1 BAB 1

Dibangunkan dengan pagi yang begitu banyak anak hujan, dengan hembusan angin yang sangat dingin hingga terasa sampai menusuk tulang rusuk.

Aku bersiap–siap untuk pergi ke rumah nenek ku yang ada di Jogjakarta, karena keluarga ku akan pindah ke sana, aku baru lulus sekolah menegah pertama yang entah akan melanjutkan sekolah atau hanya terdiam di rumah.

Di tengah–tengah perjalanan ku melihat orang – orang berpakaian rapi, terlintas di dalam hati ku iri karna kemungkinan besar aku hanya diam di rumah tidak seperti mereka yang senang bermain di sekolah.

Sesampainya di Jogjakarta aku bertemu dengan teman ibu ku, yang mempunyai pondok pesantren.

"Wah ... sudah lama sekali kita enggak bertemu ya, Ris?" tanya Bu Inay saat melihatku dan ibu di depan rumah Nenek.

"Iya, Nay. Bagaimana kabarmu, Nay?" tanya ibu kembali.

"Alhamdulillah baik. Kamu baru datang, Ris?"

"Iya. Niatnya, mau tinggal bareng umi lagi. Oh ya, kenalkan, ini Syifa—anakku."

Aku pun langsung mengulurkan tangan ku dan tersenyum padanya. "Assalamualaikum, Tante. Saya Syifa," sapaku

"Wah .. kelihatannya anakmu baru lulus sekolah dasar ya, Ris?" tanya Bu inay

"Iya .. minggu lalu anakku baru saja kelulusan sekolah dasar," jawab ibuku

"Oh begitu .. mau di teruskan ke mana rencananya?" tanya Bu inay

"Entah, belum ada rencana sekolah di luar, kamu tahu 'kan bagaimana sekolah pada umumnya? Banyak biaya yang harus dipersiapkan, sedangkan kini keluargaku tengah kesulitan ekonomi."

"Iya sih ... Sekolah umum itu terlalu berbahaya, bagaimana kalau kamu masukan anakmu ke pesantren saja, Ris?" tanya Bu inay

"Sempat sih memikirkan ke arah situ, tetapi anakku kuat tidak ya?" ibu tampak ragu.

"Tanya saja dulu anakmu Ris, kalau mau pesantren, ikut sama aku," jawab Bu inay dengan penuh ajakan

"Aku tanya suamiku dulu ya ... pesantren kan biayanya tidaklah murah Nay."

"Soal biaya jangan kamu pikirkan Ris, kamu 'kan temanku, ajakanku ini karna aku membutuhkan yang sungguh-sungguh ingin mengaji." Bu Inay tampak sungguh-sungguh menginginkanku ikut.

"Ya sudah, kalau begitu nanti aku tanya suamiku dulu bagaimana baiknya."

"Ya sudah, kalau begitu. Aku tunggu ya keputusan suami kamu, aku pamit dulu, sudah sore ternyata." Bu inay dengan penuh harapan. "Assalamualaikum."

"Wa'alaikumsalam," sahut ibu.

Aku dan ibu pun masuk ke dalam rumah, duduk di sofa dan ibu menghampiri ayah yang sedang asik memainkan gitarnya.

Sambil bersantai aku memainkan ponsel, terlintas dalam benak Allah begitu sayang padaku sehingga mengabulkan doa begitu cepat. Tidak terasa air mataku menetes, penuh harap ibu dan ayah menyetujui ajakan Bu Inay.

"Shifa!" seru ibu, membuyarkan lamunanku.

Aku pun bergegas menghampiri ibu dan ayah yang sedang berbincang-bincang, dalam hati terus memanjatkan doa agar kabar baik yang ku dapat.

"Iya Bu ...," jawabku

"Ini ayah mau bertanya soal pesantren."

"Ayah mau memastikan memang kamu mau pesantren? Jauh dari Ayah sama Ibu, terus kamu juga harus mengikuti peraturan-peraturan di sana?" pertanyaan ayah yang begitu beruntun seperti kereta api sempat membuatku goyah, tapi sayangnya aku sudah bertekad.

"Shifa sih enggak masalah sama peraturan-peraturan di sana. Lalu, Shifa juga mau belajar mandiri jauh dari Ayah sama Ibu. Shifa juga 'kan mau bikin Ayah bangga sama Shifa," jawabku penuh dengan keyakinan dan tekad

"Ya sudah, kalau memang Shifa sudah tekad untuk pesantren ayah izinkan SShif. Pesan ayah hanya satu; Shifa yang rajin dan patuh apa yang di suruh selagi itu benar."

Aku pun hanya mengangguk mendengarkan nasihat yang ayah berikan.

"Kalau begitu besok Ibu ke rumah Bu Inay, mau menanyakan apa saja yang harus di bawa," sela ibu.

Selang beberapa menit azan Magrib terdengar menggema di setiap rumah-rumah. Aku pun beranjak menghampiri kamar mandi yang begitu menganteri. Kami tinggal di rumah nenek, tempat dimana paman, bibi dan saudara lainnya tinggal, mungkin di dalam rumah tidak lebih dari 50 meter persegi ini dihuni oleh 3 kepala keluarga.

Tibalah akhirnya giliranku, walau harus lama menunggu, aku pun membasuh bagian-bagian tertentu dengan berurutan. Sejuknya air yang menerpa kulit mampu menyamarkan rasa penat ku, rasanya seolah mendapat tambahan energi baru.

Tak terasa waktu sholat Magrib dengan cepat berlalu, selesai sholat aku mencoba membuka kitab suci Al-Qur'an. Walau bacaanku tidak selancar kereta api, tetapi aku coba terus mencobanya, tidak banyak yang ku baca hanya beberapa ayat-ayat pendek. ku peluk kitab suci Al-Qur'an, tidak terduga air mataku menetes dengan deras, ku bersujud berterima kasih atas apa yang Allah berikan kepadaku.

"Shifa ...," suara ibuku yang memangil-manggil namaku

"Iya Bu?"

"Ini siapin baju muslim mana saja yang mau kamu bawa," titah ibu seraya membawa sekeranjang baju milikku.

"Nanti saja Bu ... Shifa belum pilih-pilih, baju Shifa kan banyak."

"Maka dari itu harus pilih dari sekarang biar nanti langsung berangkat," ucap ibu yang mengingatkan ku.

"Oh iya juga, ya." Aku tersenyum kecil karena malu.

Aku pun memilih baju mana saja yang akan aku bawa, dan itu semua sangatlah susah. "Rasanya ingin ku bawa semua bajuku," gerutuku dalam hati.

Sekian lama ku memilih baju, tak terasa waktu sudah begitu larut dan mataku sudah tidak kuat untuk terus melihat, tidak terasa mataku terpejam di atas tumpukan baju yang belum sempat aku rapikan lagi.

Belum lagi mata ini terpejam lama, sayup ku dengar suara ibu memanggil, menarik ku kembali dari alam bawah sadar.

"Shifa ...," suara lembut ibu yang membuatku bangun dari tidurku.

"Pindah jangan tidur di sini, nanti badan kamu pegal-pegal," titah ibu.

"Iya Bu sebentar lagi ...," jawabku dengan mata tertutup. Tidak langsung banyak bicara ibu langsung menggandeng tanganku. "Ah ... Ibu," gerutuku sambil berjalan ke arah kamar nenek.

Aku tidur bersama nenek, yang saat itu beliau juga sudah tidur lelap, tidak lama-lama aku pun meniduri kasur yang empuk sambil memeluk nenekku. Rasanya tidak sabar menanti hari esok, menyongsong masa depan yang baru.

***

Suara lantunan ayat suci menggema. Ku lihat di sekitar ternyata suara itu berasal dari para santri yang tengah mengaji. Namun, yang membuatku terkejut adalah aku menjadi bagian dari mereka.

Bibirku seolah bergerak sendiri melantunkan ayat suci dengan merdu dan Tartil, sama seperti saat ayah sedang mengaji. Padahal, mengaji pun belum terlalu lancar, bagaimana bisa seperti ini?

Dari kejauhan ku lihat Bu Inay tengah memimpin kami, membaca bersama dan berirama satu ayat Al-Qur'an yang entah apa namanya. Kami, ya ... kami semua termasuk aku langsung mengikutinya seolah sudah terbiasa.

Mendengar ayat-ayat itu keluar dengan lancar bak air mengalir membuatku haru, air mata menggenang di pelupuk mata karena akhirnya bisa mmebaca Al-Qur'an dengan benar. Mungkin, inilah pondok pesantren yang Bu Inay maksud, ya pasti seperti itu.

Saat sedang syahdunya melantunkan serta mendengar ayat-ayat itu dibaca, sayup ku dengar Bu Inay memanggil namaku.

"Syifa ...," serunya seraya melambaikan tangan.

Aku hanya menjawabnya dengan anggukan kecil seraya tersenyum tipis. Lalu dia mengulangi hal yang sama, memanggilku dan melambaikan tangannya. Apa dia ingin aku menghampirinya, ya?

Dengan langkah ringan, aku berjalan menghampiri mimbar di mana dia berada. Bu Inay mendekat, lalu mengulurkan tangannya ke arahku. Lalu tiba-tiba ...

"Shifa!" suara Bu Inay tiba-tiba saja berubah menjadi suara nenek. Tiba-tiba saja semua buyar, seolah yang baru saja aku alami hanya ilusi saja.

"Hm ... Ya Nek," sahutku sambil mengucek mata yang masih terasa kantuk.

"Ayo bangun .. sholat dulu," ujar nenek menyuruhku sholat Subuh.

"Iya Nek." Aku berusaha bangkit dari tempat tidur, sambil membangunkan jiwaku yang masih tertidur.

Ya Allah ... apa mungkin ini pertanda engkau meridhoi aku untuk pergi menuntut ilmu? Jika iya, segerakan lah.

avataravatar
Next chapter