115 Dalam Kegelapan 6

Renee tidak pernah merasa sesakit ini sebelumnya, bahkan jika ia berteriak sekuat mungkin atas rasa sakit yang ia rasakan, itu tidak akan bisa melampaui apa yang ia rasakan. Nyeri dan pedih bercampur menjadi satu, tubuhnya terasa terhimpit dan napasnya mulai memendek.

"Akh ...."

Renee tidak bisa memikirkan apa-apa selain rasa sakit di sekujur tubuhnya, sudah berapa kali ia mengalami hal seperti ini?

Dua kali?

Tiga kali?

Entah, ia tidak bisa mengingatnya dengan benar, tidak punya waktu untuk menghitung semua kesakitan yang ia rasakan.

Tapi dari semua rasa sakit yang ia rasakan, rasa sakit kali ini adalah yang paling hebat dan membuatnya merasakan putus asa yang sangat kuat.

Rasa-rasanya, Renee tidak bisa memiliki kekuatan untuk hidup lagi karena hal itu.

Harapannya untuk hidup menurun drastis.

Belitan tubuh sang ular semakin lama semakin kencang, tidak peduli dengan betapa kerasnya suara retakan demi retakan berbunyi dan wajah Renee yang memucat seperti kertas, ular itu tetap bergerak egois.

Pandangan Renee mengabur dan perlahan-lahan menjadi menghitam, napasnya terasa sesak dan tubuhnya menjadi dingin.

Ah, ia tidak kuat.

Terlalu sakit dan sesak.

Renee benar-benar tidak berdaya menghadapi ini, pedangnya telah jatuh entah di mana, cahaya jingga yang menjadi satu-satunya kekuatan hidupnya, juga tidak bisa ia gunakan lagi.

Teriakan dan jeritan para mayat di sekitar terdengar lagi, kali ini semakin keras dan terdengar mencemooh Renee. Ada yang menyumpah dan ada yang menangis menyesalkan keadaan Renee menyedihkan.

Pikiran Renee menjadi kosong, ia sepertinya tersesat dalam pikirannya sendiri.

"Matilah."

Ular bertanduk itu menyeret Renee ke suatu tempat yang lantainya berjalan menurun, dengan kasar tubuh Renee dilempar ke lembah yang dingin.

"Di sana adalah tempat peristirahatan yang bagus untukmu. Generasi yang lemah lebih baik tenggelam selamanya di sana."

Sang ular bertanduk itu terlihat dingin, tidak ada jejak emosi di wajahnya, matanya yang cerah itu semakin terlihat menakutkan ketika menyipit.

Bagi sang ular bertanduk, keadaan Renee yang tidak memiliki kekuatan jingga sama saja dengan mengejek dirinya, ia merasa terhina.

Renee sama sekali tidak pantas menemuinya, bahkan untuk menginjakkan kakinya di lantai terbawah yang dimiliki oleh keluarga Fern pun tidak akan pantas.

Wanita itu sekarang layaknya manusia biasa yang dengan mudah dihancurkan.

Pergi ke lantai terbawah keluarga Fern adalah keputusan yang bodoh, sama saja mengantarkan nyawanya sendiri ke hadapan sang ular bertanduk.

"Bodoh sekali, dia."

Mata sang ular berkedip pelan. Justru dengan semua yang terjadi di hari ini, rencana yang mereka siapkan dari lama berjalan dengan lancar, hambatan yang selama ini mereka awasi telah hancur dengan sendirinya.

Mungkin Dewi keberuntungan sedang berada di pihak keluarga Fern.

Sementara itu Renee terjatuh, meluncur ke bawah untuk yang kesekian kalinya, kali ini bukan lantai atau para mayat yang menghadang, tapi air yang sangat dingin seperti es di kutub.

BYUR!

Suara hempasan air terdengar mengacau keras, sang ular bertanduk menatap ke bawah dengan dingin, ekornya bergerak-gerak menepuk lantai, penuh kepuasan.

"Dengan ini, semua orang berjiwa suci telah tiada di muka bumi."

Sudut mulut ular itu melengkung ke atas, memperlihatkan gigi taring yang tajam dan ia mendesis pelan.

Suara langkah kaki dengan sesuatu yang diseret terdengar, mata sang ular bergerak dan ekornya mengibas mengenai tanah yang dingin.

Perlahan, seseorang mulai terlihat dengan senyuman yang menyebalkan di wajahnya, tangannya yang bebas melambai seperti anak kecil yang baru saja melihat orang tuanya.

"Apa kau sudah selesai?"

BRUK!

Sosok itu muncul dari kegelapan dengan lompatan yang panjang, tingkahnya terlalu aneh.

Ia membawa sesuatu yang ia seret dengan tangan kanannya, lebih tepatnya seseorang yang ia lemparkan dengan begitu mudahnya tepat di hadapan sang ular bertanduk.

"Yah, Marquis Leo jauh lebih mudah dibereskan daripada orang tuanya," sahut orang yang melompat tadi yang ternyata adalah sosok berambut pirang yang menghancurkan lantai atas dan memisahkan Leo dan Renee, yang ia seret tidak lain adalah Leo yang sudah tidak bergerak lagi, pedang hitam yang merupakan pemberian Ratu dari desa Kortham menusuk perutnya yang bersimbah darah.

"Mereka terlalu konyol ingin menghancurkan kita hanya dengan hak seperti ini. Ah ... tunggu, kau sudah membereskan wanita itu, bukan?"

Sang ular bertanduk tidak menjawab, matanya melirik ke tempat Renee terjatuh tadi.

Laki-laki berambut pirang langsung mengerti apa yang terjadi dan sikapnya menjadi lebih segan.

"Ah, aku terlambat sedikit. Jangan marah, oke?"

Laki-laki berambut pirang itu tersenyum lebar, tangannya yang menyeret Leo terlihat sama sekali tidak lelah, ia menjatuhkan tubuh itu ke bawah, tempat yang sama dengan Renee.

BYUR!

Suara hempasan air terdengar lagi dan air di bawah sana bergejolak di tengah kegelapan.

Di detik berikutnya, hanya keheningan yang terdengar. Nafas-nafas dingin dari laki-laki berambut pirang dan ular bertanduk hampir tidak terdengar, seakan mereka bernapas dengan gerakan yang amat pelan.

"Sekarang kita hanya perlu membereskan yang lain, bukan? Aku ingin menemui Karren." Laki-laki berambut pirang itu terus mengoceh dengan suara ceria, seolah-olah ia baru saja melakukan perbuatan amal.

Masih ada Ivana, Dylan, Arthur dan Bella di atas sana bersama Karren dan anak-anak ularnya. Mereka tidak akan tahu apa yang terjadi di bawah sini, tapi membiarkan orang-orang seperti mereka mengacau di atas tanah keluarga Fern sangat tidak tertahankan bagi mereka semua.

Mereka semua adalah musuh keluarga Fern dan harus dihancurkan hari ini juga.

Ular bertanduk itu memejamkan matanya, mendesis dengan pelan dan tubuhnya bergerak ke samping.

"Aku tidak ingin berurusan dengan manusia lemah, kau bereskan sendiri." Ular bertanduk itu bergumam dengan kerutan dalam di antara dahinya, lidahnya bergerak dengan pelan.

Ia benci manusia lemah dan merasa dirinya terlalu berharga ikut campur dalam hal seremeh itu.

"Setelah hari ini, jalankan rencana kita, kota ini harus berakhir di tangan kita."

Ia tidak suka penundaan dan rencana mereka sudah tertunda terlalu lama berkat ulah nakal Celia.

"Aku mengerti, jangan khawatirkan masalah itu."

Laki-laki berambut pirang itu terkekeh santai, kemudian melambaikan tangannya dan berjalan kembali ke tempat ia datang, sang ular melingkarkan tubuhnya di atas tanah dan menatap lurus ke depan.

Mata ular itu memicing, seakan tengah menunggu sesuatu.

Orang berjiwa suci tidak pernah mengecewakannya seperti ini sebelumnya. Mereka kuat dan tidak terkalahkan, jika mereka sudah bersungguh-sungguh ... sang ular bertanduk pun akan kesulitan menghadapinya, seperti yang sudah-sudah di masa lalu.

Mengingat hal itu, membuat perasaannya tidak nyaman, ia merasa kesal yang tidak tertahankan.

"Mari menunggu sebentar, aku ingin tahu di mana kepedulian leluhurmu."

avataravatar
Next chapter