12 Seseorang Yang Dapat Disebut Sebagai "Tunangan"

"… Kuakui, makananmu ini enak."

Ravelia berdehem ketika menghabiskan porsinya yang kedelapan. Aku tidak menyangka bahwa ia orang yang cukup rakus.

Sekarang, kami sedang makan malam pada meja berukuran sedang yang ada di tengah kamar ini.

Makanan yang ada di atas meja itu adalah buatan tangan Freya seorang. Kami tidak diberikan kesempatan untuk membantunya sama sekali.

Dan yah, perkataan Revalia itu memang benar. Aku setuju dengannya. Masakan yang dibuat oleh Freya memiliki rasa yang di atas rata-rata dari seorang koki.

Jika sifatnya tidak terlalu menyebalkan dan orangnya suka bersih-bersih—terlebih ditambah sikap feminim lainnya, aku pasti akan langsung melamarnya, tidak peduli siapa saingannya.

"Huhum!"

Freya membusungkan dadanya dengan bangga. Revalia hanya menggeleng disertai senyum masam sebagai tanggapan.

"Ternyata kaubisa tersenyum, ya?"

"Tentu saja bisa."

Karena Freya mengatakan itu, Revalia hanya mengerutkan keningnya. Yah, gadis itu sedikit lebih berani dariku. Jika aku yang mengucapkannya pada Revalia, mungkin aku akan langsung diterbangkan ke langit-langit.

Sekarang adalah jam … delapan, ya? Aku bisa mengetahuinya dengan melihat jam dinding yang ada di atas pintu. Sudah waktunya untuk tidur ….

Eh, tunggu sebentar. Bagaimana caranya kami tidur? Haruskah aku berbagi ranjang dengan dua gadis ini?

Yah, aku memang pernah berbagi ranjang dengan kedua gadis ini. Saat pertama kali aku datang ke akademi, pada hari sabtu, mau tidak mau aku seranjang dengan Freya waktu itu.

Awalnya aku sempat gugup karena itu, tetapi entah bagaimana itu jadi biasa saja. Dan ketika berada di tempat Revalia, rasa gugup itu kembali. Keesokannya, aku jadi merasa biasa saja lagi.

Meski begitu, tetap saja seranjang bertiga itu ….

Ketika aku menyampaikan tentang hal yang kupikirkan itu kepada mereka berdua, aku mendapat balasan dari Revalia :

"Bukankah ada lantai?"

Kau menyuruhku tidur di lantai? Kejam sekali …. Namun belum sempat aku menyuarakan keberatan tersebut, Freya melanjutkan perkataan Revalia :

"Tinggal beli tilam saja di luar. Seharusnya, sekarang masih sempat. Dan harga tilam … kupikir cukup terjangkau."

"Oh, bisa. Kalau begitu, aku pergi, ya."

Setelahnya, aku pun pergi keluar asrama—yang untungnya pintu depannya belum dikunci Kepala Asrama—dan pergi ke Distrik Perbelanjaan untuk membeli tilam.

****

Saat malam, kami pun tertidur. Lalu kembali, kulihat dirinya di dalam mimpi ….

Gadis berambut hijau lurus sebahu yang memakai celemek biru muda bersenandung di depan panci yang saat ini merebus sup.

Sesekali, ia memasukkan bumbu dan bahan-bahan lain yang ia rasa kurang kemudian menggoyangkan tubuh ke kiri dan kanan, mengikuti senandungan yang ia buat sendiri.

Aku yang saat itu duduk di meja makan sedang menunggu makanan dan memperhatikan dirinya yang sedang memasak itu hanya dapat tersenyum.

Rumah ini, aku tidak ingat milik siapa. Rumahnya? Atau rumah orang lain? Aku sudah tidak memiliki rumah soalnya, jadi tidak mungkin ini punyaku.

Interiornya terbilang sederhana. Dinding kayu yang nampak cukup kokoh serta beberapa perabotan lainnya. Melihat dari luar jendela, sekarang masih pagi.

"Hmm~ Hmm~ Maaf menunggu~"

Gadis berambut hijau itu meletakkan panci di tengah meja, kemudian mengambil beberapa makanan lain yang sudah dipanaskan bersamaan dengan waktu ia memasak sup.

Ketika aku mengambil sendok sup dan mencoba mencicipi rasanya, tanganku dipukul olehnya. Ia menggerakkan telunjuknya ke kanan kiri sebagai isyarat larangan.

Aku pun mengembalikan itu ke panci. Ah, bodohnya aku. Kenapa tidak langsung dituangkan ke piring saja itu tadi? Jadi kerja dua kali 'kan sekarang.

Setelah mengambil kuah itu kembali, aku menenggelamkan sendok pada kuah sup yang sudah kumasukkan ke dalam piring dan mencoba rasanya.

Jika aku mengatakan rasa yang sebenarnya, mungkin dia akan sedih. Jadi aku harus ….

"Huum, enak!"

"Bohong! Ini terlalu hambar!"

"Mana ada! Ini keasinan! Aku lihat kau terlalu banyak memasukkan garam dan bumbu lainnya ke dalam sup!"

Tanpa kusadari, aku berdiri dan malah menyatakan kenyataan. Ia yang mendengar itu menyipitkan matanya saat menatapku.

"Bohong, ya~? Yah, siapa pun pasti akan langsung tahu kalau sup buatanku ini rasanya hambar."

"Tidak. Ini itu keasinan."

"Kau bercanda, ya? Asin dari mana? Jelas-jelas ini rasanya hambar!"

Ia terdengar serius mengatakannya. Namun bagaimanapun, sudah jelas kalau yang satu ini rasanya asin.

Mau tidak mau aku pun kembali berdiri dan membela diri. Kami beradu mulut sambil makan, memberi tanggapan untuk rasa sup tersebut. Ia mengatakan bahwa rasanya hambar sedangkan aku berkata terlalu asin.

Seiring berjalan waktu, aku pun menyadari kalau wajahnya agak merah. Yah, aku sadarnya setelah menghabiskan apa yang ada di piring, sih.

Astaga, mengapa aku terlambat menyadari ini? Ia terkena demam jadi indra perasanya agak kacau.

Selesai makan, aku yang khawatir menggendongnya ke kamar meski ia menolak itu berulang kali.

"290 derajat. Kau ini manusia atau bukan, sih?"

Menanggapi perkataanku yang setengah serius itu, ia menjulurkan lidah sebelum sesaat setelahnya terbatuk-batuk.

"He-Hei, kau tidak terlihat baik-baik saja. Apa perlu kuantar ke rumah sakit? Seharusnya rumah sakit tetap buka meski hari minggu …."

Gadis itu lalu menggeleng dengan senyum masam.

"Ini cuma demam, kok. Cukup dengan dirimu di sini, masalah kecil ini pasti bisa kulalui."

Terdiam beberapa saat, aku mengangguk dan menggenggam tangannya yang terasa sangat panas itu. Ia terlihat ingin mengatakan sesuatu.

"Maaf, ya …. Kalau sup tadi terlalu asin. Indra perasaku tidak berfungsi baik tadi. Dan lain kali, akan kubuat masakan yang lebih baik. Tidak terlalu hambar seperti biasanya."

Aku segera menggelang.

"Tidak masalah. Bagaimanapun rasanya, bagaimanapun tanggapan orang-orang pada masakanmu, aku akan terus menikmatinya. Yah, tapi bukan berarti aku akan diam saja ketika kamu beri makanan pedas."

Seketika, gadis itu tersenyum dan tertawa kecil. Wajahnya setelah itu menjadi ragu-ragu kemudian menatapku dengan serius.

"… Elkanah …, bagimu, aku ini siapa?"

"Hmm? Tunanganku, bukan?"

"… Ya, itu benar. Tunangan …."

Ia kembali tersenyum dan mengangguk-anggukkan kepala dengan suara "Huum", seakan-akan sedang meyakinkan dirinya sendiri.

Usai melakukan itu, ia membenamkan separu wajah ke dalam selimut. Pandangan matanya masih mengarah padaku karena alasan yang tidak kuketahui pasti.

"Baiklah, istirahat sana. Jika ada apa-apa, panggil saja aku. Kalau tidak bisa, lempar saja sesuatu. Aku akan segera kemari saat mendengarnya."

Ketika aku hendak melangkah, ia menarik lengan bajuku. Saat aku berbalik, aku menemukan pipinya yang mengembung, tanda bahwa ia kesal akan sesuatu yang kecil bagiku tetapi berarti besar baginya.

"Oke, Nona, apa yang Anda perlukan?"

Mendengar aku mengatakan itu dengan nada malas—tidak berniat menjawab, ia semakin tampak tidak senang.

"Pengertianlah sedikit!"

Bagaimana aku bisa mengerti kalau kau tidak mengatakannya …. Inginnya sih bilang begitu, tetapi itu hanya akan semakin memperburuk suasana hatinya. Terlebih, di waktu demam, tidak baik membuat suasana hatinya jadi buruk.

"Kalau begitu …. Selamat tidur, Tuan Putri."

Setelah mengelus pelan kepalanya, barulah ia tidur. Yah, aku tidak yakin kalau itu yang diinginkannya, tetapi karena ia menutup matanya …, ya sudah.

***

Perlahan mataku terbuka. Entah bagaimana, aku terbangun di waktu yang bukan dari biasanya.

Menyingkirkan selimut, aku pun mendudukkan diri dan memandang telapak tangan kananku.

Itu benar. Dengan tangan ini, aku melakukannya ….

"Jam tiga, ya? Kenapa aku tiba-tiba terbangun? Aku juga tidak merasa ingin buang air …."

Setelah melihat jam dinding, aku kembali merebahkan diri. Tatapanku kini terarah pada lampu yang ada di langit-langit.

Lampu itu sudah dipadamkan, karena kebiasaan di sini mematikan lampu terang dan menyalakan lampu lain yang memiliki pencahayaan lebih sedikit.

"Hmm, aku tidak terlalu ingat bagaimana kami berdua bisa bertunangan dan apa saja yang terjadi di waktu itu. Namun, itu memang benar terjadi …."

Bergumam sambil memejamkan mata, aku lalu membukanya kembali dan mengeluarkan kalungku. Seutas benang perak disertai dengan cincin pertunangan kami berdua.

"Si Cebol itu mengatakan dia ada di akademi ini melalui suratnya, tapi aku masih belum menemukannya. Cebol itu juga tidak memberi tahuku di kelas mana dia berada …."

Jika orang itu memberitahukannya, mungkin akan lebih mudah bagiku. Sepertinya … aku dijauhi oleh gadis itu sampai-sampai sekali pun tidak pernah berpapasan dengannya.

Lebih dari itu, aku penasaran dengan—

"Kenapa … aku tidak bisa mengingat nama gadis itu?"

avataravatar
Next chapter