webnovel

Pertemuan Dengan Gus Birru

Alexandria, 2021.

Lantunan musik gambus mendayu indah ditelinga. Aroma Koshari, Halawa, Ful Medemes, dan hidangan Timur tengah lainnya secara bergantian merasuki indera penciuman. Pemandangan Kota Alexandria selalu menakjubkan meski dari lantai sepuluh Hukki Restaurant.

"Alexandria memang nggak pernah padam," ucap Ayna takjub. Ia bersandar pada jendela sembari fokus melihat hiruk pikuk jalanan yang padat. Sesekali netranya juga beralih pada aliran sungai merah yang memanjang. Sungai Nil, saksi bisu dari sejarah Nabi Musa As yang ceritanya diabadikan dalam kitab suci umat islam, Alqur'an.

"Iya. Alexandria itu seperti kamu. Selalu bersinar." Giliran Ummi Marwah yang bersuara. Wanita separuh baya yang mengenakan Abaya hitam itu tersenyum ke arah Ayna. Puteri sematawayangnya.

"Ummi selalu begitu. Kalau memuji, nggak nanggung-nanggung."

"Seorang ibu memang seperti itu. Pujian untuk anaknya harus maksimal." Ummi menjawab sekenanya. Masih sibuk menata beberapa hidangan lainnya yang baru saja diberi oleh pelayan restaurant.

Mata Ayna kini beralih fokus melihat piring-piring besar di atas meja.

"Sebenarnya kita mau ketemu sama siapa sih, Ummi? Kenapa banyak banget makanannya?" Kening Ayna berkerut. Sedari tadi ia cukup kesal karena orang tuanya belum juga memberi tahu siapa tamu yang mereka sebut spesial itu.

Mulut Ummi menganga, bersiap untuk menjawab pertanyaan Ayna.

"Tamu spesial? Ummi mau jawab gitu lagi, kan?" Ayna memotong. Sudah menerka duluan apa yang akan Umminya katakan. Jawaban itu selalu sama setiap kali Ayna bertanya.

Ummi tersenyum lebar. "Sabar, Sayang. Ummi sudah berjanji sama Abi untuk merahasiakannya dari kamu sebelum mereka memperkenalkan diri sendiri."

"Apa mereka kerabat jauh kita?" Ayna terus menerka. Berharap mendapat sebuah clue dari Umminya.

Mata Ummi melebar, kedua bahunya sedikit diangkat. "Hm, bisa jadi."

"Mereka dari Egypt? Riyadh? Libya?" Ayna menyebutkan kota yang ia tahu ada kerabat dari pihak Ayahnya disana.

Umminya menggeleng sambil menahan senyum. Merasa gemas melihat mimik muka puterinya yang penasaran juga bercampur kesal.

"Tidak ada yang benar," jawab Ummi semakin membuat Ayna berpikir lagi.

"A-atau, Indonesia?" Tebakan terakhir dari Ayna. Ia menatap Umminya dengan tatapan penuh selidik.

Air muka Ummi berubah. Dari senyum geli menjadi lebih berseri. Perbincangan keduanya berakhir begitu saja ketika ucapan salam dari suara lelaki usia senja terdengar.

"Assalammualaikum."

"Waalaikumsalam," jawab Ayna dan Ummi secara bersamaan. Syekh Ahmed Al-Barmawi tiba. Beliau pulang mengajar dan langsung menuju Hukki Restaurant. Tempat pilihan istrinya untuk bertemu dengan tamu spesial mereka.

Wanita yang disapa Ummi oleh Ayna itu langsung berdiri ketika melihat lelaki tersebut sudah berada disebelahnya. Ia segera mencium punggung tangannya dan membantunya untuk duduk di kursi. Ummi Marwah selalu begitu, baktinya pada suami benar-benar patut diteladani. Melayani dengan penuh cinta dan juga ikhlas yang besar pula. Ayna bangga dan kagum. Terbesit dipikirannya untuk kelak bisa menjadi seorang istri seperti Ummi.

Namun setiap kali bicara tentang menjadi seorang istri, ulu hati Ayna terasa disentil oleh masa lalunya sendiri. "Entah siapa yang akan bersedia menjadikanmu istri jika masa lalumu pernah sekelam itu." Kalimat itu selalu meruntuhkan impian Ayna yang ingin menjadi istri sholehah seperti Umminya.

"Ayna Zainisa?" sapa Abinya.

Ayna terkejut. "I-iya, Abi."

"Kenapa kamu, Nak? Abi dari tadi memanggilmu. Tapi, tidak ada jawaban. Kamu lagi melamun? Mikirin apa?" Mata senja Abi memandang ke arah Ayna dengan cemas. Takut terjadi sesuatu pada Puteri satu-satunya itu.

Ayna menggeleng dengan cepat. "Nggak, Abi. Ayna baik-baik aja."

"Dia lagi menebak siapa kira-kira tamu yang akan datang hari ini, Suamiku," kata Ummi sambil melirik ke arah Ayna. Ummi tersenyum menggoda anaknya.

Ayna mengangguk. Mengiyakan perkataan Umminya. "Iya, Abi. Siapa mereka? Ummi nggak mau kasih tahu dari tadi."

Abi ikut tersenyum. "Sebentar lagi. Mereka sudah ada dibawah, mungkin sudah akan naik ke sini." Syekh Ahmed bersuara. Ia sudah memastikan jika tamu mereka akan tiba dalam waktu dekat.

"Ayna, jika mereka sudah bersama kita, tolong jawab dengan jujur setiap ada pertanyaan yang mereka ajukan kepadamu." Abi Ahmed memberi arahan kepada Ayna.

Ayna mengangguk. "Baik, Abi." Ia semakin penasaran pada tamu itu.

"Assalammualaikum, Syekh Ahmed." Suara ucapan salam dari lelaki tua berjanggut lebat yang sudah berdiri dibelakang Syekh Ahmed.

"Waalaikumsalam," jawab ketiganya dengan kompak.

SyekhAhmed langsung berdiri. Ia menyambut tamu yang sedari tadi sudah ditunggu. Senyumnya merekah. Keduanya sempat berpelukan. Sebuah tanda melepas rindu karena sudah lama tidak bersua.

"Apa kabarmu sekeluarga?" Pertanyaan pertama yang diajukan oleh tamu tersebut.

Syekh Ahmed menjawab dengan suka cita. Mereka sempat berbincang sedikit sebelum mengambil duduk pada kursi yang sudah tersedia.

Begitu juga dengan Ummi Marwah yang terlihat langsung akrab dengan istri dari tamu tersebut. Beliau perempuan seusia Ummi Marwah juga.

Sementara Ayna juga ikut berdiri. Namun, kepalanya terus menunduk karena tidak berani menatap apapun. Sebab, ada seorang pria muda yang berdiri tepat dihadapannya. Mereka hanya dibatasi oleh meja.

"Silakan duduk. Mari." Syekh Ahmed mempersilakan ketiga tamunya untuk duduk.

Perbincangan mereka terus berlanjut. Tebakan terakhir Ayna benar, bahwa tamu Abinya berasal dari Indonesia. Wajah mereka adalah wajah Asia. Sama seperti Ayna dan Ummi Marwah. Selain itu, terdengar dari bahasa yang mereka gunakan. Bahasa Indonesia yang sesekali dicampur dengan jawa, kampung asli Ummi Marwah. Meskipun Syekh Ahmed bukan berasal dari sana, tapi pria berusia senja itu cukup mengerti artinya.

"Jadi, apakah ini Ayna?" tanya sesebapak tua teman Syekh Ahmed sambil menunjuk ke arah Ayna dengan takjub. Tampak sangat jelas bahwa beliau orang yang ramah. Sebab, sedari tadi tidak lepas tersenyum.

"Betul. Ini Ayna kami." Syekh Ahmed menjawab dengan bangga sambil merangkul Ayna yang kebetulan duduk disebelahnya.

"Ayna, ini adalah Haji Zauhar. Kiai dari Pondok Pesantren Al-Barokah, dari Kediri." Syekh Ahmed memperkenalkan profil tamunya kepada putrinya.

Ayna menunduk dengan santun. Sedikit berjalan membungkuk ke arah Kiai berkopiah hitam itu. Lalu, ia mencium punggung tangan Haji Zauhar dengan takzim. Sebuah tradisi dari Indonesia yang selalu Ayna praktikkan. Meski dirinya sudah menjadi warga negara Mesir, tapi segala tradisi kesantunan dari Indonesia masih melekat dijiwanya.

"Masyallah, Tabarakallah. Ayna cantik sekali kamu, Nduk." Kiai Zauhar kagum dengan rupa Ayna yang memesona. Wajahnya teduh. Lakunya santun pula.

"Syukron katsiron, Kiai." Ayna mengucapkannya dengan sangat sopan.

Ayna beralih ke arah sisi kirinya. Mencium tangan istri Kiai Zauhar dengan takzim juga.

"Masyallah, ini calon mantuku. Sebentar lagi dia juga akan menjadi Ayna kami." Ibu Kiai mengatakan itu dengan girang. Deretan giginya yang rapi terlihat. Senyumnya sangat lebar untuk Ayna.

Ayna menjadi canggung. Kata "Mantu" yang diucapkan Ibu Kiai membuatnya bergemetar.

"Ayna, silakan sapa Gus Birru juga. Inshallah, dia akan menjadi calon suami kamu, Nak." Perintah Syekh Ahmed membuat Ayna terkejut.