukenah putihnya. Begitu ringan dan bening. Tetesan air itu seakan-akan melambangkan bentuk kasih sayang tuhannya yang maha pengasih dan maha penyayang. Ia membuka tangan-Nya lebar-lebar menyambut hamba-hambanya yang hendak kembali padanya. Ia selalu menanti mereka setiap saat. Aisyah adalah salah satunya. Ia memohon diberi ampunan dan perlindungan atas segala hal yang mungkin akan terjadi. Sangat sulit hidup di negara yang jauh dari budaya Islam. Ia dan keluarganya seakan-akan bagai lebah di tengah-tengah hutan pinus. Tidak ada asupan makanan dan tidak ada naungan untuk hidup. Ia harus bertahan diantara arus sungai yang dapat menghanyutkannya. Ia harus kuat tanpa diperlukan adanya perlawanan karena sesungguhnya Islam adalah agama yang aman. Dimana ada orang Islam, maka ia akan menciptakan keadaan yang aman untuk sekitarnya.

Seusai sholat, ia merapikan mukenahnya dan kembali ke dapur untuk membantu ibunya. Beberapa menit kemudian, masakan untuk makan malam mereka telah hampir masak. Aisyah mengeluarkan piring-piring dan gelas dari lemari kaca lalu menatanya diatas meja bundar itu. Tak lama kemudian, terdengar suara pintu terbuka. "Assalamualaikum." Aisyah dan ibunya menjawab salam dari laki-laki setengah baya yang mengenakan setelan jas hitam. Suara beratnya yang khas selalu dirindukan di tengah-tengah keluarga kecil itu. Ia mengendorkan dasinya yang bertengger di kerah kemeja putihnya. Namun gerakan tangannya terhenti ketika melihat jaket laki-laki diatas tas putrinya. "Chris lagi?" Aisyah hanya mengangguk tak menjawab. Ayahnya tersenyum masam sambil berkata, "Apakah dia tidak melihat dengan jelas tanda-tanda penolakan dari putri kesayangan ayah ini? Dia sungguh tidak ada harapan." Ia mengecup lembut kening Aisyah. Gadis itu diam tak berkomentar apa-apa. "Masih ada diluar sana pemuda muslim yang lebih pantas untukmu, Aisyah. Ayah akan membawakannya kepadamu."

Jauh dari sepengetahuan Pak Smith dan Aisyah, sebenarnya ibunya sudah mengetahui sejak awal kalau diam-diam putri bungsuya telah memiliki rasa pada Chris. Namun lebih baiknya tidak membahas soal itu. Itu adalah pondasi agama yang paling utama dalam urusan cinta. "Sudahlah. Biarkan Aisyah fokus untuk kuliah dulu. Kita bahas itu nanti saja. Lagipula Aisyah belum terpikirkan kearah itu." Ucap ibunya. Ayahnya meletakkan tas kerjanya diatas kursi dan naik menuju kamar untuk mengganti pakaiannya. Semenit kemudian kakak Aisyah yang bernama Asma datang mengucapkan salam. "Pulang lebih awal?" Tanya ibunya. "Iya, ma. Ternyata tugasnya dikumpulkan minggu depan. Pesan ketua kelas telat masuk di handphoneku." Gerakannya terhenti juga ketika melihat jaket asing itu. "Pemuda tampan itu sungguh mengejar-ngejar adikku ya?" godanya pada Aisyah. Gadis itu berdecak lidah mendengarnya. "Dia tidak setampan itu." Asma menggerutu, "Aku tahu kok. Aku pernah melihatnya. Dia sangat tampan. Pemuda berparas Perancis." Ia menyenggol pelan lengan adiknya. "Sudah, sudah. Tidak baik membahas laki-laki." Lerai ibunya membawa semangkuk makanan yang baru masak. "Dia bukan laki-laki, bu. Tetapi masih anak-anak, sama seperti Aisyah." Asma tertawa dengan nada mengejek. Adiknya hanya memukul pelan lengan kakaknya.

Makan malam berlangsung seperti biasanya. Tidak ada pembicaraan yang terlalu serius. Usai makan Asma menuju kamarnya dilantai atas dan membuka buku perkuliahannya. Ia mengulang kembali mata kuliah hari ini. Sedangkan Aisyah bersiap-siap untuk mempelajari ujian tes masuk Universitas Harvard. Universitas itu adalah salah satu universitas paling bergengsi di dunia dan mempunyai pendapatan terbesar di antara universitas-universitas di seluruh dunia. Harvard juga salah satu dari universitas swasta di Cambridge, Massachusetts, Amerika Serikat dan termasuk kedalam anggota Ivy League. Mereka adalah universitas-universitas yang paling prestisius di AS dan hampir selalu berada di peringkat teratas dalam daftar universitas top AS. Universitas itu adalah impian dari semua siswa di seluruh dunia. Mereka berlomba-lomba untuk belajar disana.

Aisyah duduk di meja belajarnya dan membuka laptopnya. Ia menyusuri web resmi Universitas Harvard. Hampir setengah jam ia fokus di web itu, lalu tiba-tiba terdengar suara pesan masuk di handphone nya. Diliriknya sekilas handphone yang tergeletak tak jauh di atas mejanya itu. Terlihat ada notifikasi masuk dari Facebook. Seorang pemuda yang tak dikenalnya mengirimkannya tiga pesan. Ia tak menghiraukannya dan melanjutkan kegiatannya.

Jam dinding dikamarnya telah menunjukkan pukul sepuluh malam. Ia menutup laptopnya dan memejamkan kedua matanya yang terasa panas. Kemudian Aisyah merebahkan tubuhnya keatas kasur dan beberapa detik kemudian ia sudah tertidur lelap. Satu menit, dua menit, tiga menit, ia telah masuk kedalam alam mimpinya. Ada hawa hangat yang seakan-akan menuntunnya masuk lebih dalam ke alam itu. "Aisyah." Suara asing itu membuatnya membuka mata. Langkah kakinya terasa sangat ringan melangkah. Begitulah ia mengenali bahwa ia berada di alam mimpi. Yang dilihatnya pertama kali adalah tangan kanannya yang digenggam oleh seseorang. Laki-laki itu menuntunnya melangkah maju dan terlihat senyuman manis di bibirnya. Mimpi itu tak begitu jelas bagaikan layar film 90-an. Hitam dan putih. Ia dapat merasakan dengan jelas rumput hijau yang mengelus lembut kakinya saat melangkah. Ia juga dapat merasakan hangatnya telapak tangan pemuda asing itu. Tiba-tiba ia tersadar akan sesuatu, kemudian ia menghentakkan tangan pemuda itu dengan keras sehingga terlepaslah ikatan tangan mereka. "Ada apa, Aisyah?", tanyanya dengan nada lembut. Ia berdiri mendekat, sangat dekat. Gadis itu menunduk lalu berkata, "Ini salah." Laki-laki itu tersenyum mendengar respon Aisyah. "Tidak ada yang salah. Lihatlah." Pemuda itu meraih jemarinya lalu terlihatnya cincin emas melingkar di jari manisnya. Seketika ia terbangun ketika ibunya mengetuk pintu kamarnya. "Aisyah, waktunya sholat subuh. Ayo turun."

"Iya, ma. Aisyah sudah bangun." Ucapnya dengan suara yang parau. Sejenak ia teringat akan sosok pemuda yang ada di mimpinya. Ia tak begitu menghiraukannya dan melangkah menuju kamar mandi untuk cuci muka dan gosok gigi. Sesampainya di lantai bawah, ayah, kakak, dan ibunya sudah menantinya di mushola sederhana itu. Kakak dan ibunya sudah mengenakan mukenah dan ayahnya mengenakan peci putih. Mereka duduk diatas sajadah mereka masing-masing sambil berdzikir pada Allah. Ketika Aisyah menggelar sajadahnya disamping ibunya, ibunya berkata sambil berbisik pelan, "Tidak biasanya Aisyah melewatkan sholat tahajud." Aisyah balas berbisik, "Semalam Aisyah belajar sampai larut malam." Diam-diam kakaknya mendengarnya juga. Kemudian Asma membalas, "Lihatlah, mama terlalu memanjakannya. Ia bahkan sampai terlewat sholat malam." Terlihat senyuman jahilnya pada Aisyah. Mendengar kebisingan dari wanita-wanitanya, laki-laki paruh baya itu kemudian berdiri hendak memulai sholat subuh pagi itu. Kemudian diikuti oleh sisa anggota keluarga yang berdiri tepat dibelakangnya.

Matahari masih tertidur. Cahayanya masih belum terlihat. Bahkan embun pagi masih baru saja memulai tugasnya, memberi asupan air pada tumbuhan-tumbuhan atas perintah Allah di tanah yang dipijak oleh orang-orang yang tidak pernah mengucapkan La ilaha Illallah di bumi Allah itu. Ia masih menunjukkan kasih sayangnya melalui tumbuhan-tumbuhan itu sehingga udara menjadi lebih segar dan dihirup oleh manusia-manusia yang tak pernah berterimakasih itu. Bahkan sang lautan dibuatnya geram. Setiap tiga kali sehari ia memohon pada Allah untuk menenggelamkan manusia-manusia itu. Namun Allah menahannya karena masih dilihat-Nya anak-anak bayi tak berdosa dan segelintir orang-orang Muslim yang menyembah-Nya diantara mereka.

Seusai salam, mereka duduk melingkar sambil memegang mushaf Al-Qur'an masing-masing. Seperti biasa, Aisyah dan Asma selalu berebut salah satu Al-Qur'an yang bersampul bagus. Ayahnya melirik mereka berdua lalu seketika mereka berhenti dan Asma menyerahkan mushaf itu pada adiknya. Ia mencibir pelan, "Anak kecil." Mereka bergantian membaca kitab suci itu dimulai dari ayahnya. Untuk sekali lagi, keluarga kecil itu menaburkan rahmat Allah di bumi cinta di antara kegelapan tanah Amerika itu. Walaupun tanah Mekah dan makam Nabi begitu jauh dari mereka, namun dirasakannya dekat sedekat urat nadi. Mereka masih dalam posisi yang sama hingga terlihat sedikit semburat cahaya matahari di kaki langit.

Pagi itu, mereka melakukan tugasnya masing-masing. Ayahnya telah siap dengan jas kerjanya, Asma dan Aisyah juga telah menyiapkan apa saja yang akan dibawanya ke sekolah. Kedua gadis itu membantu ibunya memasak didapur. Aktifitas di pagi hari itu seperti biasanya hingga mereka satu per satu meninggalkan rumah. Asma menaiki bus untuk pergi dan pulang dari kampusnya karena letaknya yang lumayan jauh dari apartemennya. Sedangkan Aisyah, ia hanya berjalan kaki ke sekolahnya. Ia tak lupa membawa payung dan jaket Chris bersamanya untuk dikembalikan. Dilihatnya pemuda itu yang sedang bersenda gurau dengan salah satu teman kelasnya. Ia berdiri membelakangi Aisyah. Terlihat jelas pundaknya yang bidang dari sisi belakang. Kemudian gadis itu menundukkan pandangannya dan berjalan kearah Chris. Lawan bicara Chris yang menyadari kehadiran Aisyah, ia segera memberi isyarat pada Chris untuk menoleh ke belakang. "Terimakasih." Ucap singkat Aisyah tanpa basa-basi sambil menyerahkan payung dan jaketnya. "Iya, sama-sama Aisyah. Tidak masalah. Kau tahu? Kemarin aku benar-benar kehujanan karena ayah tidak menjemputku. Dugaanmu benar. Tapi aku baik-baik saja." Terdengar gelak tawa darinya. Aisyah masih menunduk tak menanggapi basa-basi Chris. Pemuda itu sungguh pandai bicara. Ia memiliki banyak topik pembicaraan untuk membuat pendengarnya untuk tetap bersamanya. "Syukurlah kalau kau baik-baik saja. Sampai jumpa nanti ya. Masih ada sesuatu yang aku kerjakan." Gadis itu pergi meninggalkannya. Ia bahkan tak sekalipun memandang kearah Chris.

"Tunggu, Aisyah. Aku belum selesai berbicara denganmu." Pemuda itu mengejar langkah Aisyah. "Sudahlah, Chris. Aku sedang sibuk." Dilihatnya sosok Bethany di depan sana lalu Aisyah segera berlari kearahnya. Pemuda itu berhenti mengikutinya. Ia hanya mengamati lambaian baju Aisyah yang longgar itu mengikuti irama kakinya. Ia menyadari bahwa gadis itu sedang menjauhinya. Ia tahu apa alasannya. Chris mengenal Aisyah seperti halnya Qays mengenal Laila. Tanpa ditanya alasan, hatinya sudah terpaut pada Aisyah. Melihat Aisyah yang berlari kearahnya, Bethany terheran-heran. "Ada apa Aisyah?"

"Tidak apa-apa. Oh iya, ini novel yang kujanjikan padamu." Aisyah mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Terlihat ekspresi kedua matanya yang berbinar-binar. "Kau sungguh memberikannya padaku? Terimakasih banyak ya."

Hari itu dan hari-hari selanjutnya siswa-siswa senior tidak ada kegiatan belajar dan mengajar di kelas. Semua materi telah selesai dan ujian kelulusan telah dilaksanakan. Namun mereka tetap diwajibkan datang ke sekolah untuk mengisi aktifitas mereka daripada mereka menghabiskan waktu dengan bermain game ataupun menonton tv saja dirumah. Mereka ditugaskan membantu para guru untuk mengajar adik-adik kelas mereka, tetapi beberapa diam-diam keluar dan bermain basket di lapangan tertutup yang terletak jauh dari ruang kelas. Salah satunya adalah Chris. Ia selalu enggan untuk mengajar adik-adik kelasnya. Ia lebih suka menghabiskan waktu di sekolahnya bermain basket daripada harus membuka buku-buku pelajaran itu lagi. Ia dan beberapa teman seangkatannya dari berbagai kelas juga bermain basket bersamanya. Beberapa siswa perempuan yang malas mengajar juga ikut menonton mereka dari pinggir lapangan. Tak jarang Bethany dan Lucy mengajak Aisyah bersamanya. Mereka sesekali berdiam diri di kantin, taman sekolah, ataupun lapangan basket untuk melihat para siswa laki-laki itu bermain basket.

Kebetulan saat itu Aisyah diajak Bethany dan Lucy untuk melihat pertandingan basket. Mereka duduk ditepian lapangan bersama para siswi lainnya. Aisyah memalingkan pandangannya dari sosok Chris di tengah-tengah lapangan itu. Ia melihat pertandingan itu tanpa memperhatikan Chris. Bagaimana caranya berlari, bagaimana caranya melempar bola, bagaimana caranya melompat, ia sama sekali tak memandang kearahnya. Namun ia sangat mengenali suara langkah kaki Chris. Ia dapat mengetahui dimana Chris berdiri dan kemana ia berlari. Tanpa disadarinya, perhatiannya telah terpusat hanya pada Chris. Ia bahkan masih dapat mencium aroma parfum yang melekat di jaket Chris kemarin. Pemuda itu sungguh menghantuinya. Kemudian ia memutuskan untuk keluar dari lapangan basket meninggalkan Beth dan Lucy yang sedang fokus melihat pertandingan itu. "Aisyah!!!" Ia menoleh kearah belakang ketika beberapa siswa meneriaki namanya. Yang dilihat pertama kali adalah bola basket itu yang terbang melesat menuju kearahnya. Ia tersentak sejenak namun dengan cepat ia mengangkat kedua tangannya dan menangkap bola itu tepat didepan wajahnya. Kedua telapak tangannya dirasakannya panas dan sedikit sakit. Jantungnya berdetak semakin cepat. Hampir saja hidungnya patah. Ruangan itu sunyi sejenak lalu beberapa siswa lari menghampirinya. Chris juga berlari kearahnya. Dapat didengar jelas olehnya suara sepatu pemuda itu.

Mereka semua tampak mengkhawatirkannya. Namun ia baik-baik saja, hanya telapak tangannya yang memerah. Gadis itu tidak mau membuat teman-temannya khawatir. Ia tersenyum lalu berkata, "Aku tidak apa-apa. Ini hanya hal sepele." Kemudian ia meninggalkan ruangan itu sambil diikuti oleh Beth dan Lucy. Chris menyelip diantara teman-temannya agar mereka memberinya ruang untuk menyusul Aisyah diam-diam. Ia bersembunyi di balik tembok sambil mendengarkan perbincangan ketiga gadis itu. Mereka bertiga duduk di kursi kayu yang panjang. Aisyah duduk membelakangi pemuda itu. "Aduh bagaimana ini?" ucap Bethany ketika melihat kedua telapak tangan Aisyah yang memerah dan mengelupas. "Itu sakit kan, Aisyah?" tanya Lucy dengan nada khawatir. Kemudian Lucy dengan tanggap mengambil kemasan botol air minum dari tasnya dan membasuhnya ke telapak tangan Aisyah. Ia menahan rasa sakitnya sambil menggigit bibir merahnya. "Tahan sebentar ya, Aisyah", kata Bethany. "Apa yang harus kita katakan nanti pada orang tuamu? Aku takut, Aisyah", lanjut Lucy.

Seketika itu terdengar suara yang tak asing. Chris keluar dari balik tembok itu. "Aku yang akan bertanggung jawab. Kalian tak perlu mengatakan sepatah katapun. Aku yang akan menjelaskan semuanya pada orang tua Aisyah." Langkah kakinya mendekat. Kedua gadis itu menoleh untuk mengetahui siapa pemilik suara itu, kecuali Aisyah. Ia sudah dapat menebak siapa dia. Langkah kakinya terdengar sangat familiar untuknya. "Mana mungkin? Orang tua Aisyah tidak akan pernah memperbolehkan Aisyah pulang dengan seorang laki-laki", ucap Beth. "Tetapi sekarang situasinya berbeda. Aku harus tanggung jawab. Lihatlah, tangan Aisyah terluka karena kami." Mereka terdiam sejenak. Lalu Chris mengambil sesuatu dari saku celananya. Sapu tangan yang berwarna biru muda. "Aku hanya punya ini. Tolong kau rawat tangan Aisyah." Ia menyerahkannya pada Beth lalu terdiam sejenak. Ia tak memandang Aisyah sedetikpun. Chris kemudian mengangkat pandangannya keatas menatap langit biru itu. "Jangan kau kira aku perhatian padamu. Aku hanya merasa kasihan." Chris pergi meninggalkan mereka bertiga. Lucy mengernyitkan kedua alisnya mendengar itu. "Apakah kalian bertengkar?" Tanya Lucy. Aisyah hanya menggeleng pelan.

Beth dan Lucy segera mengeringkan telapak tangan Aisyah menggunakan sapu tangan pemberian Chris. Sekali lagi tercium parfum yang khas darinya. "Aisyah, aku boleh meminjam handphone mu sebentar? Handphoneku tertinggal di kelas", kata Beth. "Iya boleh. Ambil saja di tasku." Beth segera membuka tas kawannya itu dan mengambil handphone nya. Ketika ia membuka kunci di layar handphone Aisyah, ia melihat beberapa notifikasi yang masuk. Namun yang teratas adalah notifikasi dari Facebook. "Aisyah, siapa Shoaib Yousafzai? Tadi malam dia mengirimkanmu tiga pesan yang masih belum kau baca." Lawan bicaranya menoleh kearahnya. "Biarkan saja. Mungkin hanya orang jahil." Beth masih terpaku pada layar handphone itu. Lalu seketika ia menyikut lengan kawannya, "Aisyah, lihatlah. Dia mengirimkan pesan lagi padamu." Aisyah mengernyitkan kedua alisnya lalu memandang layar handphone itu. Lucy pun mendekat untuk melihat pesan itu.

Pukul 08:10 PM

Assalamualaikum.

Apakah kau Muslim?

Aku menyukaimu. Aku harap kita bisa berbicara lebih.

Pukul 10:03 AM

Assalamualaikum. Apa kabar, nona?

Aku harap kau membalas pesanku.

Hanya Lucy dan Beth yang bersemangat ketika membaca pesan itu. Mereka berdua tampak sangat gemas dibuatnya. Aisyah mengernyitkan kedua alisnya ketika membaca pesan itu. "Ayo Aisyah kita buka profilnya. Kita lihat seberapa tampan dia." Gadis itu tampak tak bersemangat dengan sikap acuh tak acuhnya. Melihatnya, Lucy menyikut lengan Aisyah pelan dengan senyuman jahilnya, "Setidaknya dia Muslim kan? Sama denganmu." Akhirnya Aisyah duduk mendekat lagi dan memandang ke layar handphone nya. Pemuda itu berasal dari Turki. Ia berumur dua puluh empat tahun dan tengah menempuh semester akhir di bidang kedokteran. Parasnya tampan, kulitnya putih bersih, badannya tinggi dan kekar. Warna matanya sama seperti warna rambutnya, hitam pekat. Senyumnya menawan dan di salah satu foto terlihat ia yang tengah memegang sesuatu yang mirip seperti tasbih. Rambutnya sedikit panjang hingga ujung-ujung rambut sampingnya menjuntai menyentuh daun telinganya. "Ia adalah pemuda Arab yang sangat tampan, Aisyah." Melihat semakin jauh profilnya, urat-urat diwajah gadis itu mulai rileks dan membuatnya tersenyum. "Bukan Arab, tetapi Turki."

"Arab atau Turki, bagiku sama. Lihatlah wajah mereka sama saja", kata Lucy. Aisyah terdiam sejenak sambil terus menatap layar handphone itu. Sedetik kemudian handphone itu bergetar lagi tanda ada notifikasi masuk. Beth menyerahkannya pada Aisyah.

Pukul 10:05 AM

Assalamualaikum. Apakah kau online?

Aisyah masih mematung menatap layar handphone nya. "Ayo balas pesannya, Aisyah. Dia pemuda yang imut", kata Beth yang didukung juga oleh Lucy. Seketika gadis itu mematikan handphone nya lalu memasukkannya ke dalam tas. "Tidak perlu. Dia cuma orang yang jahil saja. Nanti juga berhenti dengan sendirinya." Kedua kawannya itu hanya menghembuskan nafas panjang melihat respon Aisyah. Tak lama setelah itu, Chris datang menghampiri ketiga gadis itu. Ia masih membuang muka tak memandang kearah Aisyah. "Aku sudah meminta ijin pada wali kelas kalian untuk membawa Aisyah pulang. Ayo Beth, ambil mobilmu. Kebetulan hari ini ayahku tidak mengijinkanku membawa mobil lagi." Mereka bertiga segera bersiap-siap. Aisyah mengucapkan terimakasih pada Chris saat ia berjalan melewati pemuda itu. Ketiga gadis itu berjalan didepan Chris, sedangkan pemuda itu berada beberapa meter dibelakang mereka. Ia melakukannya karena ia sangat menghormati Aisyah lebih dari siapapun. Melihatnya berjalan disamping kedua orang temannya itu, Chris melihat Aisyah bagaikan bunga mawar merah yang bermekaran indah diantara birunya taman lavender. Apapun yang terjadi, ia terlihat berbeda dari bunga-bunga lainnya. kecantikannya terpancar dari sorot matanya, senyumannya, cara dia berjalan, bahkan suaranya terdengar indah. Aura itu terpancar dari segala arah. Ia sangat cantik walau ia menutupi kecantikannya. Berbeda sekali dengan Bethany dan Lucy yang berpakaian serba terbuka. Lengan putih mereka terlihat dan kaki jenjang mereka yang menggoda mata-mata lelaki yang melihat. Namun Aisyah, ia tak perlu melakukannya karena apapun yang ia lakukan akan selalu terlihat cantik dan anggun. Terkadang pikiran liar kerap menghinggapi Chris. Ia membayangkan bagaimana lekuk tubuhnya, bagaimana rambut indahnya, bagaimana lehernya. Itu semua membuatnya penasaran.

Sesampainya di tempat parkir sekolah, Bethany mengoper kunci mobilnya pada Chris dengan cara melemparnya. "Mobilku aku parkir di T-12. Kau saja yang menyetir." Pemuda itu hanya bisa mencibirnya kemudian pergi untuk mengambil mobil gadis itu. Lahan parkir itu cukup luas untuk ukuran parkiran Sekolah Menengah Atas. Ia hampir sama seperti lahan parkir di supermarket karena para guru dan siswa rata-rata mengendarai mobil mewah mereka masing-masing ke sekolah. Mobil yang seharga dengan rumah berjejer di lahan itu. Decitan suara ban mobil yang bergesekan dengan lantai beton itu terdengar sangat bising ditelinga ketika bel pulang sekolah berbunyi. Tak jarang pula mobil-mobil disana terlihat baru setiap harinya. Banyak diantara mereka yang memiliki mobil lebih dari dua dari merek ternama. Hanya segelintir siswa saja yang tidak mengendarai mobil ke sekolah termasuk Aisyah. Pemuda itu sudah sampai di parkiran T-12 dan terlihat disana mobil sport berwarna biru tua produksi terbaru sedang terparkir diantara mobil-mobil mewah lainnya. Kemudian Chris membuka pintunya dan duduk di kursi kemudi. Beberapa meter dari situ, dilihatnya ketiga gadis itu tengah menanti dirinya. Beth berdiri dengan kedua tangan yang diletakkannya di pinggang. Ketika mobil sport itu berhenti didepan mereka, Beth segera membuka pintu untuk memarahi sang pengemudi. "Tak bisakah kau menyetir dengan sedikit lembut? Aku tidak mau ada goresan di mobilku." Lawan bicaranya membalas dengan sikap acuh tak acuh, "Santai saja. Aku bisa membelikan yang baru jika rusak." Beth duduk di kursi depan bersama Chris, sedangkan Aisyah duduk di kursi belakang bersama Lucy. Diam-diam Aisyah memandang Chris lewat kaca spion yang berada didalam mobil. Terkadang pula pemuda itu memandang balik ke arah Aisyah lewat kaca itu. Namun mata mereka tak pernah bertemu. Jauh dilubuk hati keduanya berharap perjalanan itu lebih lama dari yang seharusnya. Sehingga mereka dapat mendengar detak jantung masing-masing lebih lama dan merasakan kehangatan suasana yang tercipta.

Beberapa menit kemudian, mobil sport biru itu sudah terparkir di lantai basement gedung apartemen Aisyah. Mereka menaiki lift menuju lantai enam. Ketika ibunya membuka pintu, yang dilihat pertama kali adalah putri kesayangannya. Namun sedetik kemudian ia memandang kearah Chris yang berdiri berjarak di belakang Aisyah. Tatapan ibunya itu memiliki makna tiga puluh persen tanda tanya dan tujuh puluh persen amarah. Kemudian ia memandang balik ke Aisyah dengan tatapan yang dingin. Chris angkat bicara sebelum ibu Aisyah membuka mulutnya. "Maaf tante, kedatangan saya kemari hanya ingin bertanggung-jawab karena telah melukai tangan Aisyah. Saya sungguh minta maaf atas hal itu." Chris menundukkan pandangannya merasa bersalah. Seketika tatapan ibunya berubah dan langsung meraih tangan putrinya dengan lembut. "Ya Allah, apa yang terjadi Aisyah? Kenapa ini?" Gadis itu menjelaskan apa yang terjadi tanpa menyalahkan Chris. "Aku tidak apa-apa, ma."

"Tidak apa-apa bagaimana? Mama tidak mau kalau nanti tanganmu infeksi dan sebagainya. Cepat masuk kedalam. Mama akan mengambilkan obat-obatan." Terlihat jelas kekhawatirannya. Sebelum ibunya menutup pintu, ia mengucapkan terimakasih banyak kepada Lucy, Bethany, dan juga Chris yang telah mengantar Aisyah pulang. Ketiga siswa itupun turun menaiki lift meninggalkan kediaman Aisyah. "Biasanya mamanya selalu mempersilahkan kita masuk, tetapi tidak untuk saat ini karena ada kau." Ucap Lucy pada Chris.