116 Pedang Hitam 1

Leo tiba-tiba saja membuka mata, ia terbatuk-batuk. Air berlomba-lomba masuk ke dalam mulut dan paru-parunya terasa sesak, kedua kakinya menjadi berat dan sensasi dingin yang ada di perutnya akibat tusukan pedang semakin kuat.

Di dalam air yang gelap, Leo meraba perutnya, mencoba menarik pedang yang ada di dalam perutnya sekuat mungkin.

Rasa sakit itu datang lagi, tapi itu bukan tujuan akhir Leo. Tujuan akhir dari pedang yang diberikan oleh sang Ratu bukan ini.

Laki-laki itu menutup mulutnya rapat-rapat, mencegah air kembali masuk ke dalam tubuhnya, ia mencoba menajamkan penglihatannya dan melihat ke sekitarnya.

Renee.

Leo harus melindungi Renee.

Leo tidak punya banyak waktu, semakin lama tekanan yang ia rasakan semakin kuat dan paru-parunya terasa akan pecah, Leo berenang ke atas.

Ia harus melindungi Renee!

Wanita itu … sejauh mana ia tenggelam?

Ratu Ginevra punya banyak hal di dalam kepalanya yang mungkin tidak akan pernah orang biasa pikirkan, ia memberikan pedang dari desa Kortham bukan tanpa alasan, akan tetapi karena pedang itu berasal dari tempat Renee dilahirkan.

Mungkin itu terdengar sepele dan sebagian orang tidak akan peduli.

Tapi Ratu Ginevra peduli, apalagi di desa itulah satu-satunya catatan tentang orang berjiwa suci tercatat di dalam sebuah arsip, menikahi seorang manusia biasa yang berujung perceraian.

Pedang ini, mungkin akan menghancurkan dirinya, tapi bagi Leo, ia tidak akan membiarkan Renee mati begitu saja, apalagi di tangan leluhur yang selama ini menjadi musuh abadi bagi orang-orang berjiwa suci.

Laki-laki itu memeluk pedang hitam di tangannya dan ia mencoba untuk membuat dirinya lebih tenang, pedang yang ia peluk perlahan-lahan mulai mengeluarkan cahaya mera yang gelap, laki-laki itu terbatuk.

Darah keluar dari mulut, hidung dan telinganya.

Pengorbanan yang ia lakukan memang tidak main-main rupanya.

Warna merah yang ada di sekelilingnya semakin menguat seiring dengan air yang tenang mulai bergolak.

Ular bertanduk yang sedari tadi masih ada di atas menunggu membuka matanya, pupilnya bergerak-gerak.

"Apa-apaan ini?"

Hawa di bawah sana bukan hangat seperti yang sering dikeluarkan oleh orang-orang berjiwa suci, bukan pula rasa nyaman yang membuat dirinya terlena.

Ini rasa dingin yang menusuk, rasa yang membuat sisik-sisiknya menjadi waspada seakan-akan ia sedang berjalan di atas es yang telah membeku ribuan tahun.

Sisik-sisiknya gemetar, membuat sang ulat menjadi sangat murka.

Sang ular dengan cepat bergerak mendekat, belum sempat ia mencapat ke tepian tiba-tiba saja sesuatu dari bawah sana melesat naik ke atas dengan air yang meledak-ledak.

"Ah!"

ZRASH!

Air berjatuhan seakan-akan tengah hujan deras di ruang bawah tanah yang gelap ini, langsung membasahi tanah dan membuat tanah yang kering itu menjadi lembab.

Ular bertanduk membuka mulutnya, sesuatu bergerak mengayun ke arah kepalanya.

SRATS!

Leher sang ular tergores dan darah langsung menciprat keluar, mata sang ular membulat, tidak menyangka akan mengalami hal yang mengerikan seperti ini, goresan di lehernya itu tidak besar tapi menimbulkan rasa kaget yang kuat.

"Berani-beraninya manusia hina seperti kau …."

Ekor ular terayun dan menghempas ke lantai, Leo yang melompat keluar dari air berputar di sekitarnya dengan pedang hitam yang menggila.

Ya, menggila.

Pedang itu seakan memaksa Leo untuk bergerak melebihi batas kemampuannya, warna merah itu berasal dari darah yang terus keluar dari tubuhnya.

"Pedang itu .. sudah kuduga Ratu Ginevra bukan orang yang mudah untuk menyerah." Sang ular mendesis, matanya penuh dengan ketidaksukaan, ada ancaman yang nyata. "Kau tahu, kau tidak akan bisa menggunakannya terlalu lama, pedang itu menyerap jiwamu."

Pedang hitam itu bukan pedang biasa, pedang itu terbuat dari hal yang mengerikan, dari tulang-tulang para monster yang mati dan ditempa di tanah orang-orang berjiwa suci.

Sederhana, tapi efeknya sangat kuat bagi mereka yang seluruh tubuhnya adalah monster utuh.

"Kau pikir aku peduli?"

Leo terengah-engah, pendangannya tidak jelas, ia hanya melihat titik merah di depannya yang bisa bersuara, seakan-akan semua kewarasannya telah diambil sedikit demi sedikit oleh pedang yang ada di tangannya.

"Kau gila."

Hanya itu yang mungkin bisa dikatakan sang ular bertanduk, laki-laki yang di depannya ini mungkin sudah terlalu gila, bukan karena ia ingin melindungi rakyatnya di kota Dorthive atau menghancurkan keluarga Fern, tapi untuk Renee.

Leo terlalu mencintai Renee, bahkan jika Renee mati di sini, sang ular bertanduk yakin kalau Leo akan membalaskan dendam Renee sebelum ia sendiri yang mati.

"Ya, aku gila. Dan kau tahu dirimu apa?"

Leo tidak buang-buang waktu, ia melesat dengan pedang di tangannya, suara sabetan terdengar beberapa kali dan sang ular berusaha keras menghindarinya.

"Kau juga … gila."

"Sialan!"

BRUKH!

Ekor ular itu mengibas kuat ke tanah, membuat retakan dan butiran-butiran tanah yang ada di atas sana berjatuhan ke bawah, Leo dengan cepat menghindar, pedang yang ada di tangannya seakan-akan tengah memberikan kekuatan, ia melesat ke arah sang ular bertanduk dan terus mencoba melukainya.

ZRATS!

Satu demi satu goresan membentuk di tubuh sang ular, membuat darah mengalir kemana-mana di atas tanah, untuk pertama kalinya ular bertanduk merasakan sakit yang amat kuat di sekujur tubuhnya.

Rasa sakit yang membuat gigi-giginya yang tajam itu gemerutuk dan matanya menatap tajam ke arah Leo, mungkin jika ia memiliki wajah seperti manusia, ia akan terlihat sangat merah sekarang.

Leo bukannya tidak merasakan sakit, ia mulai merasakan kalau kedua tangan dan kakinya mati rasa, tidak ada rasa sakit atau pedih.

Ia tidak merasakan apa-apa, darah yang mengalir terus mengalir keluar dan pandangannya semakin buram, sekarang yang terlihat di matanya hanya hitam dan merah.

"Argh, kau sepertinya sudah bosah hidup!" ular bertanduk menjadi murka, ekornya mengibas tanpa henti ke atas lantai dan suara derak terdengar. "Mari kita lihat apa kau bisa bertahan dengan pedang yang menyerap jiwamu itu!"

Sang ular bertanduk menggeram, tanduknya memanjang dan sisik-sisik yang ada di tubuhnya mekar seakan-akan bisa membuat tanah yang ada di sekitarnya hancur.

Leo semakin terengah-engah, darah masih mengalir keluar dan terasa tidak nyaman, kepalanya pusing dan tangannya mulai gemetar.

Yah, apa pun yang terjadi, ia tidak punya pilihan untuk berhenti.

Sekarang yang ia lakukan hanya membiarkan pedang hitam di tangannya bergerak sesuka hati, membuat tubuhnya terus bergerak di ambang batas.

Tidak apa-apa, ia sudah tahu risiko seperti itu sejak awal.

Yah ... tidak apa-apa.

Laki-laki itu tersenyum tipis.

Sampai Renee yang ada di bawah sana bangkit, ia tidak akan pernah melepaskan pedang di tangannya ini meski nyawanya adalah taruhannya!

avataravatar
Next chapter