webnovel

Kembali Bertemu

"Hati-hati ya Abi, Umi," ucap Ayna setelah mencium punggung tangan kedua orang tuanya secara bergantian.

"Iya. Jaga dirimu ya, Nak. Ingat, Ayna akan menjadi seorang istri sebentar lagi. Jadi, mohon berhati-hati," ujar Ummi Marwah mengingatkan puterinya. Ayna mengangguk sembari tersenyum. Mengerti akan petuah yang dimaksud ibu angkatnya itu.

Syekh Ahmed mendekat ke arah Ayna. Pria tua itu mengusap kepala puterinya dengan lembut. "Abi dan Ummi pulang dulu ya. Persiapkan dirimu untuk dua minggu lagi. Siapkan thesis terlebih dulu. Satu minggu lagi, Abi akan menjemputmu untuk pulang ke rumah kita." Kedua orang yang Ayna sayangi itu pamit untuk pulang ke Egypt, tempat tinggal mereka.

Ayna memang menempuh pendidikan S2 nya di Alexandria dan memilih untuk tinggal di asrama meskipun perjalanan dari rumahnya ke kampus hanya sekitar dua jam. Alasannya karena Ayna yang rendah hati itu ingin merasakan hidup berbaur dengan mahasiswi lainnya. Dengan begitu, ia akan lebih mengerti bagaimana menghadapi setiap karakter orang yang berbeda. Sebagai bekalnya kelak untuk mengabdi pada masyarakat.

"Betul, Ayna. Satu minggu Ayna harus dirumah. Dipingit sebelum hari H pernikahan." Ummi Marwah mengedipkan satu matanya ke arah Ayna.

Ayna tersenyum. "Iya, Ummi. Tunggu Ayna dirumah."

Syekh Ahmed dan Ummi Marwah pergi meninggalkan Ayna didepan asrama puteri Shofa milik Universitas Alexandria. Kedua orang yang berusia senja itu melambaikan tangan ke arah puteri tunggal mereka. Kebiasaan yang selalu dilakukan setelah menjenguk gadis yang mereka beri nama Ayna Zainisa itu, yang memiliki makna-Anak perempuan seperti bunga yang cantik. Nama yang sesuai dengan parasnya.

Setelah memastikan mobil orang tuanya menghilang dari pandangan, Ayna bergegas masuk ke dalam asrama. Tentu dengan perasaan bahagia yang tiada kira. Senyumnya selalu terlukis diwajah orientalnya itu. Membuat teman sekamar Ayna mengundang tanya.

"Kenapa kamu senyum-senyum, Ayna? Kelihatan bahagia banget," tanya Shana. Sahabat dekat Ayna diasrama.

Dua gadis yang merupakan sahabat Ayna juga ikut penasaran. Mereka semua berasal dari Indonesia. "Iya. Mbak Ayna nggak seperti biasanya begini." Shanum yang merupakan adik tingkat Ayna ikut bersuara. Menaruh curiga serta penasaran karena wajah Ayna yang terlihat lebih berseri dari biasanya.

"Mungkin karena Abi dan Umminya menjenguknya setelah tiga bulan nggak ketemu. Betul begitu, Ayna?" tanya Noura memastikan. Gadis berkerudung merah muda itu mencoba untuk menebak apa yang sebenarnya terjadi pada Ayna.

Ayna menggeleng. "Tebakan kalian masih belum benar." Ia tersenyum memperlihatkan deretan giginya yang rapi.

"Terus Mbak kenapa, toh? Memangnya ndak mau berbagi kebahagiaan dengan kami?" ucap Shanum. Sebagai bentuk taktik agar Ayna sudi memberitahu mereka.

Ayna berjalan ke arah ranjangnya. Ia mengambil duduk disana. "Teman-teman, aku sangat bahagia sekali hari ini. Tapi, aku nggak bisa kasih tahu dulu." Ayna menatap ketiga sahabatnya secara bergantian sambil masih tersenyum senang. Ia sengaja untuk tidak memberitahu mereka bahwa dirinya hari ini baru saja menerima lamaran dari seorang pria. Alasannya tentu saja karena ia ingin memberi kejutan.

Shana mendekat ke arah Ayna. Ia ikut duduk disebelahnya. "Memangnya apa sih, Ayna? Kok tumben kamu pake diumpetin dulu ceritanya. Biasanya juga apapun itu kamu nggak sabaran untuk cerita ke kita."

"Nah betul. Tumben banget diumpetin dulu. Buat kita penasaran itu nggak baik lho, Mbak. Ntar kami nggak bisa tidur." Bibir Shanum mengerucut. Rasa penasarannya semakin tinggi. Tidak sabar untuk mendengar cerita dari kakak tingkatnya yang selalu ceria itu. Ayna menjadi idolanya karena bisa menjadi pendongeng serta pendengar yang handal. Setiap aksara yang keluar dari mulut Ayna selalu memotivasi dirinya. Terdengar indah juga ditelinga.

"Cerita sekarang, Ayna. Please!" pinta Noura dengan mengedipkan matanya. Ia juga menangkupkan kedua tangannya. Sebuah bentuk permohonan agar Ayna menceritakan alasan kebahagiaannya hari ini.

Ayna menggeleng lagi. Ia menutup mulutnya rapat-rapat.

"No! Jangan sekarang ya. Ini surprise! Jadi, besok aku kasih tau. Janji deh." Ayna mengedipkan satu matanya sembari tersenyum sumringah ke arah mereka.

"Ya sudah, Gengs. Kita tunggu besok aja kalau gitu. Kalau dia nggak mau juga, kita tuntut terus dan paksa ya," ujar Noura dengan semangat.

Mereka berempat tertawa. Pukul 22.00, lampu asrama sengaja dimatikan. Berganti dengan lampu tidur. Sudah waktunya untuk memejamkan mata. Percakapan mereka berakhir begitu saja. Rasa penasaran ketiga sahabat Ayna masih menggantung. Sementara itu, dirinya terus menyunggingkan bibir. Membayangkan bagaimana teduh dan tampannya wajah Gus Birru. Pria yang dua pekan lagi akan menjadi pendamping hidupnya.

Tiba-tiba, senyumannya hilang. Berganti dengan wajah muram. Sedih karena mengingat kisah kelamnya. Tujuh tahun lalu, keperawanannya telah direnggut paksa. "Akankah Gus Birru menerimaku apa adanya? Bagaimana jika ia tahu tentang hal itu? Pasti dia bakal kecewa." Ayna berucap dalam hatinya. Mempertanyakan hal yang jawabannya ia sudah tahu-Bahwa Gus Birru pasti akan kecewa.

"Tolong jangan berpikir jauh, Ayna! Itu bukan kesalahanmu!" katanya lagi. Ia menepuk-nepuk kedua pipinya. Berusaha untuk berpaling dari pikiran yang terus menghantuinya itu.

***

Gharan Library, Universitas Alexandria.

"Doorr!!" Suara seseorang sengaja mengejutkan Ayna yang tengah duduk dan fokus membaca didepan rak buku memanjang. Ayna sempat memegang dadanya. Menahan kontrol agar tidak bersuara karena baru saja terkejut. Ia mengucapkan istighfar dengan reflek.

"Astagfirullahaladzim." Ayna menoleh ke belakang. Ternyata Shana sudah berdiri dengan memperlihatkan deretan gigi putihnya. Ia terkekeh melihat mimik wajah Ayna.

"Shana!! Aku kaget, lho!" Ayna berbisik. Agar yang lain tidak terganggu dengan suaranya. Suasana diperpustakaan itu sedang khidmat. Tapi, Shana hampir saja membuat Ayna menjerit.

Shana terkekeh pelan. "Hehe. Maaf ya, Ay. Aku iseng." Gadis berkeredung hitam itu mengedipakan satu matanya. Keisengan Shana pada Ayna sudah biasa. Mereka bersahabat enam tahun lalu. Sejak keduanya sama-sama menempuh pendidikan tinggi di Universitas ini. Hanya saja Ayna terjun ke dunia sastra, berbeda dengan Shana yang masuk jurusan Kedokteran.

"Kamu ngapain ke sini, Shan? Tumben," tanya Ayna. Setahu dia, Shana tidak pernah lagi mengunjungi perpustakaan ini sejak dirinya melakukan Koas disalah satu Rumah Sakit ternama di negara ini.

"Aku kesini mau nuntut kamu. Kan katanya kamu bakalan cerita ke kami tentang sesuatu yang buat kamu happy banget."

Ayna menepuk jidatnya dengan pelan. "Aduh. Maaf ya. Aku lupa, lho! Karena tadi buru-buru banget ada janji ketemu sama Profesor Anne untuk bimbingan dadakan. Hehe." Ayna menyengir didepan Shana.

"Ye. Kebiasaan. Pantes aja pagi-pagi buta kamu udah nggak ada diranjang," kata Shana.

"Janji deh, setelah pulang dari sini aku bakal kasih tahu ke kalian." Kedua mata Ayna berkedip-kedip.

"Okay. Pokoknya kasih tahu!" paksa Shana.

"Aman, Shan. By the way, kamu beneran kesini cuman untuk ini?" tanya Ayna.

Shana menggeleng. "Hm. Ada janji ketemu sama Mas aku."

"Oh, Mas angkat kamu yang sering kamu ceritain ke aku?"

"Iya, Ay."

"Siapa namanya? Aku sempet lupa." Ayna bertanya tanpa menoleh ke arah Shana. Ia fokus melanjutkan aktivitasnya membaca buku tebal yang kini berada ditangannya.

"Mas Anan."

"Lho, bukannya Mas Ananmu itu di Kairo ya?" Dahi Ayna berkerut. Ia mengingat cerita Shana.

"Iya. Tapi udah tiga hari doi ke sini cuman buat jagain aku doang. Hehe."

Ayna langsung menoleh ke arah sahabatnya itu. "Cie. Sesayang itu ya Mas Anan kamu."

Shana tersenyum malu. Tiba-tiba, netranya menangkap seorang pria di pintu utama. Pria yang sangat ia kenal. "Nah, itu dia Mas Ananku, Ay." Gadis dengan nama lengkap Shana Tahira itu memberitahu Ayna. Jari telunjuknya menunjuk ke arah pria yang mengenakan topi hitam.

Ayna mengangkat kepalanya. Ia memandang ke arah objek yang sedang ditunjuk oleh Shana. Hati Ayna bergetar. Tidak menyangka jika dirinya akan bertemu lagi dengan pria tersebut.