webnovel

Lilin

Jangan bersedih jika kau hanya bisa hidup seperti lilin. Walau kau harus mati, setidaknya kau telah menerangi kehidupan yang lain

Senin.

Hari ini aku sangat malas. Huft, memangnya kapan aku tidak malas untuk sebuah kuliah umum yang membosankan? Untungnya ruangan ini dilengkapi degan banyak jendela, jadi aku tak terlalu sesak karena dapat menikmati alam. Buku tulisku hampir penuh dengan coretan. Bukan dengan catatan kuliah, tetapi dengan berbagai gambar. Mulai dari tanaman perdu sampai detail tong sampah yang ada di balik jendela.

Mataku mulai mencari fokus lain. Aku melihat mahasiswa-mahasiswa dari suatu jurusan sedang sibuk dengan praktikumnya, di salah satu ruangan di gedung seberang. Aku tertawa kecil melihat kekusutan wajah mereka. Aku mencoba melukis kegiatan mereka yang sangat dinamis itu.

Namun kemudian, tanganku terhenti sejenak saat melihat seorang gadis di ruangan itu, yang sedang mencampur-campur bahan kimia. Uniknya, dia selalu tersenyum kecil setiap melakukan detail akrivitas di ruangan itu. Aku tersenyum, lalu melukisnya, berharap dia tetap dalam jangkauan pandanganku hingga lukisan ini selesai. Beberapa lama kemudian, aku terkejut karena ternyata dia melihatku dari seberang. Dia tersenyum semakin manis, tetapi aku malah bertindak bodoh hingga kegiatanku ini diketahui dosen.

Dosen itu mengambil seluruh lukisanku, untung saja aku sempat mengamankan lukisan terakhir sebelum seluruhnya raib dari tanganku.

Selasa.

Menjadi seorang mahasiswa, tidak afdol jika tugasnya tidak banyak. Kuliah hari ini memang kosong, tetapi aku harus ke perpustakaan pusat untuk mencari refensi tugas-tugasku ini.

Kegiatanku mencari buku teralihkan saat melihat sekumpulan orang berjaket himpunan farmasi sedang berdiskusi. Mungkin orang lain akan berpikir, apa yang menarik dari kegiatan seperti itu? Jawabanku adalah dia. Ada dia diantara mereka. Bahkan dia terlihat menjadi pusat perhatian dari kelompok tersebut, seperti sedang menerangkan suatu materi kuliah.

Lekas aku mengambil beberapa buku yang diperlukan untuk tugasku, lalu mengambil posisi yang tepat untuk bisa memandang dan melukisnya. Untuk saat ini, dia adalah objek yang sangat menarik untuk dilukis, bagiku.

Dia memandangku lagi, bahkan teman-temannya ikut memandangku setelah dia terlihat tidak lagi fokus bicara dalam kelompok itu. Kali ini aku lebih salah tingkah, aku balas senyumannya dengan sipuan malu. Aku heran, entah aku yang tidak bisa bertindak seperti detektif atau dia yang terlalu peka.

Rabu.

Malam ini, BEM mengundang himpunan-himpunan untuk sosialisasi program kerjanya. Bahasan yang terlalu abstrak bagiku. Tetapi mau tak mau aku harus datang karena tidak ada lagi orang di himpunanku yang mau datang. Dan terlebih lagi, aku memegang suatu jabatan internal kampus di himpunanku.

Tetapi aku bersyukur, mereka menumbalkanku malam ini. Karena ternyata di forum itu ada dia. Hari itulah, aku mengetahui siapa namanya, dan pertama kalinya aku mendengar suaranya yang jernih. Dia banyak bicara di forum ini. Omongannya pun berbobot, tidak seperti mahasiswa-mahasiswa lain yang sering mengkritik BEM tanpa memberi solusi.

Akhirnya aku bisa memandangnya tanpa terkesan mencuri. Dia cantik, dari balik kepribadian dan senyumannya.

Kamis.

Aku semangat untuk pagi ini. Aku dan teman-teman dari berbagai jurusan di kampus akan melakukan pengabdian masyarakat di sebuah desa. Ada beberapa aspek yang akan kami sedikit benahi di sini, terutama kesehatan, pendidikan dan kreativitas masyarakatnya. Selain karena aku menyukai kegiatan seperti ini, kegiatan ini juga merupakan proyek yang melibatkan dia.

Sesekali aku menyempatkan diri mengunjungi balai kesehatan, hanya untuk melihatnya. Dia sedang memberi konseling di sana. Aku mendengarnya berbicara dengan seorang pengidap kanker. Pasien tersebut terus mengeluh karena tidak suka dengan obat-obatan yang dikonsumsi.

Dia berusaha menyemangati pasien tersebut, matanya berlinang, terlihat menahan tangis. Saat pasien itu pergi, dia mengusap matanya.

“Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya bicara padaku yang terlihat mengamatinya.

“Tidak, maaf kalau mengganggu,” jawabku, dia hanya tersenyum. “Kamu menangis karena kondisi pasien itu?” aku balik bertanya.

“Oh aku salah, aku terlalu merasakan apa yang dia rasakan. Seharusnya nggak seperti ini. Obat kanker itu memang sangat tidak enak, tidak ada eksipien (zat tambahan) yang dapat menutupi rasa pahitnya tanpa mengubah efek dari zat aktifnya,” jelasnya sambil tersenyum dan kembali tak bersedih.

Aku lekas kembali ke pekerjaanku karena pasien lainnya menunggu.

Mengapa dia bisa seperti itu? Sepertinya tidak semua tenaga kesehatan bertindak seperti itu. Olah rasa seperti apa yang dia pelajari?

Jum’at.

Jum’at sore adalah jadwalku untuk mengantar ibu melakukan cuci darah di rumah sakit. Bosan menunggu, aku pergi mengelilingi rumah sakit. Di sana aku menemukan sebuah ruangan yang unik. Aku dapat melihat dalamnya karena hampir seluruh bagiannya adalah kaca. Terdapat banyak alat-alat berat dan beberapa manusia memakai pakaian seperti astronot. Aku melihat seseorang yang sepertinya aku kenal. Dari dalam, orang itu menyipitkan matanya seperti tersenyum padaku.

Tak sadar, sudah cukup lama aku berkeliling, aku pun kembali duduk dan menunggu ibu di ruang tunggu.

“Kamu lagi?” ujar seseorang yang kemudian duduk di sampingku.

Ternyata itu dia, dia yang memulai pembicaraan denganku. Entah mengapa, aku melihat, kecantikkannya seperti berkurang, tetapi senyumnya masih tetap memikat.

“Aneh ya, lihat orang-orang di ruang steril tadi?” tanyanya.

“Oh jadi tadi itu kamu?” aku balik bertanya.

“Iya. Kalau sudah di ruang steril. Tidak ada yang cantik. Seluruh badan dilapisi pakaian, tinggal mata yang masih terlihat. Bahkan make up pun harus dihapus terlebih dahulu,” ceritanya.

Seseorang menghampiri kami, dan memanggil gadis itu. Dia meminta gadis itu untuk memberi konseling obat kepada seorang pasien. Semula dia menolak karena dia belum menjadi seorang apoteker profesional. Dia hanya seorang mahasiswa magang. Namun, akhirnya dia tak bisa menolak karena sang pasien hanya ingin diberi konseling olehnya.

Ya Tuhan, aku sudah bertindak terlalu jauh. Aku mengagumi segala tentangnya, aku tak menemukan celah sedikit pun. Tolong biarkan rasa ini tumbuh dan jangan biarkan dia risih dengan sikapku.

Sabtu.

Aku berjalan di koridor kampus sembari mengoperasikan ponsel, seseorang menabrakku. Aku meminta maaf dan membantunya bangun. Dia lagi.

Wajahnya terlihat pucat. Aku sangat merasa bersalah. Mengapa dengan jatuh saja, wajahnya sudah terlihat tak sehat? Padahal tidak ada benturan keras. Alarm ponselnya berbunyi. Kemudian dia duduk di bangku terdekat, mengeluarkan sesuatu dalam tasnya. Aku menghampiri dan membantunya.

“Itu obat apa?” tanyaku.

“Hanya suplemen,” jawabnya sambil tersenyum seperti biasa.

Aku melihat bungkus obatnya saat dia meneguk segelas air mineral.

“Mengapa nama obatnya sangat asing?”

“Tahu apa kamu soal obat?” sindirnya masih dengan senyumannya. “Ini bidang keilmuanku, aku lebih tahu soal ini dibanding kamu,” lanjutnya sambil beranjak pergi.

Mengapa ada rasa takut dan khawatir dalam hatiku? Kepucatan di wajah memudarkan kecantikkannya, tinggal senyumnya lah yang menyisakan kecantikkan fisiknya.

Minggu.

Hari ini kakakku melahirkan anak pertamanya. Aku senang sekali melihat seorang bayi dalam inkubator. Bayi itu bukan hanya sebersih kapas, tetapi dia juga terlihat sangat terlindungi.

“Dean,” panggil seseorang dari belakang. Aku sangat terkejut saat membalikkan badan. Dia memanggilku, dia tahu namaku.

“Kamu?” responku dengan lidah seperti membeku. “Kamu tahu namaku?”

“Kenapa tidak tahu? Kita pernah satu forum dan mengerjakan satu proyek yang sama,” jawabnya. “Sedang apa?” tanyanya dengan senyum khasnya, di atas kursi rodanya.

“A-aku sedang melihat keponakanku,” jawabku. “Kamu sendiri?”

“Hanya sedang berjalan-jalan.”

“Ingin aku temani?” tanyaku dan dia mengangguk.

Aku membantu mendorong kursi rodanya. Kami terhenti di taman rumah sakit, lalu duduk sambil menikmati bunga-bunga di sana. Aku masih bingung harus bicara apa, semua rasa bercampur dalam hatiku.

“Sebenarnya kamu sakit apa? Kamu pucat, tidak seperti orang sehat. Kemarin kamu bohong soal obat? Sekarang kamu datang padaku menggunakan kursi roda,” tanyaku tak tertahan lagi.

Dia masih bersikap tenang, mencoba menjawab satu persatu pertanyaanku. “Kemarin aku nggak bohong, obat yang aku minum memang fungsinya seperti suplemen, hanya menghilangkan rasa sakit, bukan penyembuh suatu penyakit,” jawabnya sambil tersenyum. “Karena sebenarnya penyakitku adalah ataksia, penyakit saraf yang belum ada obatnya,” lanjutnya masih dengan sangat tenang.

Aku menangis, ingin marah. Tapi tak boleh, dia yang merasakan saja masih bisa tenang. Aneh, mengapa dia menangis karena penyakit orang lain, tetapi kondisinya seperti ini dia tak menitikkan air mata sedikitpun.

“Kamu seorang farmasis, kamu harus cari obatnya, obat penyakit ataksia itu.”

“Tak semudah itu.”

“Kenapa kamu memberi konseling untuk orang lain, membuat obat untuk segala macam penyakitnya. Tapi dirimu sendiri seperti ini?”

“Aku hanya,” dia terhenti, matanya tampak berlinang tapi berusaha menahan tangis.

“Maafkan aku.” Aku menyesal tak dapat mengontrol emosiku.

Dia menarik napas dan mencoba bicara.

Aku memberikan tissue untuknya. “Jangan pernah menahan tangis, kalau tujuannya hanya agar terlihat lebih kuat. Walau tak mengubah keadaan, dengan menangis, beban akan sedikit pergi bersama airmata.”

“Terimakasih.” Akhirnya dia menangis, walau masih terlihat menahan. “Aku hanya ingin sedikit berpengaruh bagi kesehatan hidup mereka. Soal penyakitku, aku hanya bisa berserah. Sejak awal divonis, aku berusaha untuk tidak kecewa kepada Tuhan, aku berusaha untuk tetap semangat dan bersyukur karena aku adalah seorang farmasis maka aku akan temukan obatnya,” ujarnya penuh semangat. “Tapi saat ini, aku sudah lelah, aku merasa sudah di ambang batas. Aku hanya ingin menikmati, mencoba melupakan kalau aku sedang sakit dan terus berusaha untuk membahagiakan orang di sekitarku.”

“Hanya untuk itu? Ekspektasimu sebagai seorang farmasis? Kamu nggak peduli dengan tubuhmu? Kamu harus temukan obatnya, kamu harus sembuh.”

“Dean, pada akhirnya semua manusia akan meninggal bagaimanapun caranya. Tidak ada yang dapat menciptakan obat keabadian. Nicolas Flamel, yang mencoba menciptakan ramuannya pun pada akhirnya meninggal. Karena itu takdir yang mutlak dari Tuhan.”

“Kita semua tahu akan hal itu. Lalu kalau seperti itu, untuk apa ada farmasis yang menciptakan obat? Toh Tuhan sudah menentukan kapan kita akan kembali pada-Nya.”

“Kami hanya bekerja untuk membuktikan kalau manusia itu berusaha memperjuangkan hidupnya. Itu yang ingin Tuhan lihat dari seorang hambanya,” terangnya. “Dean, kita baru saling kenal. Kamu nggak tahu sejauh apa aku sudah berusaha. Sekarang, biarkan aku menikmati semuanya, biarkan aku lupa mengenai kondisiku yang sesungguhnya,” dia memejamkan mata dan menghirup udara sekuat-kuatnya.

Suaraku merendah, mengimbangi suaranya yang sangat lembut. “Iya, kamu benar, kita memang harus menikmati hidup, bukan hanya untuk orang yang sedang sakit, tetapi untuk semua umat beragama. Karena dengan menikmati, kita dapat bersyukur kepada Tuhan. Maafkan aku, sungguh maafkan aku.” Aku berhenti dan mengatur napas. “Tapi aku mohon. Tolong jangan pejamkan mata untuk saat ini. Aku takut, aku takut sesuatu terjadi. Aku ingin mengenalmu lebih dalam, tolong izinkan.”

“Iya, kamu nggak perlu minta maaf, justru aku berterimakasih karena kamu sudah peduli. Aku akan berusaha sekuat mungkin untuk tak memejamkan mata. Untukmu dan orang-orang di sekitarku,” jawabnya. Dia kembali tersenyum, tak lagi ada kesedihan dalam wajah pucatnya.

Aku juga berusaha tersenyum lebar dan mencoba mengalihkan pembicaraan, “Hm, aku boleh bicara? Ada yang ingin aku sampaikan.”

Dia tertawa mendengar ucapanku. Mendengar tawanya adalah bahagia bagiku, bahagia yang tak terbayarkan, “Sejak tadi kamu sudah bicara, Dean,” ujarnya.

“Sebenarnya aku. Aku mau minta maaf dulu kalau ini terdengar aneh. Sebenarnya, setiap aku melihatmu, aku selalu melukismu dan kegiatanmu. Tapi saat ini, aku nggak mau membuang waktuku bersamamu hanya untuk melukis, boleh aku ambil potret wajahmu dengan kamera? Agar tetap tidak ada moment yang terlewat,” tanyaku agak ragu.

Dia mengangguk. Aku memotonya dengan kamera ponselku, lalu kami berfoto bersama.

“Oh ya, kenapa sih, setiap aku ingin menggambarmu, kamu selalu menyadari?”

“Aku harus peka, karena yang aku hadapi adalah pasien, makhluk hidup, bukan benda mati seperti keilmuanmu. Mereka tidak selalu bicara tersurat dan aku harus tahu makna tersirat dari tingkah dan bicaranya,” jelasnya. “Dean, terimakasih ya. Aku nggak tahu, ini berlebihan atau tidak. Tapi aku merasa istimewa, ada orang yang memperlakukanku sepertimu,” dia mulai menangis terharu. “Kamu harus janji, suatu saat akan memperlihatkan gambar-gambarmu itu.”

Kami mengobrol banyak saat itu, saling mengenal satu sama lain, hingga kami tak tahu waktu.

“Dean, aku lelah. Aku mau ke kamar.”

Aku mengantarnya ke ruang rawatnya, dan membantunya turun dari kursi roda untuk berbaring di tempat tidurnya.

“Dean, aku lelah. Izinkan aku memejamkan mata,” suaranya terdengar sulit keluar. “Kalau aku tidak membukanya lagi, aku minta maaf. Aku juga ingin mengenalmu lebih jauh, tapi apa boleh buat kalau itu yang terjadi. Yang pasti, terimakasih, aku baru beberapa saat mengenal dan berbincang denganmu, tetapi dalam waktu yang singkat tadi aku merasa sangat bahagia. Maaf,” suaranya mulai putus-putus dan sulit didengar. “Dan terimakasih.”

***

Aku tersenyum kecil, memandang lagi lukisan-lukisan yang tergantung di dinding kamarku. Sebuah lilin yang dikelilingi tujuh lukisan wajah seorang gadis. Aku masih berharap lilin yang kubuat itu dapat menerangi kehidupannya. Aku berharap dapat menjadi lilin baginya, hanya baginya. Dia layak mendapatkan itu karena dia pun sudah berkorban menjadi lilin bagi banyak orang. Tapi ini semua mustahil, lilin miliknya telah terlebih dahulu habis dimakan api.

Bandung, 2015

Menjadi pekerja pers membuatku berkelana, bertemu dengan banyak orang. Mendengarkan dan meneruskan cerita. Tak perlu keliling dunia, cukup dengan bertemu dan menjamu mereka, aku sudah merasa kaya dengan cerita-ceritanya.