84 Menantang sang Tuan 1 

"Dylan, bawa Leo menjauh."

Renee meraih pedang berkarat yang Dylan pegang, laki-laki itu terperangah sesaat sebelum Arthur menarik tangannya dan mereka mundur.

"Ini sudah bukan lagi ranah kita," kata Arthur dengan suara bergetar, ia menelan ludah dan menyeret Dylan. "Mereka bukan manusia, aku tahu itu, kalau kita ada di sana, kita akan mati sia-sia!"

"Apa sih, yang kau katakan?!"

Dylan tidak mengerti dengan Dylan, tapi ketika melihat ular yang hancur menjadi serpihan debu karena cahaya jingga ia barulah mengerti.

Benar, baik Renee dan sosok Tuan itu, mereka ada jauh di atas mereka.

Mereka memang bukan manusia.

"Yah, Arthur … kau bawa Bella." Dylan tidak menunggu Arthur menyahut perkataannya, ia menarik reruntuhan yang masih menimpa Leo dan membawa laki-laki itu pergi.

"Kenapa aku harus membawa seorang Pelayan?" Arthur protes, apalagi Bella bukan wanita cantik yang biasa ia temui.

BRAKH!

Sebongkah batu melayang ke arah mereka karena kibasan ekor ular, para monster yang tidak sempat menghindar langsung tertindih, Arthur bergidik ngeri, ia langsung menggendong Bella dan mengikuti Dylan yang sudah lebih dulu membawa Leo.

Mereka memang tidak bisa ikut campur dalam masalah ini, sebaiknya mereka segera menyingkir sebelum terlambat.

"Sepertinya kita pernah bertemu sebelumnya," kata Renee sembari memutar pedangnya. "Benar, kan?"

Celia masih menggunakan kekuatannya untuk menutupi wajahnya, ia tahu kalau Renee sebelumnya memandang dirinya sebagai orang baik dan tidak ingin mencoreng citra dirinya itu di depan Renee saat ini juga.

Baginya, Celia dan Tuan itu berbeda. Celia adalah sosok yang baik hati dan disukai semua orang, sedangkan Tuan adalah sosok sebaliknya, kejam dan terobsesi dengan Leo.

"Lantas apa? Toh, tidak penting juga apakah kita pernah bertemu atau tidak." Celia terkekeh, sekarang ia hanya memiliki dua ekor ular untuk melindungi dirinya.

Renee menatap Celia dengan mata menyipit, tidak salah lagi, ia pasti pernah bertemu dengan orang yang masih berdiri di atas kepala ular itu, ia hanya perlu waktu sampai benar-benar mengingatnya.

Celia menggerakkan tangannya, beberapa monster menyatukan tubuh mereka hingga menjadi lebih besar, kemudian mereka menyerang Renee di saat yang bersamaan.

Renee tetap tenang meski ia berada di tengah para monster yang lebih besar dari dirinya, walau di depannya masih ada dua ekor ular, ia juga tetap tenang.

SRATS!

Pedang yang Renee pegang sudah diselimuti oleh cahaya jingga, menenggelamkan noda-noda karat yang awalnya terlihat menganggu, tapi setelah dipegang Renee, karat-karat itu mulai berjatuhan, melebur dengan cahaya jingga.

Monster yang menyatu itu ditebas oleh Renee dan tubuh mereka langsung terpisah menjadi dua bagian disertai dengan darah yang menciprat.

Celia mengerutkan kening, dadanya berdebar.

Ia masih tidak bisa mempercayai kekuatan cahaya jingga bisa sekuat itu.

Seharusnya, tidak seperti ini.

Di masa lalu, tidak ada yang seperti Renee.

"Kenapa?"

Renee melompati tubuh monster-monster yang bergelimpangan di bawahnya, pedang yang ia bawa ia seret.

"Kau terlihat terkejut?"

"Jangan terlalu percaya diri," kata Celia dengan dengkusan kasar, salah satu ular dengan cepat bergerak menuju Renee. "Kita bahkan belum mencapai pertengahan, bagaimana bisa kau menyimpulkan sesuatu begitu cepat?"

"Heh." Renee terkekeh, ia menggerakkan pedangnya dengan gerakan memutar. "Kalau begitu turunlah, hadapi aku sekarang juga."

Celia terkesan tidak mau turun menghadapi Renee, wanita itu berdiri di tempat yang tinggi seorang diri, seakan-akan ia memandang rendah Renee dan para monster yang ada di bawah.

Celia tidak menanggapi perkataan Renee, ia menggerakkan ular yang bergerak ingin menerkam Renee secara membabi buta, wanita itu menggunakan pedang dan cahaya jingga untuk menghalau.

"Kau tidak berani," kata Renee sambil tersenyum tipis, ia semakin yakin kalau sosok yang berdiri di atas kepala ular itu adalah seseorang yang pernah ia temui. "Kau tidak berani menghadapiku langsung."

"Jangan terlalu sombong!" Celia berteriak bersamaan dengan mulut ular yang akan menerkam ke arah Renee.

BRAKH!

Mulut ular menghantam cahaya jingga yang bersinar, rahangnya langsung Renee tebas dan terkoyak.

"Turun!" teriak Renee dengan tatapan tajam ke atas, kedua alisnya saling bertaut dan tubuhnya tidak berhenti bergerak mendekat ke arah Celia. "Aku bilang turun!"

Celia tersentak, ia mengepalkan kedua tangannya.

Ia tidak mau menghadapi Renee turun ke bawah sekarang, bukan karena ia takut ia akan kalah dengan wanita itu.

Tapi karena ia sedang mengulur waktu, bantuannya akan datang.

Renee menggertakkan gigi, kesal karena wanita itu tidak mau turun juga ke bawah menghadapi dirinya, Renee tidak ingin ambil pusing, kalau Tuan yang diagung-agungkan oleh Ivana ini tidak mau turun menghadapinya.

Maka ia yang akan naik menghadapinya.

SRATS!

Pedang Renee menebas kepala ular yang masih tersisa, ekor ular itu mengibas dengan kuat, membuat batu dan tanah beterbangan.

"Ukh, aku benci ular."

Renee tidak tahu kenapa, tapi setiap makhluk yang dikendalikan oleh sang Tuan di kota Dorthive selalu saja berhubungan dengan ular. Entah itu ular raksasa, ular kecil yang menggigit, atau tubuh Ivana yang berubah menjadi setengah ular.

"Grah!"

Para monster yang melihat satu ular lagi jatuh akibat cahaya jingga mulai meradang, mereka berlompatan menerjang Renee, tidak peduli jika tubuh mereka akan semakin rusak terkena cahaya jingga.

Celia masih berdiri di atas kepala sang ular yang masih tersisa, ia menyeringai melihat Renee yang diterjang di mana-mana oleh para monster sampai ia tidak bisa melihat lagi sosok wanita itu.

"Kali ini kau benar-benar habis di tanganku." Celia terkekeh, matanya menyipit senang.

Dylan dan Arthur berada di tempat yang tak jauh dari pertarungan Renee dan Celia, mereka terpaku.

"Tidak, tidak, wanita itu tidak akan dikalahkan begitu saja, kan?"

Arthur mulai menggigil ketakutan, cahaya jingga yang berpendar terus menerus daritadi mulai meredup saking banyaknya monster yang menerjang Renee, debu mulai mengepul dan pemandangan yang Arthur dan Dylan lihat semakin tidak jelas.

"Kita akan mati kalau dia mati!"

"Berisik, aku tahu itu." Dylan tidak menanggapi Arthur terlalu banyak, ia sendiri juga tidak yakin apa yang akan terjadi selanjutnya, tapi ia berharap semoga Renee bisa menang.

Leo masih tidak berkedip sejak tadi, matanya menatap kosong ke depan, seakan-akan apa yang terjadi di sekitarnya itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan dirinya.

Senyuman Celia semakin lebar, di saat ia berpikir bahwa kemenangannya sangat dekat, sekelebat cahaya jingga muncul di depannya.

"Apa?"

Renee melompat menerjang Celia dengan pedang yang terhunus, wanita itu tidak siap menerima serangan dan mereka berdua jatuh dari atas kepala ular.

"Sudah kuduga, aku memang pernah bertemu denganmu sebelumnya," kata Renee sambil menusuk pedang ke bahu wanita itu. "Aku terkejut ternyata itu kau, Duchess Celia."

avataravatar
Next chapter