webnovel

Pedang Hitam 2

Sang ular bergerak dengan hentakan yang keras hingga membuat dinding yang ada di sekitar bergetar dengan hebat, bahkan tanah yang Leo pijak kini terasa bergetar, seakan-akan siap runtuh kapan saja.

Keadaan ini tidak ada ubahnya dengan keadaan di ruang bawah tanah keluarga Emmanuel beberapa waktu yang lalu, mungkin nasibnya juga akan sama, hancur lebur menjadi tanah.

Leo terus bergerak dengan pedang hitam yang terus mengayun ke arah sang ular,goresan demi goresan muncul dan membuat luka yang membesar dari waktu ke waktu.

"Hah …."

Leo tidak bisa melihat dengan jelas, bahkan ia mungkin tidak bisa membedakan mana yang merupakan ekor ular dan mana yang merupakan kepala.

Pedang hitam yang ada di tangannya bergerak terlalu cepat dan sangat kuat, Leo benar-benar tidak meragukan kemampuan Ratu Ginevra menyiapkan semua ini.

"Hah … hah … hah …."

"Padahal kau tinggal duduk dan diam saja di kursi roda," kata sang ular sambil mendesis, matanya menyipit dan pupilnya itu menjadi garis lurus yang tipis. "Kenapa kau memilih melakukan sesuatu yang merepotkan ini? Kau bisa saja hidup tenang di Mansion keluarga tercintamu itu."

Leo tersenyum tipis, ya. Itu memang kehidupan yang tenang, tapi ia tidak memiliki kesempatan untuk melihat cahaya matahari, ia tidak memiliki kesempatan untuk bebas.

Itu bukan kehidupan yang tenang, itu adalah kehidupan yang menyiksa.

"Kau menghancurkan dirimu sendiri demi wanita itu …."

"Terserah katamu," kata Leo yang terlihat bisa goyah kapan saja, bahunya naik turun dan kedua tangannya yang memegang pedang itu gemetar. "Aku tidak peduli."

Lebih tepatnya, Leo tidak bisa lagi mendengar apa yang ada di sekitarnya dengan jelas.

"Dasar! Manusia kurang ajar!"

Ekoe yang sudah penuh luka itu menghempas dengan keras ke arah Leo, laki-laki itu melompat dengan tubuhnya yang bisa roboh kapan saja.

SRATS!

Tebasan demi tebasan terus terdengar diikuti dengan napas yang semakin pendek, ditambah dengan jeritan kuat dari sang ular.

Suasana benar-benar kacau dan aneh.

***

Sementara itu, di lantai atas dari Leo. Dylan dan Ivana juga berada dalam kondisi yang tak kalah menyusahkan.

Karren yang mereka lawan tidak sebanding dengan Celia, Dylan bahkan bisa melihat bagaimana wanita itu berubah wujud dari ular ke manusia berkali-kali sampai-sampai ia merasa jijik pada dirinya yang pernah mencintai seekor ular jadi-jadian.

"Sayang sekali Dylan, seandainya kau patuh padaku … kau akan mendapatkan posisi ternyaman di kota ini."

Mata Karren terbuka lebar dan mulutnya menyunggingkan senyuman tipis, sekilas ia terlihat seperti orang gila yang bisa menyakiti siapa pun kapan saja.

Ah, Karren memang gila, ia memang seperti itu.

"Kau mau menjadi Marquis? Aku bisa melakukannya untukmu." Karren tertawa, mengabaikan ayunan pedang yang bergerak di sekitarnya, matanya melirik ke arah Ivana. "Tidakkah kau merindukan Mina?"

"Jangan bawa-bawa Mina dalam ucapanmu!" Ivana berkata dengan suara bergetar, putri tercintanya memiliki nasib yang buruk dan ia sudah merelakan kepergiannya dengan lapang dada, kenapa manusia ular ini kembali membuatnya merasa kesal?

"Kenapa? Mina ada di sini, Celia membawa putrimu yang sekarat itu kemari."

Karren melompat, di lehernya yang terkena sabetan pedang itu masih mengeluarkan ular-ular kecil yang tidak berhenti bergerak untuk membentuk kembali kulit tubuhnya yang utuh.

"Mina milikmu itu, ia bilang ia merindukanmu."

Ivana menggertakkan gigi, marah. Dylan di sisi lain tidak mengenal Mina sedikit pun, ia tidak pernah melihat anak itu sedikit pun. Yangia tahu kalau Ivana sangat menyayangi Mina dan rela melakukan hal gila sekali pun untuk kesembuhan putrinya.

Membuat Ivana sadar adalah sesuatu yang sangat berat, Dylan bahkan mengakui kalau Ivana yang sekarrang memiliki hati yang besar.

Jangan sampai Karren membuat Ivana goyah dan malah berbalik melawan Leo dan Renee.

"Jangan dengarkan dia!" Dylan segera menarik perhatian Ivana padanya, laki-laki itu melesat dengan ayunan pedang yang kuat. "Wanita ini berusaha mempengaruhimu!"

Ivana diam.

Karren tertawa lagi, ia terlibat dalam pertarungan yang sengit dengan Dylan, wanita itu sekarang tidak hanya membiatkan tubuhnya terus terkena ayunan pedang, ular-ular putih yang awalnya hanya muncul ketika tubuhnya terluka kini muncul dan berjatuhan menyerang Dylan.

Ivana masih diam, terjebak dalam pikirannya sendiri.

Karren tidak menyia-nyiakan kesempatn itu, ia tiba-tiba saja berlari ke arah Ivana tanpa halauan dari Dylan.

"Ibu!"

Ivana tersentak, begitu ia mendongak ia melihat wajah yang ia rindukan siang dan malam.

"Mina?"

"Sialan, Karren! Apa yang kau lakukan?!" Dylan yang ikut berlari ingin menarik Ivana aggar tidak terpengaruh, namun seekor ular langsung melilit lehernya dan ia terangkat ke atas. "Khek! Sialan … kau Karren!"

Karren yang sekarang tengah menggunakan wajah Mina mengangkat tangannya, menenyentuh kedua bahu Ivana dan meremasnya dengan kuat.

"Ibu, aku rindu!"

Ivana benar-benar terguncang, seakan-akan aliran darahnya mengalir deras ke kepalanya dan membuatnya tidak bisa berpikir jernih.

"Mina … Mina … ini kamu …."

Ivana hampir tersedak oleh air matabat tang mengalir deras tanpa kendali, ia tergugu. Tidak ads yng peduli dengan Dylan yang hampir kehabisan napas karena tergantung oleh ekor ular.

"Ini aku Ibu!" Karren menampilkan wajah Mina yang pucat dan lemah, ia terlihat seakan-akan bisa roboh kapan saja. "Kemana saja Ibu selama ini? Aku menunggumu datang kemari!"

Ivana membuka mulutnya, tidak bisa berkata-kata membalaskan perkataan putri yang berada di depannya.

Ia merindukan putrinya, Mina yang lemah dan selalu berwajah pucat. Mina yang selalu diam dan tidak pernah mengeluh.

Terakhir kali ia melihat Mina menangis saat membawanya pergi ke Mansion keluarga Fern dan hari itu pula hari perpisahan dirinya dan putri yang ia cintai.

Bodoh sekali.

"Ibu … aku sendirian di sini, aku takut … aku ingin pulang bersamamu …." Karren sangat pandai berakting menjadi Mina, ia mengelus lengan Ivana lalu memeluknya dengan lembut. "Jangan tinggalkan aku … tolong jangan tinggalkan aku di sini, aku takut … Ibu …."

Ivana yang dipeluk Karren meneteskan air mata mendengar ucapan demi ucapan yang terlontar, hatinya sangat sakit seakan-akan ada belati yang mengoyak-ngoyak tanpa henti.

"Mina …." Ivana bergumam dengan suara serak, ia mengusap punggung Karren dan menarik napas dalam-dalam. "Kau ini wanita sialan yang terburuk yang pernah aku temui."

JLEB!

Karren membulatkan mata, wajah Mina yang melekat di wajahnya berubah kembali ke wajahnya sendiri, mulutnya meneteskan darah kental.

"Mina tidak pernah mengeluh padaku, entah itu sakit atau sedih." Ivana mendorong Karren dengan punggungnya yang masih tertancap belati, wanita itu terhuyung-huyung. "Itu adalah hal yang selalu kusesali seumur hidupku."